Banyuwangi (Antara Jatim) - Sambil menikmati rujak, Abdul Aziz masih bercerita mengenai rencananya ke depan. Sesekali ia menunjuk ke laut ke arah gerakan-gerakan ikan yang terlihat dari pantai.
Ia terlihat bangga karena hal itu menunjukkan populasi ikan terus bertambah seiring terus membaiknya ekosistem di perairan itu.
Tiba-tiba Ansori yang tadinya bertemu di titik pemberangkatan perahu datang, ikut menyusul ke tempat kami. "Kok tumben sepi ya? Tidak seperti biasanya hari Minggu begini sepi pengunjung," kata lelaki yang bertugas sebagai nakhoda perahu dan istrinya berjualan makanan itu.
Aziz kemudian bercerita, pada hari biasa, lokasi itu bisa dikunjungi rata-rata 100 orang per hari dan saat libur atau Minggu bisa 500 orang. Dan saat libur panjang bisa lebih banyak lagi.
Ia juga heran dengan sepinya pengunjung setelah pekan-pekan sebelumnya membeludak, apalagi saat libur panjang pada akhir hingga awal tahun itu. Sebagai pelopor ia tidak mau mengecilkan hati Ansori dan kawan-kawan.
"Tapi memang begitu namanya mengelola tempat wisata. Sekarang mungkin banyak pesaing di tempat lain. Dulu kan tempat wisata tidak banyak, kalau sekarang banyak. Harus mencari cara baru dan tidak boleh cepat puas dengan keadaan," kata Aziz.
Rumah apung sendiri, katanya, merupakan hasil dari perjuangan terus menerus yang tidak kenal lelah itu. Ia berpikir, perlu dibuatkan tempat yang nyaman agar orang bisa menyelam atau snorkeling lebih ke tengah. Maka sekitar Agustus 2015 ia membuat rumah apung itu.
Rumah apung yang dibangun secara swadaya dengan dana Rp37,5 juta itu merupakan bangunan dari kayu yang diapungkan dengan drum plastik. Di tempat itu ada dua tempat untuk berteduh para wisatawan. Di antara dua tempat itu terdapat keramba untuk memelihara hiu.
Aziz dan kawan-kawan sadar bahwa pelestarian laut bukan sekadar menghentikan pengeboman atau penggunaan potasium. Ia melihat nelayan seringkali membawa pulang hiu yang tergolong satwa dilindungi. Karena memiliki nilai ekonomis tinggi, nelayan senang kalau ada hiu terperangkap dalam jaringnya.
"Akhirnya kami mencoba menyisihkan dana untuk membeli ikan hiu hidup-hidup dari nelayan untuk direhabilitasi. Biasanya ikan yang terjerat jaring, luka. Setelah pulih kami lepas kembali ke tengah. Beberapa waktu lalu kami lepas hiu yang ukurannya besar karena khawatir menggigit wisatawan," ujarnya.
Kini, Aziz berencana membuat keramba ikan kerapu dan kakap yang dikelola oleh kelompok nelayan setempat sehingga bisa menyuplai pengelola kuliner ikan laut yang akan didirikan di Pantai Bangsring. Keramba itu juga akan dijadikan sebagai tujuan wisata baru selain rumah apung.
Dari sisi pelayanan, ia selalu menekankan rekan-rekannya untuk terus memperbaiki diri. Pelayanan yang diberikan oleh pemandu wisata maupun yang di atas kapal harus mengakhiri perjumpaan dengan "kenangan yang bagus" kepada pengunjung.
Ia menggambarkan, kalau seseorang memesan kaos kemudian kaosnya jelek, kita masih bisa memperbaiki kaos itu agar pemesan tidak kecewa. Tapi kalau pelayanan tidak bisa seperti itu.
"Sekali jelek, maka kesan itu akan terbawa-bawa dan bisa tersebar ke 1.000 orang, apalagi sekarang zaman media sosial bisa menyebar ke mana-mana. Tapi kalau pelayanan itu bagus, paling menyebarnya hanya ke 10 orang. Maka pilihannya tetap pada pelayanan yang bagus. Melayani wisatawan itu kuncinya ikhlas," katanya.
Hal lain yang ia perhatikan terkait kenyamanan pengunjung adalah keteduhan pantai. Karenanya ia berencana menanam cemara udang di sisi utara. Namun kendalanya adalah curah hujan yang masih rendah.
Aziz juga bercerita bahwa pihaknya melayani secara online kepada wisatawan yang akan datang ke Bangsring dalam jumlah banyak. Bahkan, ia dan warga kini menyediakan rumah sebagai "homestay", padahal dulunya tidak dipikirkan.
Awalnya warga tidak begitu yakin "homestay" akan diminati wisatawan. Namun setelah beberapa kali Aziz kedatangan tamu yang menginap, kesadaran warga mulai tumbuh bahwa rumah mereka juga merupakan sumber ekonomi.
"Beberapa kali saya melayani tamu dari luar kota yang menginap di rumah sangat berkesan. Kami ajak makan bersama dengan keluarga, ternyata mereka dan keluarganya sangat senang dan berkesan. Akhirnya dengan sukarela mereka menambah sendiri uang sewa rumah," katanya.
Untuk menginap di rumah warga, pengunjung hanya mengeluarkan Rp35.000 per orang tanpa makan. Jika dengan makan menjadi Rp50.000 per orang.
Anton, warga yang dulunya menjadi pengepul ikan hias, kini menyewakan 11 kamar untuk wisatawan. Ke-11 kamar itu dulunya adalah gudang ikan hias yang kini sudah diperbaiki.
"Usaha yang bersahabat dengan alam ini, saya lebih tenang. Kalau dulu tidak tenang. Hasil kerja 10 tahun bisa habis satu tahun kalau rugi. Sekarang enak, apalagi bisa ikut menjaga alam," katanya.
Pelayanan lainnya, kata Aziz, untuk pengunjung yang datang dari bandara atau stasiun kereta api pihaknya menyediakan mobil jemputan. Dari bandara tarifnya Rp400.000 per mobil dan dari stasiun Rp200.000 yang mamuat hingga tujuh orang.
Kalau memilih taksi dari pusat kota tarifnya sekitar Rp50 ribu lebih. Pantai yang terletak sekitar 15 kilometer utara Kota Banyuwangi itu bisa ditempuh dari Surabaya lewat jalur utara, yakni Situbondo. Pantai ini menjadi lintasan jalur dari Jawa ke Bali.
Jalur lainnya dari arah selatan, yakni Kabupaten Jember ke Kota Banyuwangi. Dari Kota Banyuwangi, Bangsring bisa dilalui dengan bus jurusan Situbondo dengan tarif sekitar Rp10.000.
Untuk melayani pengunjung ke laut, kini tersedia tujuh perahu ukuran kecil berkapasitas lima orang dan 13 unit yang lebih besar dengan kapasitas 10 hingga 20 orang. Bahkan juga disediakan perahu yang mampu mengangkut 50 orang. Perahu-perahu itu tidak bising karena tidak menggunakan mesin jenis disel.
Jika hanya berkunjung ke rumah apung tarif perahunya hanya Rp5.000 per orang. Untuk snorkeling bisa sewa snokel Rp25.000 ditambah Rp10.000 untuk pelampung. Untuk menyelam sewa tabung dan lainnya dipatok Rp350.000 per orang.
Aziz dan kawan-kawan juga menyediakan paket wisata tiga lokasi, yakni rumah apung, Tabuhan dan Pulau Menjangan. Dengan maksimal 10 orang dipatok harga Rp2,7 juta. Fasilitasnya adalah kapal, pemandu, alat snorkel, kamera bawah air, tiket masuk Pulau Menjangan, makan siang dan lainnya.
"Kalau hanya mau ke rumah apung dan Tabuhan hanya Rp900.000 maksimal 10 orang dengan fasilitas alat snorkel, pelampung, ditambah pemandu Rp150.000. Jika memerlukan kamera bawah air sewanya Rp150.000," katanya.
Aziz mengakui bahwa perjuangan menjaga alam sekaligus menjaga kelangsungan ekonomi masyarakat Bangsring agar tidak tergoda merusak laut belum selesai. Dua bulan lalu polisi menangkap nelayan yang nekat menggunakan bom.
Karena itu ia bersama warga lainnya selalu berjaga-jaga bergantian untuk mengawasi agar tidak ada yang mengekspolitasi kekayaan laut dengan cara merusak. (*)