"Elternator digunakan sebagai alternatif penggunaan pestisida yang bisa berakibat kurang berhasil dalam mengendalikan serangan hama dan penyakit, bahkan memacu peningkatan serangan organisme pengganggu tumbuhan," kata Ketua Tim Elternator, Ahmad Najih Fiddaraini di PENS Surabaya, Kamis.
Bersama keenam rekannya, lanjutnya eltenator dibuat dengan menggunakan solar cells atau panel surya pembangkit listrik tenaga surya yang digunakan untuk mengisi batrei dan disalurkan pada aki, kemudian pada malam harinya lampu dan net atau jaring akan aktif.
"Dari sifat hama yang memiliki insting ke arah cahaya sebagai navigasi, maka kami memasang lampu LED 12 volt dalam elternator agar hama mengarah ke arah elternator, kemudian terperangkap di net atau jaring," ujar mahasiswa jurusan electronic engineering.
Pembuatan elternator selama dua minggu itu, tambahnya memiliki kendala yang terletak pada desain agar bisa digunakan secara baik oleh masyarakat, seperti desain solar cells untuk pengisian batrei yang sangat menentukan bagi elternator.
"Kendalanya ada di desain solar cells, desain jaring atau net, kemudian intensitas cahaya yang dapat menentukan berapa jarak hama akan mendekat pada cahaya yang harus diperhitungkan secara detil," paparnya.
Menurut dia, elternator juga dinilai sangat aman bagi pengguna karena sudah menggunakan PIR (Passive Infrared Receiver) yaitu sebuah sensor berbasiskan infrared, yang hanya merespon energi dari pancaran sinar inframerah pasif yang dimiliki oleh setiap benda yang terdeteksi olehnya.
"Jadi ini kami juga sudah melakukan sensor pasif infrared, sehingga ketika petani atau manusia akan mendekat ke elternator pada jarak kurang lebih dua meter, maka alat ini tidak akan berfungsi karena untuk menghindari tegangan yang tinggi sekitar 700 volt," jelasnya.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, elternator juga memiliki high voltage direct current untuk menaikkan tegangan dari tegangan rendah ke tegangan tinggi yaitu antara 700 volt hingga 1.000 volt, jika dibutuhkan karena setiap tempat memiliki penyebaran hama yang bermacam.
Ia mengatakan, konsep elternator memang seperti raket nyamuk, namun dikembangkan oleh timnya karena selama ini anak muda masih belum terpikirkan dengan adanya teknologi di bidang pertanian.
"Generasi muda masih belum terpikirkan adanya penemuan teknologi di bidang pertanian, padahal di bidang pertanian juga memiliki permasalahan yang harus dicarikan solusi bersama-sama, sehingga penemuan ini diharapkan bisa berguna," tuturnya.
Elternator tersebut, ungkapnya bisa digunakan maksimal selama lima tahun dengan perawatan di aki yang membutuhakn biaya pembuatan sebesar Rp1,5 juta, dan saat ini timnya tengah bekerja sama dengan kelompok tani di kawasan Tuban.
Tim Elternator terdiri dari Miftakhul Anwar, Mochamad Surya Nurichsan, Mochamad Samsul Ma`arif, Ricky Alantino, Ilham Mandala Putra, Iffandya Popy Wulandari dam Naily Husna Dewi.
"Elternator ini akhirnya mengantarkan kami mendapat Gold Prize Award dalam kompetisi 2015 Capstone Design Fair-International Session di Korea yang mengalahkan 19 tim dari berbagai negara," tandasnya. (*)