Surabaya (Antara Jatim) - Pemerintah Kota Surabaya menggelar rapat koordinasi bersama pihak kepolisian dan TNI guna membahas antisipasi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) pasca-kerusuhan di Tolikara, Papua, Jumat (17/7).
"Surabaya harus tetap aman dan kondusif sebab kota ini merupakan barometer keamanan nasional. Karena itu, wajib hukumnya menjaga persatuan bangsa ini," kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat rakor yang digelar di Graha Sawunggaling Pemkot Surabaya, Rabu.
Risma mengatakan tujuan diselenggarakannya rakor adalah untuk menjaga situasi Surabaya tetap kondusif. Utamanya setelah kejadian kerusuhan di Tolikara, Papua.
Hal ini dikarenakan sudah terjadi tindakan perusakan di empat daerah di Indonesia yakni dua kejadian di pulau Jawa dan dua lainnya di wilayah Sulawesi dan Ternate.
Menurut laporan, peristiwa itu diduga imbas masyarakat yang terprovokasi atas kerusuhan di Tolikara. "Saya berharap di Surabaya tidak ada kejadian seperti itu," ujarnya.
Risma menyatakan rakor ini akan ditindaklanjuti dengan pertemuan-pertemuan antar-tokoh lintas agama di level kecamatan. Harapannya, melalui pertemuan tersebut, para tokoh agama dapat memberikan penjelasan agar masyarakat tidak mudah terprovokasi.
Ditanya soal strategi pengamanan kota, Risma enggan berkomentar lebih jauh. "Saya tidak bisa jelaskan secara detail karena itu sudah ranahnya intel di kepolisian dan TNI. Yang jelas, di Surabaya tidak boleh ada gangguan kebebasan beribadah. Semua dijamin dan dilindungi," ujarnya.
Sementara itu, Danrem 084 Bhaskara Jaya Kol Inf Nur Rahmad mengimbau masyarakat menyikapi kejadian di Tolikara dengan arif dan bijaksana. Menurut dia, yang terpenting saat ini adalah bagaimana menumbuhkan rasa Nasionalisme sehingga negara ini bisa kokoh.
Nur Rahmad yang sempat bertugas di Sorong dan Manokwari ini lantas menceritakan bahwa sejatinya tidak ada masalah toleransi antar-umat beragama di Papua.
"Saat perayaan Natal, warga Muslim ikut membantu pelaksanaan. Begitu pula saat Idul Fitri, warga yang beragama Kristen ikut mengucapkan selamat dari rumah ke rumah," katanya.
Nur Rahmad menilai kerusuhan di Tolikara bukan merupakan konflik antara agama satu dan lainnya, sebab korban tidak hanya dari pihak beragama Muslim saja. Kios-kios milik warga Kristen juga turut hangus saat peristiwa pembakaran.
Lebih jauh, Nur Rahmad menekankan akan bahaya proxy war atau perang proksi. Konsep proksi war, kata Nur Rahmad, yakni perang dengan mengandalkan kepandaian. Strategi yang digunakan bisa saja politik adu domba atau dengan sengaja menciptakan kondisi yang memperkeruh suasana.
"Oleh karenanya, kita tidak perlu terpancing sebab di Tolikara sendiri, masalah sudah selesai. Bangunan masjid/mushola dan kios-kios yang terbakar juga sudah dibangun kembali," katanya.
Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Yan Fitri Halimansyah menambahkan, tujuan perang proksi adalah membentuk gelombang kejahatan baru. Guna mengantisipasi hal tersebut, Yan Fitri menegaskan pihaknya mengintensifkan patroli yang selama ini memang sudah rutin dilaksanakan.
"Kami menjalankan beberapa fungsi diantaranya patroli, memonitor, serta menggali informasi di tengah-tengah masyarakat," tuturnya.
Menurut dia, Surabaya perlu adanya pernyataan sikap bersama para tokoh lintas agama. Hal itu sebagai penegas bahwa di Surabaya sama sekali tidak ada masalah toleransi beragama.
"Secara umum kondisi di Surabaya sangat kondusif dan kejahatan juga menurun. Intinya relatif aman. Sejauh ini tidak ada kejadian yang menonjol," katanya. (*)