Surabaya (Antara Jatim) - Pemerintah Kota Surabaya menyatakan mekanisme pelepasan aset berupa "surat ijo" kepada warga harus sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). "Tidak bisa dibawah NJOP, sampai sekarang belum ada regulasi yang memperbolehkan melepas aset tanpa mengganti (membeli) 100 persen sesuai NJOP," ujar Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah (DPBT) Maria Theresia Ekawati saat rapat dengar pendapat di ruang komisi A DPRD Surabaya, Senin. Ia menjelaskan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 17 penjualan aset pemerintah minimal sesuai dengan NJOP sehingga pelepasan dibawah NJOP melanggar aturan. Menurut dia, dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 1997 tidak disebutkan angka yang harus dikeluarkan oleh pemegang surat "ijo", melainkan yang diatur hanyalah perihal balik nama, nilai pajak. Untuk itu, lanjut dia, perda ini perlu diatur kembali agar menyesuaikan dengan kebutuhan saat ini. "Perubahan Perda 1/1997 masih sedang kita bahas," katanya. Pelepasan aset pemerintah tidak bisa dilepas dengan nol persen. Sesuai dengan perda, pelepasan aset harus dijual. Salah satu syarat pelepasannya adalah, pemegang surat "ijo" harus menempati sekurang-kurangnya 20 tahun berturut-turut. Selain itu lahan yang dilepas maksimal berukuran 250 meter persegi, dan meruapakan kawasan pemukiman. Berdasar data Pemkot Surabaya hingga sekarang ini pemegang surat "ijo" mencapai 46.611 orang. Dimana luasan tanah aset Pemkot Surabaya yang diterbitkan surat "ijo" mencapai 8.319.081,62 meter persegi. Sebagian besar berada di Gubeng sebanyak 9.212 persil dan Wonokromo 7.073 persil. Bahkan hampir semua kecamatan di Surabaya memiliki surat ijo. Dari jumlah yang ada, setidaknya ada 36 ribu persil warga yang memenuhi syarat. Yayuk mengatakan bagi warga yang sudah memenuhi persyaratan akan disampaikan ke DPRD Surabaya. Setelah melalui proses persetujuan di dewan akan diberikan kepada Wali Kota Surabaya, kemudian dilimpahkan ke DPBT untuk diproses secara administrasi untuk dilepas. "Kita juga menyiapkan perwali (peraturan wali kota) untuk pelepasan surat ijo, setelah pewali selesai baru kita akan lakukan sosialisasi," katanya. Anggota Komisi A DPRD Surabaya Fatkur Rohman mengatakan berdasarkan pengaduan warga, pemegang surat ijo menginginkan pelepasan dilakukan dengan nilai nol persen. Alasannya, warga yang menempati lahan surat "ijo" sudah berpuluh-puluh tahun dan merupakan tanah warisan keluarga. Politisi asal Fraksi PKS ini tidak setuju pelepasan surat ijo harus membayar 100 persen dari NJOP. Dengan ketentuan itu sangat memberatkan masyarakat. Meski begitu, dia sadar pelepasan dengan nilai nol persen tidak sesuai dengan ketentuan. Hanya saja, Fatkur meminta proses pembayaran disesuaikan dengan kemampuan warga. "Kalaupun secara hukum tidak bisa diutik-utik harus sesuai dengan NJOP, paling tidak di perwali pembayarannya bisa diatur, misal nanti bisa dicicil sekian tahun, cicilannya juga tidak memberatkan," katanya. Anggota Komisi A lainnya, Budi Leksono menambahkan, jika pelepasan harus sesuai dengan NJOP, maka dampaknya masyarakat akan menyakan sejarah kepemilikan Pemkot terhadap lahan surat ijo. Tanah yang mereka tempati merupakan tanah peninggalan orang tua. "Masyarakat akan terus berjuang untuk mempertahankan tanahnya, mereka akan terus bertanya dasar kepemilikan pemkot," katanya. (*)
Pemkot Surabaya: Pelepasan "Surat Ijo" Harus Sesuai NJOP
Senin, 16 Februari 2015 20:26 WIB

Surat Izin pemakaian tanah jangka menengah yang dikenal dengan sebutan Surat Ijo