Kesumat di kubu Koalisi Merah Putih terhadap seterunya, Koalisi Indonesia Hebat, seakan tak ada habisnya, kendati berbagai upaya untuk mendamaikan kedua kubu terus dilakukan. Rakyat pun tidak bodoh. Mereka paham betul, usaha damai itu penuh dengan kepura-puraan dengan tujuan agar muncul kesan bahwa para wakil rakyat di Senayan tersebut telah menunaikan amanah rakyat, sehingga tudingan mereka makan gaji buta tak terbukti. Kebijakan pemimpin DPR RI menambah lima komisi dengan maksud mengakomodasi kubu KIH yang sebelumnya tidak mendapatkan jabatan apa-apa, justru ditanggapi sinis oleh rakyat yang tidak pernah lelah mengikuti sepak terjang para wakilnya. Rupanya, rakyat tidak mudah diyakinkan dengan ulah yang diperlihatkan para legislator itu. Apalah artinya damai, kalau itu hanya berlangsung sekejap, setelah itu terulang kembali dan terjadi lagi. Belum genap seminggu upaya damai itu berlalu, KMP kembali memperlihatkan sifat aslinya. Pada acara pelantikan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama yang didukung KIH, tidak seorang pun wakil dari KMP yang hadir. Begitu pula ketika pemerintahan Presiden Jokowi mengumumkan kenaikan harga BBM awal pekan lalu, kubu KMP di DPR RI langsung berancang-ancang untuk menentang dengan menyampaikan keinginannya menggunakan hak interpelasi. Memang, hak interpelasi yang dimiliki anggota DPR, sepintas merupakan hal yang sepele karena hanya menanyakan alasan pemerintah menaikkan harga BBM. Tetapi sebenarnya, hak tersebut berimplikasi luas dan dikhawatirkan bisa berujung pada impeachment (pemakzulan). Interpelasi memang belum pernah digunakan oleh wakil rakyat, terutama untuk menyikapi kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Namun dalam kondisi seperti saat ini, bukan tidak mungkin "gertakan" itu akan menjadi kenyataan karena jumlah pengusul yang hampir semuanya dari KMP, lebih banyak dari legislator pendukung pemerintah. Meski usul itu disampaikan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, rakyat tetap merasakan bahwa di balik itu ada agenda tersembunyi, apalagi kalau bukan untuk mengganjal jalannya pemerintahan yang sah. Para wakil rakyat di Senayan itu sebenarnya tahu betul manfaat dari kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Namun karena ditunggangi oleh kepentingan politik, maka apapun kebenaran yang dilakukan pemerintah, selalu menjadi tidak benar. Pengusul interpelasi juga selalu menggunakan dalih harga minyak dunia turun, tetapi pemerintah malah menaikkan harga di dalam negeri. Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan telah menjelaskan alasan penaikan harga BBM, antara lain untuk mengalihkan subsidi BBM ke sektor pembangunan infrastruktur yang lebih bermanfaat bagi rakyat banyak. Ia berdalih, anggaran subsidi BBM setiap tahun sekitar Rp300 triliun terbakar percuma karena hanya 10 persen yang dinikmati rakyat kecil. Sebagai konsekuensi dari kebijakannya itu, Jokowi mengawali dengan membagikan fasilitas berupa Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Keluarga Sejahtera, tentu termasuk pemberian dana kompensasi sebesar Rp200 ribu/bulan agar setidaknya dapat mengurangi beban rakyat kurang mampu. Ancaman KMP terhadap pemerintahan Jokowi belum selesai. Untuk melegitimasi kekuasaan di legislatif, Ketua KMP Aburizal Bakrie harus memaksakan diri untuk mempertahankan kedudukannya sebagai Ketua Umum Partai Golkar dalam Munas yang digelar di Bali pada 30 November 2014. Gelagat itu makin terlihat sejak Rapimnas partai itu di Yogyakarta pertengahan bulan ini memutuskan mempercepat Munas yang semula dijadwalkan Januari 2015 menjadi November 2014. Keputusan mendadak ini tentu menyulitkan calon kandidat lain untuk menggalang dukungan dan sebaliknya akan memuluskan jalan bagi Aburizal terpilih secara aklamasi. Terpilihnya kembali Aburizal sebagai Ketua Umum Partai Golkar merupakan strategi penting untuk merawat kesinambungan kekuasaan di KMP kendati harus menabrak sistem demokrasi di internal Golkar. Lalu, kalau tujuannya hanya untuk memelihara dendam, masih perlukah hak interpelasi digunakan?. (*).
Perlukah Interpelasi Kenaikan Harga BBM
Rabu, 26 November 2014 15:51 WIB