Wakil rakyat, anggota dewan yang "terhormat" kini kembali berulah dengan menunjukan ketidaklegowoannya atas kekalahan pada pilpres lalu, melalui upaya Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) melalui DPRD. Sejatinya, reformasi mewujudkan kedaulatan rakyat, di mana rakyat mempunyai hak memilih dan dipilih sebagai kepala daerah secara langsung. Ehhh... kini Parpol yang bergerombol di Koalisi Merah Putih justru berupaya memotong kedaulatan rakyat. Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan oleh fraksi-fraksi DPR antara lain memperlihatkan bahwa lima fraksi yakni Fraksi Demokrat, Fraksi PAN, Fraksi Golkar, Fraksi PPP dan Fraksi Gerindra mendukung pemilihan gubernur, bupati dan wali kota dilakukan oleh DPRD. Adapun fraksi PDI-P, Fraksi Hanura, Fraksi PKS dan pemerintah tetap mempertahankan sistem sebelumnya yakni pemilihan kepala daerah melalui demokrasi langsung dari suara rakyat. Hanya Fraksi PKB yang mengusulkan kombinasi yakni untuk gubernur dipilih langsung, sedangkan untuk bupati dan wali kota dipilih oleh DPRD. Para pakar politik dan hukum pada umunya sepakat untuk mempertahankan pemilihan kepala daerah secara langsung. Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan penerapan atas frasa "dipilih secara demokratis" yang diamanatkan Pasal 56 UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat juga merupakan refleksi dari kedaulatan rakyat dalam berpolitik, dalam hal ini menentukan seorang pemimpin yang diberi amanat untuk menyejahterakan rakyatnya. Jika pemilihan oleh rakyat secara langsung terhadap kepala daerah itu dikembalikan kepada pemilihan oleh DPRD, ada banyak hal negatif yang sangat mungkin akan terjadi. Seperti, terjadi permainan uang atau korupsi politik di lingkaran elite anggota DPRD, juga partai-partai kecil seperti PKS tak mungkin lagi meloloskan kader-kader terbaiknya untuk menjadi pemimpin di daerah. Gagasan untuk mengembalikan sistem pilkada melalui DPRD merupakan bagian dari efek polarisasi Pemilu Presiden (Pilpres) 2014. Ini bukan soal untung rugi, tetapi tampaknya ini merupakan efek polarisasi pilpres. Masih dalam ideologi kalah menang pada pertarungan Pilpres 9 Juli 2014 lalu. Sikap elite bisa dianalogikan dengan gelanggang tinju. Mereka yang kalah selalu mencari arena baru untuk "fight", termasuk RUU Pilkada, revisi UU MD3, pembentukan pansus pemilu dan masih banyak lainnya. Beberapa Kepala Daerah, sebut saja Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wagub DKI Basuki Purnama alias Ahok, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo hingga Presiden Terpilih Joko Widodo (Jokowi) menolak pemilihan oleh DPRD, dan lebih menyukai pemilihan langsung oleh rakyat, karena pertanggung jawabanya jelas terhadap rakyat. Vox populi, vox Dei... Suara Rakyat 'kan Suara Tuhan... Rakyat juga menolak Pilkada oleh DPRD, buktinya, berdasarkan hasil survei yang dilakukan melalui "quick poll" pada tanggal 5 - 7 September 2014 itu, menunjukkan, sebesar 81,25 persen menyatakan setuju bahwa kepala daerah harus tetap dipilih secara langsung seperti yang telah berjalan hampir sembilan tahun. Hanya 10,71 persen yang menyetujui kepala daerah dipilih oleh parlemen di daerah masing-masing. Ada pula, 4,91 persen menyatakan bahwa kepala daerah sebaiknya ditunjuk oleh Presiden. Itu hasil Survei terakhir Lingkaran Survei Indonesia. Lha jelas-kan, apa maunya rakyat, bukan maunya segelintir elite parpol bergaji besar di Senayan, yang masih ingin mewujudkan syahwat kekuasaan. (*)
Wakil Rakyat Potong Kedaulatan Rakyat
Jumat, 12 September 2014 15:51 WIB