Oleh Hanni Sofia Jakarta (Antara) - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian sempat dikhawatirkan banyak pihak meruntuhkan mimpi koperasi untuk menjadi pilar negara pada 2045. Pondasi pilar yang baru dibangun setengah jadi itu terancam kandas lantaran keputusan yang diumumkan akhir Mei 2014 itu dimana sudah hampir dua tahun aturan pengganti UU Nomor 25 Tahun 1992 itu disosialisasikan. Di lapangan, telah banyak koperasi mengubah bentuk dirinya sesuai dengan amanat UU yang dibatalkan tersebut. Menteri Koperasi dan UKM Sjarifuddin Hasan bahkan mengaku sempat kecewa atas keputusan itu meski pada akhirnya harus menerima dan menghormati titah MK yang menggariskan koperasi untuk kembali pada payung hukum lama UU Nomor 25 Tahun 1992 sebelum terbit UU baru. "Saya mengimbau gerakan koperasi untuk tidak bereaksi berlebihan dan tetap tenang," katanya. Saat ini kementeriannya sedang menyiapkan naskah akademis UU Perkoperasian yang baru bahkan telah menganggarkan Rp3,5 miliar untuk kepentingan penyusunan UU tersebut. Namun toh Menteri harus berhadapan dengan gejolak yang timbul di kalangan masyarakat dan pelaku gerakan koperasi yang gamang bahkan sebagian marah atas kejadian itu. Sejumlah organisasi massa kini sedang memfasilitasi gugatan perdata kepada pengadilan atas kerugian konstitusional tersebut. Koperasi pun harus kembali pada tarik ulur dan carut marut regulasi yang terjadi di Tanah Air di tengah mimpinya untuk menjadi pilar negara pada satu abad kemerdekaan Indonesia. Koperasi Mandiri Pada prakteknya, pelaku koperasi di Tanah Air nyaris tidak semuanya terlampau terusik dengan heboh pembatalan UU Perkoperasian di ibukota. Ketua Dewan Pimpinan Koperasi Kredit Khatulistiwa Bakti Pontianak, Kalimantan Barat, Sesiliasari Sesi mengatakan pembatalan UU Nomor 17 Tahun 2012 tidak berdampak signifian terhadap kinerja koperasinya yang tercatat sebagai salah satu terbaik di provinsi itu. "Belum ada pengaruhnya kepada koperasi kami, di sini kami bekerja dan beroperasi melayani anggota seperti biasa. Tidak ada perubahan AD/ART yang kami lakukan," katanya. Menanggapi hal itu Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) Nurdin Halid mengatakan koperasi dalam sejarahnya memiliki garis kemandirian yang khas sehingga menjadikannya sebagai organisasi yang mandiri dan otonom. Bahkan menurut dia pada dasarnya koperasi yang berasaskan kekeluargaan dan gotong royong itu mampu mengatur dirinya sendiri sekalipun tanpa regulasi yang mengintervensi karena sifatnya yang mandiri. "Oleh karena itu Dekopin akan meneruskan komitmen untuk mempromosikan identitas koperasi ini sebagai salah satu pilar dekade pembangunan koperasi di dunia," katanya. Nurdin sendiri yakin koperasi dalam kondisi apapun mampu bertahan bahkan dalam kondisi krisis terburuk sekalipun. Tetapi pihaknya tetap meminta agar gerakan koperasi diperlakukan secara berbeda dengan badan usaha lainnya karena memiliki karakteristik dan jati diri yang tidak bisa disamakan dengan badan hukum lain termasuk korporasi. "Koperasi harus disesuaikan dengan rumusan identitas koperasi universal yang disepakati Kongres ICA pada 23 September 1995 di Manchester, Inggris, dan yang terpenting harus diberi perlindungan," kata Nurdin. Pihaknya siap untuk memberikan masukan bagi penyusunan UU Perkoperasian yang baru. Wadah Gerakan Mimpi untuk menjadi pilar negara bagi koperasi tidak boleh berhenti sampai titik ketika MK mengumumkan keputusan pembatalan UU Nomor 17 Tahun 2012. Pengamat Perkoperasian Teguh Boediyana mengatakan koperasi melalui wadah gerakan tunggalnya yakni Dekopin harus bangkit memacu diri menjadi pilar perekonomian bangsa yang sesungguhnya. "Ada banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan setelah ini, di antaranya menjadikan koperasi sebagai salah satu hal penting dalam rencana pembangunan nasional kita," katanya. Menurut dia, salah satu yang layak menjadi perhatian adalah menempatkan koperasi pada posisi seharusnya karena merupakan hajat hidup yang disebutkan dalam UUD 1945 sehingga tidak seharusnya menempatkan Kementerian Koperasi pada posisi kelas tiga sesuai UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Hal itu menurut dia jelas berimplikasi luas pada kebijakan terkait perkoperasian. Teguh juga memandang perlunya ada distingsi atau perlakuan yang berbeda terhadap koperasi sebagai pelaku usaha termasuk dalam hal pajak. "Ke depan kita juga harus mendukung berdirinya bank koperasi dan rumah koperasi dari tingkat Dekopin pusat hingga tingkat propinsi (Dekopinwil) dan kabupaten/kota (Dekopinda)," katanya. Di samping itu gerakan koperasi harus mendorong semakin berkembangnya koperasi produksi dari hulu ke hilir sehingga mampu mengelola sumber daya alam secara mandiri. Sekretaris Jenderal Dekopin Hanafiah Sulaiman mengatakan pihaknya akan mendorong terjadinya perkuatan kelembagaan ekonomi pedesaan. "Kami mendorong penyaluran skim Kredit Usaha Rakyat (KUR), pupuk bersubsidi, bibit, dan sebagian dana APBN untuk desa melalui koperasi-koperasi di tingkat desa," katanya. Dekopin juga siap memperluas dan memperkuat kerja sama kemitraan koperasi dengan badan usaha swasta, BUMN dan BUMD, bank, Pemda, dan perguruan tinggi di daerah-daerah. Pihaknya sekaligus berharap besaran alokasi dana APBD untuk koperasi diberikan secara merata di setiap kabupaten/kota maupun tingkat provinsi. "Ini sekaligus memberikan kesempatan kepada koperasi-koperasi desa untuk mendapatkan alokasi 10 persen dana APBN untuk desa sesuai UU Desa yang baru, termasuk untuk mendirikan dan mengelola lumbung desa bagi produk-produk pertanian di pedesaan," katanya. Hal itu dilakukan untuk mengejar dan mewujudkan mimpi koperasi sebagai pilar negara, kelak ketika satu abad Indonesia merdeka. (*)
Batalnya UU Perkoperasian dan Mimpi Pilar Negara
Minggu, 29 Juni 2014 12:54 WIB