- Saya Heni Lestari, Calon TKI asal Kecamatan Pakel, Tulungagung - Saya daftar di PT Sofia, Desa Besuki, Tulungagung Proses Hong Kong. - Satu setengah bulan lagi saya akan berangkat ke Hongk Kong. - Ee.. Berangkat saya berarti setelah tanggal 9 Juli. - Saya pastikan saya adalah warga Indonesia yang baik, artinya saya tidak (akan) GOLPUT. - Saya berharap kepada calon Pimpinan Indonesia, Capres, saya tidak tahu siapa yang jadi, tetapi saya berharap beliau bisa menjadi harapan saya, kami sebagai TKI yang ada di Indonesia. - Sebagai TKI pahlawan devisa Indonesia yang sudah menguntungkan secara APBN dan APBD untuk bangsa Indonesia. Kiranya siapapun yang jadi, dia harus menjadi PELINDUNG TKI DI INDONESIA. Terima Kasih. Testimoni di atas disampaikan dengan suara lantang dan apa adanya oleh Heni Lestari (40), salah satu calon TKI tujuan Hong Kong saat mengikuti kegiatan deklarasi Dukung Capres Pro-TKI yang digelar Paguyupan TKI dan mantan TKI bersama sejumlah penggiat Netral Freedom Institute di Desa Besuki, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Rabu (11/6). Tepuk riuh dukungan sontak terdengar kala Heni, demikian wanita bertubuh sedikit tambun ini biasa disapa, mengakhiri kalimat testimoninya dengan menyelipkan kebanggaan sebagai TKI pahlawan devisa negara. Pekik merdeka dan slogan hidup TKI sesekali terdengar kala Heni menyuarakan harapan mereka. Ya, curahan aspirasi Heni merupakan segelintir suara yang mungkin mewakili harapan sebagian besar masyarakat buruh migran Indonesia. Dihargai sebagai individu-individu TKI yang telah ikut mengangkat perekonomian Indonesia, dilindungi sebagai warga negara, serta disejahterakan sebagai kelompok masyarakat marjinal (tersisih) yang terpuruk dalam jurang kemiskinan dan ingin mentas secara ekonomi. Heni pun duduk kembali ke kursinya sembari menghela nafas panjang. Wajahnya sedikit tegang. Mungkin karena ibu dua anak ini harus memaksa keberaniannya untuk bersuara di tengah forum deklarasi yang diikuti lebih dari 100 calon TKI dan mantan TKI dari berbagai daerah di Jawa Timur tersebut. Setelah Heni, tak ada lagi yang berani bersuara. Semua seakan sudah merasa terwakili oleh aspirasi yang disampaikan Heni. Diam dan malu-malu, karakter khas masyarakat desa yang "kuper" (kurang pergaulan), berpendidikan rendah, serta mengidap perasaan "inferior" (merasa rendah) dan tersisih dari kelompok masyarakatnya. Kegiatan deklarasi kemudian dilanjutkan dengan seremoni penandatanganan petisi oleh para calon TKI dan mantan TKI yang hadir, termasuk Heni Lestari. Kali ini, mereka sedikit berebut. Tidak hanya membubuhkan tanda-tangan dan nama di atas kain berwarna putih sedikit abu-abu yang disediakan panitia deklarasi, tetapi juga menuliskan masing-masing satu kalimat pendek berisi uneg-uneg dan harapan masyarakat TKI terhadap calon pemimpin bangsa di masa mendatang, Jokowi ataupun Prabowo. Begitulah sekelumit gambaran suasana kegiatan Deklarasi Dukung Capres Pro-TKI yang digelar Paguyupan TKI dan mantan TKI bersama sejumlah penggiat Netral Freedom Institute, sebuah lembaga kajian isu buruh migran yang juga diisi aktivis mantan TKI. Menurut keterangan Nanang Fardiansyah, koordinator Netral Freedom Institute (NFI), deklarasi yang sedianya digelar di 30 kota dan enam (6) negara kantong TKI itu netral dari kepentingan politik tertentu. Mereka juga menolak dikaitkan dalam polarisasi dukungan terhadap dua kutub capres-cawapres yang saat ini sengit berpacu memperebutkan suara pemilih, termasuk dari masyarakat buruh migran dan keluarganya di Indonesia maupun di luar negeri yang jumlahnya diprediksi mencapai 12 juta orang lebih. "Kami tidak mendukung salah satu pihak, baik Jokowi atau Prabowo," kata mantan TKI di Hong Kong selama kurang lebih lima tahun, sejak 2002-2007 tersebut lugas. "Walaupun kita semua tahu Prabowo telah membela TKI Wilfrida lolos dari hukuman mati di Malaysia dan juga membantu 300 TKi di Yordania, tetapi dua capres ini tak satupun yang menyinggung satu katapun tentang penyiksaan TKI asal Jawa Timur, yakni Erwiana yang sedang sidang di Pengadilan Hong Kong, TKW Tifatul di Taiwan yang sekarang sakit parah di rumah sakit Banyuwangi, tanpa dijenguk oleh para capres maupun tim suksesnya, dan ketiga kasus TKI korban perdagangan manusia di Amerika (Serikat)," papar Nanang. Ia bersama sejumlah mantan buruh migran lain mencoba memberi alasan mengapa mereka getol membangun gerakan deklarasi mencari capres peduli TKI di 30 kota/kabupaten kantong TKI di Indonesia. Menurut dia, kampanye maupun visi-misi capres belum ada yang benar-benar mencerminkan kepedulian para calon pemimpin bangsa tersebut terhadap isu TKI. Semua masih bersifat normatif. Parameter yang digunakan Nanang dan kawan-kawan sederhana saja, dalam setiap kegiatan kampanye dan blusukan para capres di daerah-daerah, tak satupun yang menyinggung tiga persoalan TKI yang dia sebut di atas; kasus TKI Erwiana di Hong Kong, TKW Tifatul yang terbaring sakit di RS Banyuwangi, maupun kasus perdagangan manusia (TKI) di Amerika Serikat. "Kami tidak golput. Kami mengimbau teman-teman TKI dan keluarganya untuk menggunakan hak pilihnya secara cerdas dalam pilpres kali ini. Tapi kami juga mengingatkan mereka agar memilih capres yang benar-benar memiliki kepedulian terhadap TKI, bukan yang sekadar omong kosong di atas kertas tanpa bukti nyata," seru Nanang disambut pekik dukungan calon TKI dan mantan TKI yang hadir. Pilihan Berwarna Terlibat dalam deklarasi Dukung Capres Pro-TKI yang diklaim netral, bukan berarti para pesertanya sama sekali belum memiliki orientasi pilihan politik dalam Pilpres 9 Juli. Hasil wawancara acak yang dilakukan Antara terhadap sejumlah peserta maupun pengurus, mereka rata-rata sudah punya pandangan dukungan atas capres mana yang akan dipilih. Tetapi pilihan mereka ternyata tidaklah seragam. Ada yang menyatakan akan memilih Prabowo, ada yang bahkan menjadi relawati Jokowi atau "Projowati", namun ada pula yang menyatakan belum menentukan pilihan dari dua kutub capres yang ada. Heni Lestari yang menyampaikan testimoni di atas, misalnya, di awal kegiatan ia sempat mengaku nanti saat Pemilu Presiden 9 Juli akan mencoblos capres Prabowo, karena dianggap mewakili sosok yang tegas dan bisa melindungi masyarakat. Ditanya apakah pilihan itu sudah dipikir masak-masak, Heni mengaku orientasi hak politiknya sudah terbentuk lama, karena lingkungan keluarga dan tetangga sekitarnya mayoritas pendukung capres nomor urut satu tersebut. "Kami berharap Pak Prabowo segera menyampaikan konsep yang jelas dalam hal perlindungan TKI di luar negeri maupun kesejahteraan keluarganya di Indonesia," ucap Heni di akhir kegiatan deklarasi. Berbeda dengan Heni yang pengagum Prabowo, beberapa pengurus Asosiasi Petugas Rekrut TKI (Asperti) Tulungagung yang juga ikut dalam kegiatan deklarasi malah terang-terangan memperkenalkan dirinya terhadap wartawan sebagai relawan Projowati, semacam barisan perempuan pro-Jokowi di daerah tersebut. Namun, jangan mengira mereka bersikap partisan saat melakukan kampanye Mencari Capres Peduli TKI tersebut. Sebaliknya, masing-masing calon TKI, mantan TKI maupun petugas jasa rekruiter TKI itu justru berbaur menjadi satu, tanpa menonjolkan "warna" masing-masing. Sekalipun dalam dialog ringan acapkali berseloroh menunjukkan identitas dukungan politik, Nanang cukup berhasil meyakinkan kawan-kawannya yang "beranekaragam" tersebut untuk bersikap netral. Ketua Biro Hukum dan HAM Asperti Tulungagung, Junaeri bahkan harus menegaskan bahwa mereka telah sepakat, meski sehari itu, untuk menanggalkan keberpihakan masing-masing dan menyuarakan pentingnya visi-misi capres soal isu perlindungan TKI. "Siapapun pilihan presidennya, itu menurut keyakinan kita masing-masing. Siapapun presidennya, kami harap mereka punya rencana yang baik dan matang untuk membawa masa depan TKI ke arah yang lebih bagus," seru Tutik, Wakil Ketua Asperti Tulungagung yang sejak awal mengklaim dirinya sebagai Projowati Tulungagung. Buku Putih TKI Tak mau kalah dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang membuat buku putih untuk Calon Presiden RI mendatang (2014-2019), paguyupan mantan TKI yang kini berkecimpung dalam usaha jasa pengerahan buruh migran ke luar negeri ini juga berencana membuat buku sejenis. Isinya kira-kira mengungkap aneka persoalan dan harapan masyarakat TKI, di dalam dan luar negeri. Mulai masalah kekerasan yang dialami buruh migran di negara tujuan, pembayaran upah yang tidak sesuai kontrak perjanjian, pemidanaan TKI di luar negeri, hingga masalah mafia TKI yang berjejaring di dalam dan luar negeri. Semuanya akan dirangkum oleh sejumlah mantan TKI dalam satu kemasan buku putih untuk selanjutnya diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang saat ini berkuasa, maupun kepada masing-masing calon presiden berikutnya, Prabowo Subiakto dan Joko Widodo. Ada satu garis lurus yang senada disampaikan komunitas kajian "purnawirawan" TKI yang tergabung dalam Netral Freedom Institute dengan hasil jaring aspirasi masyarakat (jaring asmara) yang digelar delapan anggota Komite III DPD RI di Kabupaten Tulungagung, beberapa waktu lalu. Satu isu yang menonjol dan menjadi pembahasan hangat para senator saat beraudiensi dengan komunitas pelaku usaha pengerahan TKI maupun calon TKI saat itu adalah persoalan jaringan mafia pekerja migran di dalam dan luar negeri. Pelaku bisnis TKI yang kerap menggunakan segala cara untuk menyiasati aturan dan persyaratan pengerahan tenaga kerja Indonesia secara ilegal tersebut, disebut sebagai salah satu biang kerok lemahnya perlindungan TKI di luar negeri. Kondisi itu masih diperparah dengan tata peraturan di dalam negeri yang kerap berubah-ubah dan seperti "pisau bermata dua". Di satu sisi aturan ketenagakerjaan dimaksudkan untuk melindungi TKI, namun di sisi lain justru merepotkan dan membebani biaya pemberangkatan TKI ke luar negeri. "Ini yang kami maksudkan perlu menjadi perhatian dan pembinaan bagi presiden berikutnya. Buat tata-aturan main yang bisa mempermudah TKI kita untuk bekerja di luar negeri," tutur Nanang.(*)
Mencari Capres Peduli TKI
Sabtu, 14 Juni 2014 11:27 WIB