Legislator Perempuan untuk Perempuan?
Minggu, 23 Maret 2014 10:05 WIB
Hiruk pikuk merebut hati rakyat selama masa kampanye dari Pemilu ke Pemilu berikutnya tak pernah lepas dari janji-janji manis dari mulut para calon legislatif.
Janji manis itu muncul pula dari calon legislatif (caleg) perempuan yang saat ini semakin banyak setelah ditetapkannya aturan kuota caleg perempuan minimal 30 persen.
Hampir seluruh daerah pemilihan (dapil) di penjuru Tanah Air ini sudah memenuhi kuota perempuan 30 persen, bahkan ada yang melebihi kuota. Mereka akan bersaing dengan kaum adam dalam memperebutkan kursi parlemen di ajang Pemilu Legislatif (Pileg) 2014.
Yang menjadi pertanyaan kita, apakah legislator perempuan yang sudah duduk di kursi dewan itu juga telah memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender secara maksimal ?.
Berdasarkan pengalaman selama dua periode terakhir (2004-2009 dan 2009-2014), legislator perempuan yang duduk di kursi parlemen memang ada yang getol memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan secara umum. Namun, tidak sedikit pula yang belum berbuat banyak untuk memperjuangan hak-hak kaum perempuan.
Bahkan, sebagaian dari legislator perempuan yang pada masa kampanye menjanjikan sesuatu yang indah dan menumbuhkan harapan baru untuk kepentingan kaum perempuan, juga tidak mampu mewujudkannya. Bertambahnya kuota 30 persen kaum perempuan di kursi parlemen masih belum mampu mengubah kondisi.
Bergulirnya aturan-aturan terkait masalah perempuan yang dihasilkan dari gedung parlemen juga belum ada yang secara khusus mengaturnya. Misalnya, aturan terkait perlindungan terhadap pembantu rumah tangga (PRT) yang hampir 100 persen dari kalangan perempuan, padahal aturan itu juga sudah ditunggu-tunggu.
Beberapa waktu lalu memang pernah digagas dan digulirkan, namun sampai detik ini tidak ada kejelasan bagaimana perkembangannya. Apakah sudah ditindaklanjuti dan dibahas di Badan Musyawarah (Banmus), fraksi, komisi atau pimpinan dewan.
Hak dasar perempuan lainnya, seperti aturan yang mewajibkan bagi pusat perbelanjaan atau fasilitas umum dan sosial (fasum dan fasos) menyediakan ruang khusus untuk menyusui bayi. Imbauan memang sudah ada dan di Kota Malang satu-satunya pusat perbelanjaan yang sudah menyediakan ruang khusus menyusui adalah Malang Town Square (Matos).
Ada sejumlah perhatian yang dikhususkan untuk kaum hawa, namun semua itu bermuara dari pemerintah dan belum dituangkan dalam aturan perundangan, termasuk peraturan daerah (perda).
Tidak bisa dipungkiri, kaum perempuan di sejumlah di beberapa daerah, seperti di Surabaya dan Jakarta, misalnya, sudah mendapatkan perhatian, seperti mulai tersedianya gerbong KA khusus untuk perempuan dan bus khusus perempuan.
Selain itu juga ada program bantuan persalinan gratis yang disebut jaminan persalinan gratis (jampersal) dari pemerintah yang bisa dinikmati oleh siapapun yang melahirkan, baik dari kalangan kurang mampu maupun kaya.
Kita berharap legislator perempuan periode lima tahun ke depan, baik yang ada di kota/kabupaten, provinsi maupun pusat lebih getol memperjuangkan hak-hak perempuan agar hidupnya lebih nyaman karena hak-hak mereka sudah dijamin dan diatur dalam peraturan perundangan.
Kursi parlemen, baik di kota/kabupaten, provinsi dan pusat sudah banyak dihuni oleh kaum perempuan, namun belum banyak mewarnai panggung parlemen. Kalaupun ada, jumlahnya tidak banyak dan wajah-wajah serta nama yang aktif juga itu-itu saja, nama dan wajah yang sudah dikenal masyarakat, bukan wajah-wajah baru.
Harapannya, kuota perempuan di kursi parlemen 30 persen itu secara bertahap akan memberikan keseimbangan pemikiran dan perjuangan antara kaum adam dan kaum hawa. Bukan hanya janji di atas kertas!. (*)