BPK: Hati-hati Ubah UU Keuangan Negara
Rabu, 12 Februari 2014 18:55 WIB
Surabaya (Antara Jatim) - Anggota IV Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Ali Masykur Musa, meminta DPR RI untuk bersikap ekstra-hati-hati dalam mengubah UU Keuangan Negara, karena bila tidak hati-hati akan justru menyeret negara dalam mekanisme pasar yang merugikan bangsa sendiri.
"Saya mendukung langkah BAKN (melakukan perubahan), tapi ada dua kerentanan yang harus disikapi secara ekstra hati-hati oleh DPR," katanya dalam diskusi publik tentang Perubahan UU Keuangan Negara 17/2003 yang dilakukan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI di Aula Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Rabu.
Di hadapan mahasiswa, dosen, guru besar, dan pejabat Unair, seperti Rektor Unair Prof H Fasich Apt dan Guru Besar Ekonomi Islam Prof Suroso Imam Zadjuli, serta Ketua BAKN Dr Sumarjati Arjoso SKM, ia menegaskan bahwa isu bahwa selain APBN bukan tergolong keuangan negara harus disikapi secara ekstra-hati-hati.
"Sumber keuangan negara itu bukan hanya APBN, karena sumber keuangan negara itu isa berupa uang dan barang. APBN itu hanya salah satu bentuk dari pengelolaan keuangan negara, tapi BUMN juga merupakan bentuk yang lain, karena itu saya sependapat dengan pakar ekonomi Unair bahwa sumber keuangan negara itu APBN, BUMN, dan perolehan dari pengelolaan BUMN itu," katanya.
Terkait hal itu, salah seorang peserta Konvensi Capres Partai Demokrat itu menilai Bab VIII tentang Keuangan Negara Yang Dipisahkan harus dicermati, terutama Pasal 26 pada Bab VIII itu, karena pasal itu mereduksi pengawasam keuangan negara oleh DPR dan BPK, sebab audit BUMN, BUMD, atau BUMDesa hanya dilakukan sesuai bentuk badan hukumnya.
"Pasal itu perlu dirinci, karena BUMN itu merupakan bagian dari keuangan negara, sehingga BPK berwenang untuk melakukan audit. Saya sependapat dengan para pakar ekonomi Unair bahwa uang negara yang ada pada BUMN itu bukan hanya PMN (penyertaan modal negara), namun PMN dan laba darui perolehan BUMN yang menerima uang negara itu," katanya.
Menurut Ketua Umum PP ISNU itu, hal rentan lainnya yang patut dicermati para wakil rakyat adalah kekayaan negara berupa aset-aset negara (barang), termasuk BUMN itu sendiri, sehingga kalau BUMN tidak dianggap sebagai aset, maka akan mudah diserahkan kepada swasta, padahal BUMN itu bukan semata-mata bisnis, tapi juga mengemban misi negara berupa PSO.
"Kedua hal rentan itu sudah ada yang mengajukan judicial review ke MK, karena itu DPR harus hati-hati, terutama untuk mengupayakan sinkronisasi antara UU Keuangan Negara dengan UU lain, seperti UU Perbendaharaan Negara, UU BPK, dan UU BUMN. Minimal UU Keuangan Negara itu harus sinkron dengan tiga UU itu," katanya.
Menanggapi berbagai masukan dari para pakar ekonomi Unair dan juga Anggota BPK itu, Ketua BAKN Dr Sumarjati Arjoso SKM menegaskan bahwa Perubahan UU Keuangan Negara itu menjadi salah satu Prolegnas dan kini sudah ditangani Pansus UU Keuangan Negara, namun BAKN DPR RI mendapat tugas dari Pansus untuk mencari masukan dari berbagai pihak.
"Untuk kalangan akademisi, kami meminta masukan pertama dari Unair (Surabaya), lalu kami akan ke Unud (Bali) dan Unhas (Makassar). Intinya, kami sepakat bahwa semua yang menggunakan uang negara, termasuk BUMN itu, harus tetap dihitung sebagai keuangan negara," katanya.
Ketua Fraksi Partai Gerindra di DPR itu menilai keuangan negara ke depan perlu dikelola lebih baik lagi agar tidak ada lubang yang justru banyak menimbulkan masalah, seperti 50 persen lebih kepala daerah yang mengelola APBN/APBD menjadi tersangka korupsi.
Dalam diskusi publik BAKN DPR RI itu, Sekretaris BAKN DPR Dr Siswo Sujanto mengawali diskusi dengan paparan tentang landasan filosofi dari UU Keuangan Negara dan perubahannya dengan didampingi empat panelis yakni Prof Dr Soegeng Soetedjo SE Ak (FEB), Dr Ardianto MSi SE Ak (FEB), Dr Emanuel Sujatmoko SH MS (FH), dan Dr Sri Winarsi SH MH (FH).
Siswo Sujanto yang juga mantan Ketua Tim Penyusun Paket UU Keuangan menegaskan bahwa UU 17/2003 tentang Keuangan Negara perlu dilakukan beberapa perubahan, karena ada beberapa masalah yang belum tercakup, di antaranya status BUMN, dana pihak ketiga (hibah, dana abadi umat, dana haji, dan sebagainya), postur belanja pegawai yang selalu lebih tinggi, mekanisme perencanaan, penganggaran, dan pegawasan.
"Banyak pihak yang salah memahami bahwa Keuangan Negara itu sebenarnya lebih merupakan aspek politik, meski aspek hukum, ekonomi, dan administrasi juga ada di dalamnya. Kata kunci dari keuangan negara adalah rakyat butuh apa, bagaimana perencanaannya, darimana mendapatkan sumbernya, dan seterusnya, lalu eksekutif (pemerintah) melakukan perencanaan, legislatif (DPR) melakukan penetapan, dan akhirnya eksekutif melaksanakan (operator)," katanya.
Dalam diskusi itu, sejumlah pakar dari Unair menyarankan perlunya ketegasan audit BUMN oleh DPR dan BPK, perlunya ketegasan PNBP (pajak negara bukan pajak) dari BLU (badan layanan umum) seperti universitas, rumah sakit daerah, dan sejenisnya untuk disetor ke kas negara dan caranya cepat, perlunya penerapan sanksi administrasi yang implisit, perlunya hirarkhis Bappeko - Bappeprov - Bappenas dan buka Bappeprov ke Gubernur atau Bappeko ke Wali Kota, dan perlunya tahun anggaran dan tahun pelaksanaan anggaran. (*)