Surabaya (Antara Jatim) - Dirut Perusahaan Daerah Taman Satwa Kebun Binatang Surabaya Ratna Achjuningrum menyatakan peristiwa kematian satwa di suatu lembaga konservasi merupakan hal yang wajar terjadi. Hal tersebut diungkapkan Ratna Achjuningrum di Surabaya, Selasa, guna mengklarifikasi derasnya sorotan media bila ada satwa yang mati di KBS. "PDTS memang kerap kali berada pada posisi yang kurang menguntungkan setiap terjadi kematian satwa," katanya. Hal ini dikarenakan berita kematian hewan koleksi KBS selalu dikaitkan dengan opini pengelolaan yang kurang bagus. Padahal, lanjut dia, saat pertama kali menangani KBS pada 15 Juli 2013, kondisi satwa sudah sangat memprihatinkan. Ratna lantas menjelaskan, mulanya ada 204 spesies namun kini jumlahnya tinggal 197 spesies. Secara keseluruhan, total satwa di KBS saat ini ada 3.459 ekor dengan rincian 84 ekor dalam keadaan cacat, tua maupun sakit dan 40 ekor lainnya sudah sangat tua dan berada dalam pengamatan serius. "Beberapa di antaranya bahkan cukup parah," katanya. Dia membeberkan kondisi riil satwa satu per satu, misalnya seekor gajah bernama Hilir berjenis kelamin betina dan berusia 25 tahun. Saat pertama kali PDTS masuk, keadaannya sudah sangat memprihatinkan, selain sudah tua, mata kanannya sakit dan berselaput. Selain itu ada juga Candrika, seekor harimau putih berumur 16 tahun yang kondisi lidah Candrika sudah tidak normal. Hal itu berimbas pada menurunnya nafsu makan hewan tersebut yang sebelumnya sudah menurun 3 kilogram daging per hari kini Candrika hanya mau menyantap 1 kilogram daging per hari. Hilir dan Candrika hanya sebagian contoh satwa dengan kondisi buruk. Angeli, seekor singa harus berjalan sempoyongan karena mengalami kelainan pada kaki belakangnya. "Di luar ketiga hewan tersebut menurut Ratna, masih banyak satwa dengan kondisi serupa, seperti celeng goteng, beruang madu, kuda nil, dan komodo. 33 burung juga dalam kondisi cacat dan sakit, termasuk 3 merak biru dan 10 jalak bali," terangnya. Ratna menjelaskan penyebab banyaknya satwa yang cacat tersebut sebagian besar karena perilaku satwa itu sendiri. Bisa jadi karena satwa bersikap hiperaktif atau perkelahian antarhewan dalam kandang. Lemahnya pengawasan sebelum ditangani PDTS KBS membuat faktor-faktor itu mungkin saja terjadi. Sedangkan faktor pendorong kematian satwa, lanjut dia, bisa karena faktor seleksi alam, yakni kondisi satwa yang memang sudah tua. Kendati saat pertama kali mengelola KBS pada Juli tahun lalu PDTS sudah mendapati banyaknya satwa tua dan cacat, namun Ratna menyatakan pihaknya tetap memberikan perawatan maksimal. Upaya yang dimaksud berupa pemberian obat, vitamin dan makanan yang berkualitas. Serta, secara triwulan, PDTS rutin memberikan laporan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Sementara soal surplus hewan, alumnus Universitas Brawijaya itu mengatakan saat ini ada 144 ekor jalak bali dan 94 ekor pelikan. Sejauh ini, dua jenis satwa tersebut yang populasinya paling banyak. Hal itu tentu berpengaruh terhadap penyediaan lahan dan kandang demi kenyamanan satwa. Terkait hal ini, PDTS KBS tengah berkoordinasi dengan kementerian dan BKSDA. "Kalau memang ada rekomendasi dari kementerian maupun BKDSA untuk dipindah, ya akan kami pindah tentunya proses kepindahan sesuai prosedur agar tidak terjadi over populasi," katanya. (*)
Dirut PDTS: Kematian Satwa KBS Wajar
Selasa, 28 Januari 2014 20:43 WIB