Kaukus Perempuan Parlemen Protes Seleksi Calon KPU Jatim
Jumat, 24 Januari 2014 19:54 WIB
Surabaya (Antara Jatim) - Ketua Kaukus Perempuan Parlemen (Kapepa) DPRD Provinsi Titik Indrawati memprotes seleksi penerimaan calon komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur periode 2014-2019.
"Sebagai perempuan, kami tersinggung dan merasa dilecehkan oleh Timsel kali ini karena hanya mengakomodir satu calon perempuan saja," ujarnya kepada wartawan di Surabaya, Jumat.
Dari 20 besar nama calon komisioner, hanya seorang perempuan yang lolos. Hal ini, kata dia, menggambarkan timsel tidak progender dan tidak salah jika mendapat sorotan berbagai pihak.
Menurut Titik, sebagai lembaga penyelenggara pemilu, KPU harus menunjukkan wajah yang properempuan. Sehingga, dari 20 calon yang lolos, minimal ada tujuh orang perempuan.
Apalagi, pada peraturan yang dikeluarkan KPU kepada partai politik, lembaga ini tidak segan-segan mencoret partai yang tidak memenuhi kuota 30 persen perempuan.
Ia mengaku sangat ingat, bagaimana KPU sangat detil melakukan verifikasi faktual terhadap kader perempuan parpol. Semua dicek dan diteliti kebenarannya. Bahkan, para kader perempuan dipanggil satu-per satu ke Kantor KPU.
"Lha kalau partai politik saja diperlakukan seperti itu, kenapa Timsel tidak menerapkannya ketika menjaring komisioner KPU," kata legislator asal Partai Demokrat tersebut.
Dimintai tanggapan tentang pernyataan Ketua Timsel Aribowo bahwa hasil tes calon perempuan lebih rendah dibandingkan dengan calon pria, anggota Komisi B DPRD Jatim itu mengaku heran.
"Apakah perempuan yang dicomot parpol supaya tidak didiskualifikasi oleh KPU, kualitasnya bisa bagus? Kan tidak. Sebab hanya untuk memenuhi 30 persen," katanya.
Pihaknya meminta kepada Komisi A DPRD Provinsi Jawa Timur mengambil sikap tegas untuk menolak dan menganulir hasil seleksi tersebut.
Bahkan, jika protesnya tak ditanggapi maka pihaknya akan menggalang dukungan lembaga swadaya masyarakat (LSM) perempuan melakukan unjuk rasa.
Sementara itu, Ketua Timsel Aribowo menanggapi keterwakilan perempuan, bahwa dalam aturan hanya tertulis "memperhatikan", bukan "harus 30 persen".
"Dengan demikian, kami tidak bisa memaksakan 30 persen perempuan jika ada laki-laki yang nilainya jauh di atas," kata Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga Surabaya tersebut. (*)