Oleh Abdul Hakim Surabaya (Antara Jatim) - Perubahan iklim yang terjadi pada dua dekade belakangan ini akan menjadi masa perubahan iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak pasti. Hal ini tentunya menjadi kekhawatiran bagi umat manusia akan timbulnya bencana alam yang datang secara tiba-tiba. Apalagi, dunia saat ini sedang dihadapkan pada permasalahan degradasi kondisi lingkungan seperti pencemaran air, udara dan tanah tidak terelakkan lagi seiring perkembangan pembangunan di seluruh dunia, terutama di perkotaan. Urbanisasi secara besar-besaran terjadi di sebagian besar kota-kota besar di dunia karena tidak ada keseimbangan pembangunan antara desa dan kota. Daya dukung kota-kota semakin lemah dalam memfasilitasi kebutuhan warga kota dan polusi udara dan pencemaran air serta tanah semakin menjadi. Pemenuhan kebutuhan warga untuk bisa hidup sehat, nyaman dan sejahtera, menjadi persoalan yang perlu dicari solusinya oleh semua pihak. Seiring jalannya pembangunan, dalam upaya memberikan kenyamanan dan lingkungan sehat bagi warga kota, Konsep "Green City" dan "Eco City" (kota hijau berwawasan lingkungan) dapat menjadi solusi bagi pelaku pembangunan kota. Kota hijau yang dimaksud di sini adalah pengefektifan dan mengefisiensikan sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin adanya kesehatan lingkungan, dan mampu mensinergikan lingkungan alami dan buatan, yang berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan (lingkungan, sosial, dan ekonomi). Pakar Lingkungan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Maria Anityasari mengatakan Kota Hijau memiliki delapan atribut dalam hal prosesnya yaitu Green Planning and Desain, Green Community, Green Building, Green Energy, Green Water, Green Transportation, Green Waste, Green Openspace. Green Building Council Indonesia (GBCI) mencatat dampak dari bangunan gedung rerata mengeluarkan 30 persen emisi CO2, sekitar 17 persen air bersih, konsumsi kayu 25 persen, energi (30-40 persen), dan faktor-faktor lain hingga 100 persen. Untuk mewujudkan Indonesia menjadi Kota Hijau dalam rangka menghadapi perubahan iklim, kata dia, diperlukan kerja sama dari masyarakat dan pemerintah. Tindakan sebelumnya yang dimulai dari konsep, ditingkatkan menjadi aksi nyata bersama. Pemerintah Indonesia sendiri saat ini telah mencanangkan program kota hijau yang berbasiskan masyarakat (empowerment), melalui programnya yaitu Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) yang dalam implementasinya dimuat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten dan Kota. Kendala Penerapan sistem "Green Building" di Indonesia khususnya kota-kota besar seperti Kota Surabaya hingga kini dinilai belum dilakukan secara maksimal dan belum merata karena masih banyak gedung-gedung yang belum banyak menerapkan sistem tersebut. Hal ini diakui Kepala Bidang Sarana dan Prasarana, Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya D. Dwija Wardhana. Ia mengatakan, "green building" atau bangunan yang memiliki visi ramah lingkungan tidak terbatas pada gedung-gedung bertingkat, melainkan bangunan lain seperti perumahan. "Sebetulnya di Surabaya sudah menerapkan itu, hanya saja tidak semua orang yang mengetahuinya. Makanya saat ini perlu dikembangkan dan didengungkan," katanya. Menurut dia, bangunan memberikan kontribusi yang besar terhadap gas rumah kaca, selain transportasi massal cepat. "makanya mau tidak mau 'green building' jadi prioritas agar kualitas lingkungan lebih baik," katanya. Dwidja mengakui gedung pemerintahan di Surabaya masih banyak yang belum menerapkan sistem tersebut, sehingga ke depan, pihaknya akan menekankan untuk kantor pemerintahan mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan hingga kantor setingkat dinas di pemerintah kota menerapkannya. "Prinsip sudah diterapkan dan sudah ada evaluasi untuk gedung pemerintahan, tinggal bagaimana mengoptimalkan sirkulasi pencahayaan alami, sirkulasi udara yang tidak semata-mata mengandalkan AC dan instalasi pengolaan limbah," katanya. Untuk gedung yang sudah menerapkan sistem "green building" di antaranya adalah gedung BRI Tower, Graha Pangeran dan Graha Wonokoyo. Untuk gedung Graha Pangeran dan Graha Wonokoyo sudah mendapatkan sertifikat "green building" dari ASEAN Center for Energy Awards 2002. Dwija mengatakan dengan menjadikan gedung ramah lingkungan di Surabaya secara tidak langsung bisa mengurangi pemanasan global. Bangunan atau gedung dengan banyak kaca justru mampu menyumbang karbon sampai 50 persen. Selain gedung pemerintahan dan swasata, lanjut dia, Pemkot Surabaya juga sudah menerapkannya di sistem tersebut di tingkat perkampungan melalui "green and clean". "Itu arahnya ke sana juga, seperti Kampung Legundi yang kini sudah bisa mengolah limbahnya sendiri," katanya. Sistem "green building", lanjut dia, tentunya harus didukung dengan penataan jalan yang lebih baik. Ia memberikan contoh kondisi jalan yang ada, seperti Jalan Lingkar Timur, Lingkar Luar Timur, Jalan Lingkar Luar Barat dan lainnya. "Semua itu menjadi pendukung Surabaya untuk menjadi Green City," katanya. Untuk memacu semangat menerapakan "green building", Pemkot Surabaya pada tahun mendatang akan menggelar Green Building Awareness Award 2014. Penghargaan ini akan diberikan kepada pihak yang telah menjalankan konsep "green building" di gedung atau bangunannya. Ukuran untuk "green building", kata pakar Lingkungan ITS Maria Anityasari, ada enam kriteria, yakni rencana pengembangan bangunan yang tepat (site development), efisiensi energi, efisiensi air, penggunaan material yang tepat, kenyamanan dan kesehatan dalam ruangan (indoor) dan manajemen lingkungan dalam bangunan. "Intinya Green Building Awareness Award 2014 menitikberatkan pada upaya meningkatkan kesadaran dan pengetahuan pemangku kepentingan (pihak pengembang, pengelola bangunan, pengguna bangunan, dan masyarakat luas) terhadap pentingnya 'green building'," katanya. Ia mengatakan sebaik apapun bangunan didesaian, namun jika pengguna tidak tahu berprilaku yang baik sesuai prinsip "green building", maka percuma saja. Seperti halnya, jika seseorang menggunakan ac secara berlebihan sampai 16 derajat celcius, padahal kenyataan orang tersebut kedinginan sehingga harus memakai selimut. "Contoh tersebut adalah fakta bahwa kita tidak punya sensitifitas terhadap lingkungan," katanya. Kontruksi Pesatnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang saling berlomba acap kali kurang memikirkan efeknya tersebut terhadap lingkungan dan generasi mendatang, sehingga dibutuhkan perubahan dan gerakan untuk mengatasi hal ini. Salah satu cara untuk mengimbangi pembangunan sekaligus menjaga lingkungan dan generasi mendatang, dibutuhkan "green construction" (konstruksi hijau) yakni sebuah gerakan berkelanjutan yang mencita-citakan terciptanya konstruksi dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pemakaian produk konstruksi yang ramah lingkungan, efisien dalam pemakaian energi dan sumber daya, serta berbiaya rendah. Ketua Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) Jatim, Harry Sunarto, mengatakan belum banyak kontraktor atau pengembang di Jatim khususnya Surabaya yang menerapkan bangunan berwawasan lingkungan. "Tantangannya tidak menjual, tidak aman dan lainnya. Selain itu, konsumen juga tidak mempermaslahkan dengan bentuk desain yang ditawarkan pengembang," katanya. Padahal untuk mewujudkan itu semua, tentu harus seimbang, tidak hanya aspek lingkungan tapi juga memperhatikan fungsi gedung, memperhatikan masalah keindahan dan keharmonisan antara struktur bangunan dan lingkungan alamiah di sekitarnya. Selama ini, lanjut dia, pihaknya menyebut "green building" lebih pada kearifan lokal yang selalu membawa kebaikan kepada lingkungan setempat. "Jadi ada interaksi dengan alam. Jadi tidak sekedar "green" tapi prilakunya juga green," katanya. Saat ini, untuk skala kecil pembangunan perumahan, bentuk desiannya saja sudah tidak mengiraukan perlu adanya teras atau halaman depan dan juga ada pagarnya tinggi. "Selain itu di kompleknya diberi portal, ini sudah menghilangkan interaksi sosial. Seharusnya tidak seperti itu," katanya. Maka dalam penilaian pemberian penghargaan Green Building Awareness Award 2014 perlu kehati-hatian. Artinya bangunan yang dinilai patut mendapat penghargaan itu bisa berkesinambungan. "Artinya harus ada siapa yang mengontrol setiap saat," katanya. Saat ditanya penerapan di Surabaya, Harry mengatakan lebih baik jika dibandingkan dengan daerah lain. "Teman-teman IAI di daerah, semua mengacungi jempol lalu lintas bagus, bersih, banyak taman dan lainnya," katanya. Pakar Tata Kota dari ITS, Prof. Dr. Ir. Johan Silas menegaskan ada dua kriteria yang ditentukan dalam penilaian "Green Building" yakni sisi keras dan sisi lunak. Untuk sisi keras terkait aksesoris pendukung seperti penggunaan solar cell dan lain sebagainya, sementara untuk sisi lunak termasuk gedung yang sudah memberlakukan hemat energi. Ia mengatakan untuk menerapkan sistem ini awalnya biayanya cukup besar, tapi itu akan dirasakan manfaatnya pada lima tahun mendatang. "Apakah ini menjadi kendala, saya kira tidak. Bangunan dari beton itu bagus, tapi tidak semua karena kayu juga bisa. Kayu pun tidak harus dari jati," katanya. "Green building", lanjut dia, intinya energi, jadi energi yang diperlukan untuk buat bangunan, energi untuk mendirikan bangunan, bukan energi operasional. "Di Surabaya sistem itu sudah mulai. Banyak kalangan tertentu yang sudah mengunakan lampu LED (atau hemat energi)," katanya. Selain itu, Surabaya sudah memulai dengan banyaknya taman, airnya bersih jika dibandingkan dengan kota lain. "Hidupnya lebih tenang tidak stres, hidupnya lebih toleran karena tidak ada tawuran, lebih kreatif dan dia bisa menghargai orang lain," katanya. Untuk menjadi "Green City", kata dia, tidak hanya bangunannya yang ditata tapi juga harus menjadi "Green Infrastructure". Dengan demikian, mewujudkan diri sebagai Green City dan Eco City, tak bisa seperti membalikkan telapak tangan tapi harus ada konsep berkelanjutan. Untuk 2014, Kota Surabaya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang kota ini harus berkonsep kota hijau sehingga tidak saja hanya mengatur atau menata bangunan menuju "green building", tapi harus didukung efisiensi penggunaan lahan untuk akses jalan. Jika di Surabaya tetap mempertahankan jalan kampung atau setapak sehingga membuat keberadaan kampung-kampung di Surabaya tetap ada, maka ini berbeda dengan di Jakarta yang mengutamakan jalan di kampung dengan ukuran mobil, sehingga lambat laun kampung itu pun kalah dengan lahan jalan. Business & Operation Manager dari G-Energy Global Pte Ltd, Singapura, Yosef Lim mengatakan kata kunci untuk memahami cara kerja bangunan hijau yakni efisiensi, proteksi dan inovasi berbasis lingkungan dan pemeliharaan yang berkelanjutan (environmental and sustainable development/ESD). Konsep ESD sendiri melingkupi lima area yakni penghematan energi, air, perlindungan lingkungan, kualitas udara dalam lingkungan yang baik serta inovasi fitur-fitur hijau. Konsep ESD pada dasarnya terbagi dua pengertian besar yakni passive design dan active design. Desain pasif menekankan pada desain gedung dari sisi arsitektural untuk meminimalkan energi panas matahari ke dalam gedung. Kondisi ini dapat disiasati dengan meletakkan gedung menghadap utara dan selatan, memperkecil rasio kaca dan dinding de ngan penggunaan material glazing yang dapat mereduksi panas matahari dengan baik sehingga penggunaan mesin peng kondisi udara (air conditioner/AC) dapat direduksi. Adapun, desain aktif berfokus pada strategi efisiensi penggunaan per alatan mekanik dan elektrik seperti sistem pendingin gedung, lampu, lift dan eskalator, serta ventilasi mekanis. Agar lebih maksimal, penggunaan penyejuk berbasis air (water cooled chiller system) untuk efisiensinya lebih baik 30 persen-50 persen jika dibandingkan dengan penyejuk berbasis udara (air cooled chiller system). Untuk lampu (lighting) dapat diguna kan jenis T5 dengan electronic ballast dan LED. Penggunaan lampu T5 dapat menghemat 40 persen dibanding kan dengan lampu T8 dengan magnetic ballast. Penghematan energi ini akan ikut membantu mengurangi emisi CO2 dalam gedung. Untuk menanggulangi krisis air bersih dan penghematan air, sangat dianjurkan memakai alat jenis "fitting water" misalnya dengan memanfaatkan air hujan yang ditampung dengan kapasitas tertentu untuk menyirami tanaman. Sistem ini bahkan bisa mendaur ulang air buangan hingga standar tertentu agar dapat dipakai lagi baik untuk menyiram tanaman maupun membersihkan toilet. Ketua Komisi C Bidang Pembangunan DPRD Surabaya Sachiroel Alim mengatakan pihaknya mendukung keinginan pemkot untuk mewujudkan sistem "green building". "Ide itu bagus, tapi harapan kami tidak hanya di kawasan perkantoran tapi juga di kawasan perumahan. Kalau berbasis lingkungan tentunya juga harus mengurangi rumah kaca karena itu mengganggu ekosistem," katanya. Bila perlu, Alim mengatakan harus ada ketetapan atau peraturan berupa peraturan daerah (perda) atau peraturan wali kota (Perwali) yang lebih memperjelas kewajiban semua pihak untuk menerapkan sistem tersebut. (*)
Bangunan Hijau, Tantangan Pembangunan Berkelanjutan di Surabaya
Minggu, 1 Desember 2013 19:54 WIB