Kantor atau tempat kerja, bagi para pekerja sering kali dikatakan sebagai rumah kedua. Ini karena hampir separuh waktu dalam setiap harinya dihabiskan di dalam kantor. Tentunya untuk memberikan rasa aman dan nyaman, tidak jarang para pekerja merenovasi ruang kerjanya senyaman di rumah. Tentunya dengan memanfaatkan segala peralatan atau fasilitas serta energi yang ada. Tempat kerja yang tidak nyaman, tentu akan membuat semangat kerja menjadi menurun. Tentunya untuk merasa bahagia tidak datang dengan sendirinya, tapi harus diciptakan. Selayaknya di rumah, upaya perilaku ramah lingkungan pun juga mesti diterapkan di kantor. Baik itu dimulai dari kebiasaan diri sendiri hingga akhirnya terorganisir. Upaya ramah lingkungan ini memberikan "benefit" bagi karyawan maupun perusahaan. Para karyawan tentu bisa merasa lebih segar, sehat, serta lebih produktif dalam bekerja. Perusahaan pun mampu memangkas biaya operasional yang terbuang karena pemborosan energi. Salah satu upaya untuk mengondisikan kantor atau gedung berwawasan lingkungan adalah menerapkan konsep "green building" atau bangunan hijau. Konsep bangunan hijau bukanlah sekedar bangunan yang didominasi tanaman di sekitar lingkungannya, namun lebih mengacu pada aspek-aspek penghematan energi, hemat air bersih, hemat material bangunan, dan hemat lahan. Lembaga penilai bangunan hijau, "Green Building Council Indonesia" (GBCI), menyebutkan bahwa konsep bangunan hijau adalah bangunan dimana di dalam perencanaan, pembangunan, pengoperasian serta dalam pemeliharaannya memperhatikan aspek-aspek dalam melindungi, menghemat, mengurangi pengunaan sumber daya alam, menjaga mutu baik bangunan maupun mutu dari kualitas udara di dalam ruangan, dan memperhatikan kesehatan penghuninya yang semuanya berdasarkan kaidah pembangunan berkelanjutan. Oleh karenanya banyak pemilik atau pengelola gedung berlomba-lomba untuk membuat gedung dengan konsep hijau. Hanya saja, tidak semua dari mereka mampu melaksanan konsep itu secara benar dan konsisten, melainkan hanya sementara dan kondisional. Hal ini diakui Kepala Bidang Sarana dan Prasarana, Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya D. Dwija Wardhana. Ia mengatakan hingga saat ini masih banyak gedung di Kota Surabaya yang belum maksimal dalam menerapkan sistem gedung hijau, termasuk gedung milik pemerintah. "Bangunan memberikan kontribusi yang besar terhadap gas rumah kaca, selain transportasi massal cepat, karenanya mau tidak mau bangunan hijau menjadi prioritas agar kualitas lingkungan lebih baik," katanya. Dwija mengatakan dengan menjadikan gedung ramah lingkungan di Surabaya secara tidak langsung bisa mengurangi pemanasan global. Bangunan atau gedung dengan banyak kaca justru mampu menyumbang karbon sampai 50 persen. Salah satu upaya yang dilakukan Pemkot Surabaya untuk memacu pergerakan bangunan hijau di Surabaya adalah menggelar "Green Building Awareness Award (GBAA)" 2014. GBAA merupakan anugerah untuk bangunan-bangunan yang menerapkan standar kepedulian terhadap lingkungan. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan pemahaman pengembang, pengelola dan pengguna bangunan tentang kaidah bangunan hijau dengan disertai implementasi kebijakan dari pemerintah kota. Adapun salah satu konpensasi yang dapat diterima bagi bangunan yang mendapatkan anugerah GBAA berupa insentif, yakni keringanan membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) hingga 50 persen. Sesuai dengan SK Wali Kota Surabaya yang mendapatkan pengurangan PBB adalah bangunan cagar budaya dan bangunan ramah lingkungan. "Kita akan mantabkan dengan tim juri, apakah juara 1 nanti akan mendapat potongan PBB lebih besar atau seperti apa," katanya. Upaya Pemkot Surabaya merangsang lebih banyak bangunan hijau melalui GBBA patut mendapat apresiasi. Sejak diluncurkan GBAA pada Desember 2013, tercatat lebih dari 200 gedung mendaftar, mencakup empat ketegori bangunan, yakni hotel, apartemen, perkantoran dan mal. Hingga tahap akhir penjurian September ini, terseleksi 59 bangunan yang dianggap telah menerapkan standar kepedulian paling tinggi terhadap lingkungan. Namun yang lebih penting itu bukan karena insentif berupa keringanan membayar PBB maupun agar bangunan itu menjadi terkenal, melaikan keberlanjutan dari konsep bangunan hijau yang tidak hanya selesai di GBBA tapi juga dijadikan prilaku dan kebiasaan hijau setiap harinya. Dwija mengatakan untuk mewujudkan kota berwawasan lingkungan harus dimulai dari lingkungan terkecil dulu, seperti kantor, hotel, apartemen maupun pusat perbelajaan. "Kalau dari awal dari lingkungan terkecil itu bisa terwujud ini bisa mendukung dan memberikan kontribusi kepada kota karena visi dan misi pemkot mewujudkan Kota Surabaya berwawasan lingkungan," katanya. Menurut dia, jika masing-masing penyelenggara bangunan gedung itu memiliki kesadaran, pemahanan dalam menggunakan prinsip energi hijau, maka tentunya bisa memberikan manfaat buat lingkungannya juga kotanya. "Yang utama penerapan itu yang diuntungkan mereka sendiri. Contoh hemat energi, yang awalnya membayar beban listrik banyak akhirnya jadi sedikit. Begitu juga dengan penggunaan air PDAM yang sedikit berkurang karena sudah menggunakan daur ulang dari air hujan maupun limbah yang digunakan untuk keperluan air bersih," katanya. GBAA sendiri, kata Dwija, merupakan sarana untuk memotivasi pertumbuhan bangunan-bangunan berwawasan lingkungan di Surabaya. Hal ini dikarenakan ke depan, Pemkot Surabaya akan menerbitkan regulasi yang mewajibkan setiap bangunan di Surabaya memenuhi standar kepedulian terhadap lingkungan. Kriteria penilaian merujuk pada kebijakan Konsul Bangunan Hijau Indonesia (Green Building Council Indonesia), yakni meliputi fungsi lahan, efisiensi energi, konservasi air, sumber dan siklus material, kualitas dan kenyamanan udara, serta manajemen lingkungan bangunan. Penilaian akan dilakukan oleh tim gabungan yang terdiri atas Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Surabaya, Dinas Cipta Karya, para akademikus, praktisi, dan "Green Building Council Indonesi" (GBCI). Tim gabungan melakukan penilaian pada September-Oktober 2014 dalam empat tahap. Pada masing-masing kategori akan dipilih tiga nominasi. Puncak penghargaan diberikan pada November dengan terpilihnya 12 finalis yang berhak mendapat penghargaan berupa sertifikat atau plakat Green Building. Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan (Bappeko) Kota Surabaya Agus Imam Sonhaji menambahkan pemerintah ingin mendorong efisiensi penggunaan listrik dan material yang ramah lingkungan. "Selama ini konsep ramah lingkungan di tingkat rumah atau kampung sudah dilakukan melalui program 'green and clean'. Sekarang giliran gedung-gedung besar akan menerapkan 'green building'," katanya. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menyatakan dalam penerapan bangunan hijau, Kota Surabaya bisa dikatakan lebih baik dari daerah lain. "Kata Pak Dirman (Asisten Deputi Pengolahan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup), grade Adipura yang diperoleh Surabaya lebih tinggi ketimbang kota-kota lainnya," katanya. Namun demikian, kata Risma, hal itu bukan tujuan hanya untuk mendapatkan penghargaan semata. Hal ini dikarenakan Surabaya tidak punya apa-apa, sehingga yang bisa digunakan untuk mendatangkan pemasukan dengan menciptakan kota bersih aman, nyaman dan indah. "Sehingga orang yang datang ke Surabaya jadi senang," katanya. Pakar tata kota dari ITS Prof Ir Johan Silas menegaskan ada dua kriteria yang ditentukan dalam penilaian bangunan hijau, yakni sisi keras dan sisi lunak. Untuk sisi keras terkait aksesoris pendukung seperti penggunaan "solar cell" dan lain sebagainya, sementara untuk sisi lunak termasuk gedung yang sudah memberlakukan hemat energi. Ia mengatakan untuk menerapkan sistem ini awalnya biayanya cukup besar, tapi itu akan dirasakan manfaatnya pada lima tahun mendatang. "Apakah ini menjadi kendala, saya kira tidak. Bangunan dari beton itu bagus, tapi tidak semua karena kayu juga bisa. Kayu pun tidak harus dari jati," katanya. Bangunan hijau, lanjut dia, intinya energi, jadi energi yang diperlukan untuk buat bangunan, energi untuk mendirikan bangunan, bukan energi operasional. "Di Surabaya sistem itu sudah mulai. Banyak kalangan tertentu yang sudah mengunakan lampu LED (atau hemat energi)," katanya. Selain itu, Surabaya sudah memulai dengan banyaknya taman, airnya bersih jika dibandingkan dengan kota lain. "Hidupnya lebih tenang tidak stres, hidupnya lebih toleran karena tidak ada tawuran, lebih kreatif dan dia bisa menghargai orang lain," katanya. Untuk menjadi kota hijau, kata dia, tidak hanya bangunannya yang ditata tapi juga harus menjadi infrastruktur hijau. Dengan demikian, mewujudkan diri sebagai kota hijau dan "eco city", tak bisa seperti membalikkan telapak tangan tapi harus ada konsep berkelanjutan. Untuk 2015, Kota Surabaya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang kota ini harus berkonsep kota hijau sehingga tidak saja hanya mengatur atau menata bangunan menuju bangunan hijau, tapi harus didukung efisiensi penggunaan lahan untuk akses jalan. Jika di Surabaya tetap mempertahankan jalan kampung atau setapak sehingga membuat keberadaan kampung-kampung di Surabaya tetap ada, maka ini berbeda dengan di Jakarta yang mengutamakan jalan di kampung dengan ukuran mobil, sehingga lambat laun kampung itu pun kalah dengan lahan jalan. (*)
Membumikan "Perilaku Hijau" di Surabaya (1)
Minggu, 9 November 2014 15:06 WIB