Surabaya (Antara Jatim) - Peneliti Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang cacat secara fisik, M Yusuf Alamudi (33), menemukan cara memproteksi vaksin pada suatu virus agar lebih aman dan virus itu tidak menular lagi. "Saya meneliti dua vaksin flu burung yakni vaksin H5N1 pada unggas yang impor dan vaksin H5N1 yang diproduksi Unair, ternyata vaksin H5N1 yang diproduksi Unair lebih aman," kata peneliti yang menjadi doktor termuda di Unair itu ketika dikonfirmasi Antara di Surabaya, Rabu. Peraih predikat cumlaude dengan IPK 3,97 dalam sidang terbuka ujian doktor Pascasarjana Unair pada 10 September 2013 itu menjelaskan vaksin yang ada selama ini tidak aman, karena pengujiannya hanya bersifat satu dimensi yakni mengandalkan liter antibodi dan netralisasi. "Saya adalah contoh dari penggunaan vaksin dengan pengujian satu dimensi itu, sehingga saya sudah diberi vaksin polio, tapi saya tetap tertular virus polio itu, sehingga kaki kiri saya cacat sejak usia dua tahun dan akhirnya diberi penyangga dari besi sampai sekarang," katanya. Hal itu, kata alumni Jurusan Biologi F-MIPA Unair Surabaya itu, mendorong dirinya untuk meneliti cara pengukuran yang mampu memproteksi suatu vaksin, sehingga dirinya menemukan bahwa pengukuran liter antibodi dan netralisasi yang bagus itu tidak cukup. "Perlu cara pengukuran yang bersifat dua dimensi yakni imunitas tubuh terhadap virus cukup bagus tapi ekspresi atau daya tangkap protein vaksin dari virus itu juga bagus, sehingga vaksin itu mampu menekan virus agar tidak keluar dan justru menular lagi," katanya. Alumni S2 dan S3 pada Fakultas Kedokteran Unair yang kini menjadi peneliti flu burung di Laboratorium BSL-3 Unair itu berencana mematenkan temuannya untuk diaplikasikan pada vaksin untuk berbagai macam virus. "Buktinya, vaksin H5N1 yang diproduksi Unair lebih aman dengan menerapkan standar pengujian vaksin yang bersifat dua dimensi. Saya melakukan penelitian standar pengujian itu selama satu tahun (2012-2013) dan akhirnya dapat menjadi standar yang baik dan aman," katanya. Alumni SMAN VIII Surabaya yang kelahiran Surabaya pada 21 Januari 1980 itu menambahkan standar pengujian vaksin yang ditemukan dan Laboratorium BSL-3 di Unair yang merupakan laboratorium BSL-3 terbesar di Asia Tenggara membuktikan peneliti Indonesia itu punya potensi. "Semuanya tergantung kepada kita untuk menumbuhkan atmosfer penelitian yang unggul, maka potensi itu tidak akan kalah dari bangsa-bangsa lain," kata peneliti yang berdarah Arab dari ayah dan ibu dari kawasan Ampel, Surabaya itu. Menanggapi temuan anak didiknya, pakar flu burung Unair yang juga anggota tim penguji Yusuf Alamudi, Dr CA Nidom, menegaskan bahwa hasil penelitian Yusuf Alamudi itu penting agar tidak ada lagi korban vaksin seperti dialami Yusuf sendiri. "Apalagi, 60 persen vaksin di Indonesia adalah impor dan hal itu berarti tidak dijamin aman, karena itu hasil temuan Yusuf Alamudi harus dikembangkan agar vaksin-vaksin yang ada di Indonesia, termasuk vaksin impor, sudah melalui pengujian dua dimensi yang aman," katanya. Senada dengan itu, ketua tim penguji Prof Dr dr Teddy Ontoseno Sp.A(K) Sp.JP FIHA yang memimpin sidang ujian terbuka untuk doktor Yusuf Alamudi itu mengaku sangat bangga dan terharu dengan hasil yang dicapai anak didiknya. "Apalagi, patut dicatat bahwa anak didik saya itu mendapat gelar doktor termuda dan risetnya sangat bermanfaat bagi umat manusia dengan meneliti bagaimana mempertahankan kompatibilitas virus flu burung, sebab flu burung itu merupakan virus yang mematikan, apalagi banyak korbannya di Indonesia," kata dokter spesialis anak itu. (*)
Doktor Unair Cacat Temukan Cara Proteksi Vaksin
Rabu, 11 September 2013 19:22 WIB