Tulungagung (Antara Jatim) - Aparat Kepolisian Resor Tulungagung akhirnya menyerahkan 106 pengungsi asal Timur Tengah, Asia Selatan, Afrika, serta sebagian Myanmar ke Kantor Imigrasi Kelas II Blitar, Jawa Timur, Sabtu sore. Para imigran yang hendak menyelundup ke Australia secara ilegal melalui jalur laut menggunakan kapal nelayan tersebut dievakuasi menggunakan lima truk dari Mapolres Tulungagung sekitar pukul 15.00 WIB menuju Kota Blitar. Di kota tempat bersemayamnya Presiden RI pertama Soekarno tersebut, 106 imigran tersebut dikarantina di Hotel Patria Garden selaku tempat penampungan sementara yang ditunjuk Kantor Imigrasi kelas II Kabupaten Blitar. Tidak ada satupun imigran yang melakukan resistensi. Setelah hampir tujuh jam menunggu kepastian nasib pascapenggerebekan di Pantai Brumbun, Kecamatan Tanggunggunung, Sabtu dinihari, mereka satu persatu naik truk dengan pengawasan ketat aparat kepolisian. "Penanganan selanjutnya kami serahkan ke Kantor Imigrasi selaku lembaga yang berwenang mengurusi masalah imigran gelap dan pengungsi (dari luar negeri)," terang Kapolres Tulungagung, AKBP Whisnu Hermawan Februanto. Belum ada keterangan resmi dari pihak Kantor Imigrasi Kelas II Blitar menyangkut penangkapan 106 pengungsi yang berasal dari berbagai negara di Timur-Tengah, Asia Selatan, Afrika dan sebagian Myanmar tersebut. Namun sumber di kepolisian maupun internal staf kantor keimigrasian menyebut bahwa penanganan para pengungsi dari negara-negara konflik tersebut diserahkan sepenuhnya ke UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) serta IOM (International organization for Migration). Sejumlah pengungsi mengaku senang dievakuasi ke hotel dan mendapat akses ke UNHCR maupun IOM. Tetapi di sisi lain mereka juga mengaku was-was karena khawatir akan dikirim ke sejumlah rumah detensi imigrasi (rudenim) yang disebutnya dengan istilah "penjara". Sejumlah pengungsi asal Iran, Srilanka dan Myanmar bahkan menyebut rumah detensi untuk kaum imigran seperti mereka sudah seperti neraka, lantaran dianggap merampas hak dan kebebasan hidup mereka. "Banyak di antara kami yang sudah di penjara di tempat-tempat semacam itu di (Rudenim) Tanjungpinang, Medan, Surabaya, Pasuruan atupun lainnya tidak lagi memiliki kebebasan selain makan dan tidur setiap harinya. Kami benar-benar trauma dan akan mati di sana," kata Thaviantharan Thusyandhan (22), salah seorang pengungsi asal Srilanka. Hal serupa diungkapkan Husain Ahmad dari Myanmar, serta Basyra Ali dari Iran. Mereka menyebut tidak memiliki pilihan lain selain mencari suaka ke Australia karena selama ini para pengungsi dari Iran, Irak, Yaman, Srilanka, Somalia, Myanmar, serta sejumlah negara lain itu tidak akan pernah bisa kembali ke negara asalnya lantaran telah dicoret dari kewarganegaraan mereka. "Selama ini UNHCR maupun IOM juga tidak memberikan solusi atas nasib kami. Sudah empat tahun lebih bahkan di penampungan tetapi tidak jelas masa depan kami," tutur Basyra dengan nada tinggi. Basyra yang menjadi salah satu juru bicara para pengungsi tersebut mengaku kesal ditangkap polisi saat hendak menyeberang ke Australia menggunakan kapal dari Pantai Brumbun, Tulungagung. Para pengungsi yang mayoritas berasal dari Somalia, Srilanka, Irak, Iran, Yaman, dan sebagian Myanmar tersebut digerebek polisi pada Sabtu dinihari, sekitar pukul 03.00 WIB, sesaat setelah baru tiba di sekitar Pantai Brumbun, Kecamatan Tanggunggunung, Kabupaten Tulungagung. (*)
Polisi Serahkan 106 pengungsi ke Imigrasi Blitar
Sabtu, 7 September 2013 17:55 WIB
