Jakarta (ANTARA) - Respons pemerintah terhadap banjir bandang di Sumatera memperlihatkan kapasitas nasional yang besar dalam pengerahan sumber daya, personel, dan logistik.
Berbagai elemen negara bergerak cepat di tengah tantangan geografi ekstrem, kerusakan infrastruktur, dan perubahan kebutuhan lapangan yang dinamis dari waktu ke waktu. Situasi ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki fondasi operasional yang kuat untuk merespons bencana berskala besar.
Dalam konteks tersebut, pendekatan operasi gabungan dan terpadu menawarkan peluang strategis untuk memaksimalkan kekuatan yang sudah ada.
Ketika Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pemerintah daerah, TNI, Polri, kementerian teknis, organisasi kemanusiaan, dan relawan bekerja dalam satu kerangka komando dan informasi bersama, respons darurat dapat bergerak lebih presisi, merata, dan adaptif terhadap kebutuhan di lapangan.
Pengalaman menunjukkan bahwa kolaborasi lintas-instansi sebenarnya telah berjalan, baik melalui posko gabungan, dukungan udara dan laut, maupun mobilisasi logistik darat. Operasi gabungan memungkinkan setiap domain udara, darat, dan laut saling melengkapi.
Helikopter menjangkau wilayah terisolasi, jalur laut membuka akses ke desa pesisir, sementara distribusi darat memastikan bantuan mencapai titik akhir. Dengan integrasi yang lebih terpadu, seluruh aset tersebut dapat diarahkan pada prioritas yang sama dan saling menguatkan.
Pendekatan terpadu juga memperkuat pengelolaan informasi. Satu pusat kendali operasional dengan data situasi bersama memungkinkan seluruh aktor menggunakan referensi yang sama dalam pengambilan keputusan.
Model komunikasi publik terpadu, seperti yang pernah diterapkan pada respons nasional COVID-19 dan gempa NTB pada 2018 membantu menyamakan persepsi antara pusat, daerah, dan lapangan. Informasi yang konsisten mengurangi kebingungan, mempercepat respons, dan memudahkan penyesuaian strategi ketika kondisi berubah.
Operasi gabungan memberikan keuntungan nyata pada efisiensi logistik. Perencanaan terpadu memungkinkan penjadwalan aset udara, laut, dan darat secara saling terkoordinasi, sehingga distribusi bantuan lebih tepat sasaran dan mengurangi potensi tumpang tindih.
Dengan mekanisme penugasan bersama, logistik dapat dialirkan dari pusat ke hub, lalu ke wilayah terpencil secara berjenjang dan fleksibel, sesuai kondisi medan.
Keuntungan lainnya adalah peningkatan ketepatan prioritas kemanusiaan. Ketika semua unsur bergerak dalam satu rantai komando, kebutuhan paling mendesak, layanan kesehatan, air bersih, pangan, serta perlindungan kelompok rentan dapat diidentifikasi dan ditangani lebih cepat.
Operasi terpadu memudahkan penempatan tenaga medis, dukungan kesehatan jiwa dan psikososial, serta perlindungan perempuan, anak, lansia, dan penyandang disabilitas dalam satu desain respons yang menyeluruh.
Pendekatan gabungan juga memperkuat kapasitas pemerintah daerah. Dengan dukungan struktur nasional yang terintegrasi, BPBD dan pemerintah kabupaten/kota tidak harus menavigasi berbagai jalur koordinasi secara terpisah.
Sebaliknya, mereka menjadi bagian dari satu sistem yang memberikan dukungan operasional, teknis, dan logistik secara simultan. Hal ini membantu daerah tetap memegang peran sentral, tanpa terbebani oleh kompleksitas koordinasi lintas-instansi.
Dari perspektif tata kelola, operasi terpadu meningkatkan akuntabilitas dan transparansi. Kejelasan rantai komando dan pembagian peran memudahkan evaluasi kinerja, pembelajaran pasca-bencana, serta perbaikan berkelanjutan. Publik pun melihat negara hadir secara utuh, terorganisir, dan konsisten dalam melindungi warganya.
Keuntungan strategis yang tidak kalah penting adalah terjaganya kepercayaan publik. Respons darurat yang cepat, terkoordinasi, dan merata, memperkuat legitimasi negara dalam situasi krisis.
Ketika warga di wilayah paling sulit dijangkau merasakan bantuan yang tepat waktu, rasa aman dan kepercayaan terhadap institusi publik meningkat. Kepercayaan ini merupakan modal sosial penting untuk pemulihan jangka panjang dan ketahanan nasional.
Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa model operasi gabungan terpadu bukanlah konsep baru. Keberhasilan respons gempa NTB pada 2018 membuktikan bahwa dengan komando gabungan terpadu, integrasi lintas-domain, dan arsitektur informasi bersama, sumber daya nasional dapat diubah menjadi kinerja lapangan yang presisi dan inklusif. Hal ini menjadi referensi berharga untuk memperkuat respons bencana di masa depan.
Indonesia dapat mengatasi kekosongan kelembagaan dalam penanganan bencana besar melalui institutional workaround yang rasional dan sah secara hukum, yakni menjalankan operasi de facto berskala nasional melalui operasi gabungan terpadu, tanpa deklarasi status bencana nasional, dengan memanfaatkan mandat operasi militer selain perang (OMSP), sebagaimana diatur Pasal 7 ayat (2) UU TNI.
Pendekatan ini memungkinkan mobilisasi lintas-matra darat, laut, dan udara, ketika kebutuhan komando terpadu melampaui kapasitas koordinatif pemerintah daerah, tanpa menabrak prinsip desentralisasi yang secara politik dan administratif sensitif. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa kunci keberhasilannya bukan pada kekuatan militer semata, melainkan pada desain komando yang inklusif dan humanis.
Operasi gabungan terpadu BNPB, TNI, pemda, lembaga bantuan kemanusiaan, serta tidak melupakan masyarakat dan relawan yang terbuka, dialogis, dan kolaboratif dengan pemda serta aktor kemanusiaan, terbukti mampu menyatukan operasi secara efektif, tanpa menggerus otonomi daerah.
Dalam konteks kebuntuan hukum UU 24/2007 yang tidak menyediakan ambang batas operasional penetapan status bencana nasional, opsi ini menjadi pilihan paling aman secara hukum, paling stabil secara politik, dan paling berorientasi pada keselamatan manusia, selama pemegang komando operasi gabungan terpadu memahami dinamika penanggulangan bencana sipil dan memastikan bahwa komando terpadu berfungsi sebagai mekanisme kolaborasi, bukan dominasi.
Dengan mengembangkan mekanisme operasi gabungan dan terpadu secara konsisten, menggunakan SOP yang sama, pusat operasi bersama, dan standar komunikasi lintas-instansi, Indonesia dapat memastikan bahwa setiap respons darurat bergerak dengan orientasi utama pada keselamatan manusia.
Pendekatan ini tidak hanya menyelamatkan lebih banyak nyawa, tetapi juga menegaskan kapasitas negara untuk hadir secara solid, adaptif, dan terpercaya di tengah krisis.
Melihat kondisi penanganan saat ini serta luasnya wilayah terdampak, sudah saatnya pengalaman dalam operasi penanggulangan bencana terpadu yang pernah diterapkan sebelumnya kembali diaktifkan.
Pembentukan komando tugas gabungan terpadu (kogasgabpad), yang dipimpin oleh seorang panglima yang memahami karakter operasi gabungan sipil–militer, akan memungkinkan pemberdayaan seluruh sumber daya dan kekuatan yang ada berjalan secara efektif dan efisien.
*) Mayjen TNI Dr Farid Makruf MA adalah Tenaga Ahli Pengkaji Sumber Kekayaan Alam (SKA) Lemhanas RI dan mantan Komandan Satgas PB NTB 2018
