Diplomasi menyentuh emosi
Dalam momentum itu, Prabowo membaca peluang kerja sama saling menguntungkan bagi kedua negara. Penandatanganan sejumlah nota kesepahaman (MoU) di bidang pertahanan, perdagangan, teknologi informasi, dan mitigasi perubahan iklim adalah bukti konkret bahwa reframing itu bukan retorika kosong.
Hal yang paling menarik adalah gaya Prabowo yang lugas, namun penuh makna filosofis. Ketika berbicara di depan Presiden Asif Ali Zardari dan Perdana Menteri Shahbaz Sharif, ia tidak menggunakan bahasa birokrasi yang kaku. Ia berbicara tentang persaudaraan, perjuangan bersama melawan kolonialisme, dan "takdir bersama sebagai bangsa besar". Itu adalah bahasa yang langsung menyentuh memori kolektif Pakistan, sebagai negara yang lahir dari perjuangan melawan penjajahan Inggris, sama seperti Indonesia. Tidak ada gaya bahwa sedang bernegosiasi, tetapi sedang membangun ikatan emosional yang jauh lebih kuat daripada sekadar kontrak bisnis.
Di sinilah letak perbedaan mendasarnya. Banyak pemimpin dunia berbicara dengan data, grafik, dan proyeksi ekonomi yang ujungnya adalah untung - rugi. Prabowo, dalam hal ini berbicara dengan instrumen sejarah, martabat, dan visi bersama bahwa Pakistan, selama ini sering dipermalukan di forum internasional, justru membutuhkan pengakuan atas dignitasnya, martabat dan kehormatan negara itu sebagai bangsa yang besar. Dan Indonesia, di bawah Prabowo, memberikan pengakuan itu tanpa pamrih.
Paham momentum
Kunjungan ini juga membuktikan tesis komunikasi internasional bahwa di era multipolar, soft power tidak lagi cukup. Hal yang dibutuhkan adalah smart power, kombinasi daya tarik budaya, kekuatan ekonomi, dan ketegasan militer yang dikemas dalam komunikasi yang autentik.
Presiden Prabowo menunjukkan ketiga-tiganya sekaligus: sebagai sesama tentara saat ia menyapa Panglima Angkatan Darat Pakistan Jenderal Asim Munir dengan bahasa militer yang dipahami; sebagai sesama Muslim dengan menyebut persaudaraan Islam; dan sebagai pemimpin bangsa besar yang sedang bangkit.
Selama ini, tak jarang pengamat masih terpaku pada gaya komunikasi Prabowo di dalam negeri yang disebut keras dan tegas. Mereka lupa bahwa seorang komunikator ulung adalah dia yang mampu membaca momentum, mahir mengubah register sesuai konteks.
Di Islamabad, Prabowo berbicara dengan tenang, penuh hormat, dan mendengarkan lebih banyak daripada berbicara, tepat seperti yang diajarkan teori komunikasi dua arah simetris Grunis. Itu adalah tanda kematangan kepemimpinan yang jarang dimiliki pemimpin baru.
Kunjungan ke Pakistan ini tentu saja bukan akhir, melainkan awal dari proyek komunikasi internasional Prabowo yang jauh lebih besar untuk menempatkan Indonesia sebagai jembatan peradaban, bukan sekadar penonton di pinggir arena dunia.
Sebagai presiden, ia telah menunjukkan kemampuannya dalam membangun narasi. Tahu kapan harus diam, kapan harus berbicara, dan yang terpenting: tahu apa yang ingin didengar dunia dari Indonesia.
Itulah seni komunikasi internasional sejati. Dan Prabowo, dalam dua hari di Islamabad, telah membuktikan bahwa ia menguasainya dengan sangat baik.
*) Dr Eko Wahyuanto adalah dosen Politeknik Negeri Media, Jakarta dan Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
Seni kepemimpinan Prabowo: diplomasi yang menggugah dunia
Jumat, 12 Desember 2025 10:54 WIB
Presiden Prabowo Subianto (kiri) dan Perdana Menteri (PM) Pakistan Shehbaz Sharif (kanan) berbincang-bincang saat keduanya bertemu kediaman resmi perdana menteri Pakistan (PM House) di Islamabad, Pakistan, Selasa (9/12/2025). ANTARA/HO-Tim Media Presiden Prabowo Subianto.
