Catatan Akhir Tahun - Kesulitan Air di Bojonegoro Belum Terselesaikan Oleh Slamet A Asudarmojo
Kamis, 13 Desember 2012 9:44 WIB
Bojonegoro - Kekurangan air masih menjadi permasalahan yang harus dihadapi warga Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, terutama pada kemarau, baik menyangkut kebutuhan air bersih maupun air irigasi pertanian.
Walapun di kabupaten yang luasnya 2.307,06 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 1.260.953 jiwa, dilewati Bengawan Solo, yang memiliki potensi air melimpah di musim hujan.
"Pemanfaatan potensi air di daerah kami masih minim dibandingkan dengan potensi air yang terbuang percuma ke laut," kata Pj Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bojonegoro, Baktiono.
Padahal, sebagaimana diungkapkan Baktiono, potensi air di wilayahnya baik air permukaan mulai Bengawan Solo, juga anak sungainya, termasuk sumber mata air yang belum bisa dimanfaatkan, diperkirakan mencapai 1,5 miliar meter kubik/tahun.
Potensi air yang ada itu, pemanfaatannya yang potensial yaitu Waduk Pacal di Desa Kedungsumber, Kecamatan Temayang dengan daya tampung 23 juta meter kubik.
Selain itu, juga Waduk Nglambangan, di Desa Nglambangan, Kecamatan Tambakrejo, dengan daya tampung 2,5 juta meter kubik. Tampungan air lainnya yaitu 31 embung yang berada di tanah "solo vallei werken" (SVW), dengan kapasitas 13,5 juta meter kubik.
Sedangkan, 40 embung yang menempati tanah desa yang tersebar di berbagai wilayah kecamatan hanya mampu menampung air 4,1 juta.
Dampak minimnya potensi air yang bisa tertampung itu, sebagaimana disampaikan Kepala Dinas Pertanian Bojonegoro Subekti, di jaringan irigasi Waduk Pacal, tanaman padi yang mengalami kekeringan mencapai 6.773 hektare pada kemarau 2013.
Hanya saja, lanjutnya, areal tanaman padi itu, tidak bisa mendapatkan pasokan air Waduk Pacal, karena lokasinya terlalu jauh dari jaringan irigasi.
"Air Waduk Pacal, tidak mampu menjangkau areal tanaman padi tersebut, karena di sepanjang daerah irigasinya, disedot dengan pompa air yang juga untuk mengairi tanaman padi," ucapnya.
Tidak hanya itu, sesuai data di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat, warga yang mengalam kesulitan air bersih pada kemarau 2012 mencapai 21.541 kepala keluarga (KK) atau 84.699 jiwa yang tersebar di 64 desa di 17 kecamatan.
Kekekeringan tahun ini, menurut Kepala BPBD Kasiyanto, jauh lebih parah dibandingkan kekeringan tahun lalu yang hanya melanda 49 desa di 17 kecamatan.
Sementara ini, lanjutnya wilayah yang mengalami kekeringan terparah, di antaranya di Kecamatan Temayang, Kedungadem, Sugihwaras, Ngasem, juga kecamatan lainnya.
1.000 Embung
Bupati Bojonegoro Suyoto menyatakan bahwa mengatasi kekeringan yang ada, pemkab memprogram akan membangun 1.000 embung.
Selain itu, lanjutnya, pemkab juga mendukung rencana pembangunan Waduk Karangnongko di perairan Bengawan Solo yang menjadi program Balai Besar Bengawan Solo di Solo, Jawa Tengah dan Bendungan Gonseng di Kecamatan Temayang.
Mengenai realisasi pembangunan Bendungan Gongseng di Kecamatan Temayang, menurut Kepala Badan Lingkungan Hidup (LH) Pemkab Suharto, masih dalam tahap pembahasan analisa mengenai dampak lingkungan (amdal)."Kami memprogramkan membangun 179 embung, pada 2013," tutur Kepala Dinas Pengairan Bojonegoro Zaenal, menambahkan.
Mengenai teknis pelaksanaan pembangunan embung itu, sebagaimana dituturkan Zaenal, pembangunan 179 embung, di antaranya 75 embung dibangun secara swakelola dan lainnya dibangun dengan melibatkan rekanan. Embung yang dibangun itu masing-masing luasnya berkisar 0,50 hektare-1 hektare, dengan daya tampung berkisar 12 ribu-40 ribu meter kubik/embung.
"Biaya pembuatannya rata-rata Rp200 juta/embung," jelasnya.
Mengenai teknis pelaksanaan pembuatan embung secara swakelola, menurut dia, dikerjakan dengan memanfaatkan dua unit alat berat "backhoe" yang dimiliki.Selain itu, pihaknya juga akan menambah lima unit alat berat "backhoe" dan satu truk tronton dengan anggaran Rp13,5 miliar di APBD 2013.
Truk tronton berfungsi untuk mengangkut alat berat 'backhoe' ke lokasi pembuatan embung. Ia menjelaskan sebanyak 179 embung yang akan dibangun itu, lokasinya tersebar merata di seluruh wilayah setempat, kecuali Kecamatan Kota. Lokasi embung memanfaatkan tanah kas desa dan tanah negara "solo vallei werken" (SVW) yang sudah dibebaskan pada jaman Belanda.
"Kami masih belum menghitung luas lahan pertanian yang mampu memperoleh air dari keberadaan embung yang dibangun," ucapnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, embung yang dibangun itu ada yang mampu mengalirkan air secara gravitasi, ada juga yang harus memanfaatkan pompa dalam mengairi lahan pertanian di sekitar embung.
"Bagi kami yang penting embung ada dulu, sebab air di embung bisa dimanfaatkan warga untuk berbagai kebutuhan, seperti memberi air minum dan memandikan ternak juga yang lainnya di daerah yang selalu mengalami kekeringan," paparnya.
Oleh karena itu, Zaenal masih belum bisa memastikan kapan kesulitan air bersih juga irigasi pertanian di wilayahnya bisa teratasi, meskipun potensi air yang ada lebih dari cukup untuk mengatasi kekeringan yang selalu terjadi di setiap musim kemarau.
Meski demikian, warga di sepanjang Bengawan Solo di sejumlah desa di Kecamatan Kalitidu, Malo dan Kasiman, mulai bisa bernapas lega dengan rampungnya pembangunan Bendung Gerak Karangnongko Bengawan Solo. Sesuai data yang ada, Bendung Gerak yang menjadi program Balai Besar Bengawan Solo memiliki panjang 1.841,752 meter itu, mampu menampung air 13 juta meter kubik.
Manfaat bendung gerak tersebut, antara lain mampu mencukupi kebutuhan air irigasi pertanian dengan debit 5.850 liter/detik di Kabupaten Blora, Jateng, seluas 665 hektare dan 4.949 hektare di Bojonegoro.
"Pemkab harus secepatnya mengantisipasi kebutuhan air irigasi pertanian juga air bersih yang selalu terjadi di setiap musim kemarau," kata Wakil Ketua Komisi D DPRD Samsul Huda, menegaskan.
Ia mencontohkan, Waduk Pacal di Desa Kedungsumber, Kecamatan Temayang, satu-satunya waduk yang besar, sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan air irigasi pertanian di musim kemarau yang mengakibatkan areal tanaman padi di jaringan irigasinya mengalami kekeringan.(*)