Surabaya, Jawa Timur (ANTARA) - Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Stella Christie mengingatkan nota kesepahaman (MoU) tidak dapat diperhitungkan sebagai bentuk kolaborasi apabila tidak ditindaklanjuti dengan kerja sama yang nyata.
Ia menilai jumlah MoU seharusnya tidak dihitung sebagai KPI kerja sama internasional tanpa aksi kerja sama yang berjalan karena MoU dibutuhkan untuk memudahkan kegiatan kerja sama yang sudah berjalan.
“Memorandum of Understanding atau MoU bukan kolaborasi kalau tidak dilakukan. Saya juga sudah berkali-kali minta Bapak Dirjen, kami tidak hitung lagi itu MoU-MoU. MoU bukan, sekali lagi, MoU bukanlah KPI dari kerja sama internasional. MoU itu bisa dilakukan nanti kalau sudah ada kerja sama nyatanya dulu,” tegas Wamendiktisaintek Stella dalam Konferensi Puncak Pendidikan Tinggi Indonesia (KPPTI) hari ketiga di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) di Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur, pada Jumat.
Lebih lanjut, Stella juga mengingatkan keberlangsungan dan keberlanjutan kerja sama dalam bidang riset pada dasarnya bergantung pada ketersediaan sumber daya, fasilitas dan insentif yang mendukung periset.
Oleh karena itu, pihaknya berjanji untuk terus mengupayakan sederet hal tersebut guna menambah jumlah kerja sama riset berskala internasional yang berdampak bagi pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
“Ini pe er untuk kami Kemendiktisaintek bahwa kami juga harus memberikan fasilitas, sumber daya, dan insentif bagi Bapak-Ibu periset sekalian untuk bisa melakukan kerja sama internasional,” imbuhnya.
Salah satu upaya tersebut ialah pihaknya kini tengah mengupayakan untuk mempermudah proses administrasi bagi diaspora bergelar doktor yang ingin menjadi akademisi, baik sebagai dosen maupun guru besar (adjunct professor) di Indonesia.
Stella mengatakan kemudahan tersebut dimaksudkan untuk mengakrabkan akademisi dalam negeri dengan pengalaman dan topik riset yang bertaraf internasional melalui kolaborasi dengan para diaspora doktor tersebut.
Kemudahan proses administrasi tersebut, lanjutnya, juga termasuk penyetaraan gelar doktor filsafat (PhD) para diaspora yang didapatkan dari universitas luar negeri, sehingga gelar tersebut dapat cepat diakui secara resmi di berbagai perguruan tinggi dalam negeri, mengingat mekanisme penyetaraan gelar itu memang dilakukan oleh pihaknya.
Selain itu, kemudahan proses administrasi tersebut juga memungkinkan para diaspora doktor untuk memanfaatkan dana riset dari pihaknya untuk melakukan penelitian bersama dengan para mahasiswa jenjang doktoral dalam negeri di laboratorium mereka yang berada di luar negeri.
