Pemerintah diminta untuk meninjau kembali opsi kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2023 karena dinilai memberatkan petani. 

"Petani yang akan merasakan dampak langsung dari rencana kenaikan cukai tembakau. Untuk diketahui, pemerintah lah yang merasakan 70 persen dari manfaat kenaikan CHT. Pengembalian manfaat ke petani melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) tidak sebanding dengan dampak dari kenaikan CHT itu sendiri," kata Ketua DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Soeseno di Surabaya, Rabu. 

Ditambah lagi, saat ini, di sentra-sentra tembakau, seperti kawasan Jawa Timur, panen banyak yang tidak maksimal. Utamanya karena perubahan kondisi cuaca, ditambah lagi subsidi pupuk ZA yang telah dicabut. 

Belum lagi petani akan berhadapan dengan kuota serapan oleh gudang atau pabrikan, pemerintah justru ingin membunuh petani dengan sinyal kenaikan cukai. 

"Kondisi ini justru akan meningkatkan spekulasi ketidakpastian harga dan jumlah serapan tembakau petani. Pemerintah tidak hadir untuk melindungi petani," ujar Soeseno. 

Baca juga: APTI: Petani Harus Dilibatkan dalam Penyusunan Kebijakan

Lanjutnya, ada 2.5 juta petani tembakau dan 1.5 juta petani cengkeh yang sedang berada dalam ketidakpastian akibat sinyalemen opsi kenaikan CHT 2023. 

Menurutnya, rencana pengumuman kenaikan CHT selalu berdekatan dengan momentum panen tembakau. Sehingga pada akhirnya akan membuat spekulasi harga di market tembakau. 

"Target kenaikan CHT 2023 jelas akan memukul industri. Pada akhirnya, petani akan terkena efek domino. Opsi kenaikan cukai ini tidak adil. Saat petani bersiap menjual tembakaunya, spekulan akan memainkan harga begitu ada rencana kenaikan cukai. Sehingga petani dipaksa untuk menjual tembakau dengan harga murah," kata Soeseno. 

Ketua Pakta Konsumen, Andi Kartala, mendorong pemerintah melibatkan elemen-elemen di dalam ekosistem pertembakauan, termasuk konsumen dalam setiap perancangan regulasi hingga pengambilan kebijakan. 

"Selama ini pelibatan konsumen dalam perumusan kebijakan sebagai pembayar pajak cukai, minim bahkan hampir tidak ada. Termasuk tidak adanya hak partisipatif konsumen dalam penghitungan besaran nilai cukai," kata Andi Kartala. 

Bahkan, Andi Kartala pun menuturkan, banyak konsumen yang mispersepsi terhadap kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau. Tak sedikit konsumen yang salah paham, bahwa kenaikan cukai adalah upaya pabrikan. 

Baca juga: AMTI: Kebijakan Kemasan Rokok Polos Rugikan Indonesia

Dari sudut pandang akademisi, Dosen Universitas Airlangga Surabaya, Suko Widodo, menuturkan hak partisipatif konsumen selama ini masih minim dalam pembentukan hingga implementasi regulasi ekosistem pertembakauan. 

Sebagai negara demokrasi, Suko menegaskan sangat penting untuk merangkul dan mengajak elemen ekosistem pertembakauan dari hulu hingga hilir dalam proses pembentukan kebijakan. 

Karena pada akhirnya, petani, pekerja, pabrikan dan konsumen lah yang menjadi sasaran dan korban akhir dari opsi rencana kenaikan CHT. 

"Pada dasarnya, sebuah regulasi dibentuk harus dapat mewujudkan rasa keadilan, ketertiban, kedamaian dan kesejahteraan. Dengan minimnya pelibatan konsumen, maka tidak ada unsur keterbukaan dan keadilan dalam regulasi ekosistem pertembakauan. Makanya, dampak regulasi pertembakauan ini semrawut dan memakan banyak korban," ujar Suko. (*)

 

Pewarta: Willy Irawan

Editor : A Malik Ibrahim


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022