Pamekasan (Antaranews Jatim) - Ketua Asosiasi Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno meminta pemerintah melibatkan perwakilan petani tembakau dalam proses penyusunan kebijakan yang memiliki dampak langsung terhadap petani.

"Sebab, sampai saat ini, komoditas tembakau masih menjadi komoditas pilihan di saat musim kemarau, karena masih mempunyai nilai ekonomi tinggi dibanding dengan komoditas pertanian lainnya," ujar Soeseno dalam acara media briefing yang digelar Aliansi Masyarakat Tembakau Indonedia (AMTI) di Balai Rejo, Pamekasan, Madura, Jawa Timur, Sabtu.

Komoditas tembakau sebagai tanaman turun-temurun merupakan bukti bahwa pertanian tembakau bisa berkelanjutan, karena budidaya tembakau adalah realitas kultural.

Soeseno menyatakan, Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia memiliki peran cukup besar terhadap penerimaan negara melalui pajak dan cukai. Selain itu, kehadiran IHT juga memberi dampak positif lain, seperti penyerapan tenaga kerja, penerimaan dan perlindungan terhadap petani tembakau dan dampak ganda yang lain.

Hanya saja, persepsi tentang keberadaan IHT kurang mendukung. Padahal, pengembangan IHT juga memperhatikan kesehatan masyarakat, selain tetap mengusahakan agar industri dapat tumbuh dengan baik.

IHT merupakan industri yang padat karya, sehingga sampai saat ini IHT dan keterkaitannya dengan hulu berupa pengadaan bahan baku, khususnya tembakau dan cengkeh dan industri lainnya merupakan industri penyerap tenaga kerja yang potensial.

Bahkan, Direktorat Bea dan Cukai merlis pada tahun 2016, penerimaan negara dari cukai rokok sekitar 9 persen dari total penerimaan negara dari pajak.

"Ini merupakan sebuah angka yang cukup signifikan bukan?. Tapi mengapa keberadaan IHT dan perkebunan tembakau seperti anak tiri. Dari sisi kontribusi pajak cukup besar, namun keberadaanya selalu dinomorduakan, bahkan seperti tidak diakui. Padahal, sesuai dengan UU Perkebunan No.39 Tahun 2014, tembakau merupakan salah satu (dari tujuh) Komoditas Perkebunan Strategis Nasional, karena dinilai memiliki peranan penting dalam pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup," katanya, menjelaskan.

Dalam kesempatan itu, Soeseno juga memaparkan hasil penelitian menarik yang pernah dilakukan Universitas Airlangga pada 2013.

Hasilnya, dengan luas lahan yang sama (per hektare), penerimaan tembakau (Rp53.282.874) lebih tinggi dibanding penerimaan dari pertanian jenis lain, seperti jagung (Rp4.607.162), cabai (Rp9.429.971), dan bawang merah yang hanya Rp7.537.791.

Penelitian ini dilakukan di wilayah Lombok Timur, Madura, Jember, Temanggung. Sedangkan data untuk cengkeh diambil dari wilayah Pacitan, Sukabumi, Minahasa, dan Buleleng.

"Dari hasil penelitian tersebut, bisa dilihat fakta menarik, bahwa komoditas tembakau dan cengkih lebih menguntungkan dibandingkan komoditas lainnya," ungkap Soeseno.

"Sektor tembakau terbukti memberikan `multiplaier effect` yang signifikan dalam pembangunan Indonesia, selain kontribusi ekonomi ke negara, sektor tembakau juga terbukti menyerap tenaga kerja lebih dari 6 juta orang lebih," katanya, menambahkan.

Soeseno menambahkan, dalam perkembangannya petani tembakau juga telah berupaya untuk menerapkan sistem budidaya pertanian yang baik dan sesuai dengan arah sasaran pembangunan berkelanjutan, mengingat pertanian tembakau lebih memiliki surplus ekonomi, sehingga menjamin kesinambungan investasi pada budidaya tanaman selanjutnya.

Dalam kesempatan itu, Ketua APTI Soeseno juga memaparkan laporan Brundtland dari PBB (1987) yang menyebutkan, pembangunan berkesinambungan adalah proses pembangunan baik lahan, kota, bisnis, masyarakat dan lain sebagainya yang berprinsip mencukupi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi masa depan.

"Oleh karena itu, sudah semestinya jika para petani tembakau meminta untuk dilibatkan dalam penentuan kebijakan sektor tembakau, ada hak petani untuk memberikan masukan dalam proses penyusunan kebijakan yang memiliki dampak langsung terhadap petani," ujarnya, menjelaskan.

Selain Ketua APTI, hadir juga adalam acara itu, Ketua DPC Asosiasi Petani Tembakau Pamekasan (APTP), dan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Bambang Edy Suprapto.

Bambang dalam kesempatan itu menjelaskan, tembakau memang menjadi tanaman utama masyarakat Pamekasan dan terbukti memang banyak menyerap tenaga kerja saat musim tanam hingga musim panen berlangsung.

"Pemerintah memang sudah berupaya untuk mendorong petani agar menanam tanaman alternatif, akan tetapi tidak bisa," ujarnya, menjelaskan.

Sementara itu, Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) dideklarasikan pada tanggal 25 Januari 2010 oleh para pemangku kepentingan industri tembakau sebagai suatu wadah perjuangan bagi petani tembakau, cengkeh, pekerja, konsumen, peritel, asosiasi, maupun pabrikan rokok dalam rangka melestarikan industri tembakau Indonesia yang berkualitas.

Tujuannya, sebagai wadah dan wahana perjuangan bagi para petani tembakau, petani cengkeh, pekerja, konsumen, peritel, asosiasi, maupun pabrikan rokok.

Selain itu, organisasi ini juga bertujuan membangun kebersamaan untuk melestarikan industri tembakau Indonesia yang berkualitas yang berprinsip dari Indonesia untuk Indonesia, menempatkan Industri Tembakau sebagai salah satu industri prioritas nasional setara dengan industri lain, ikut serta dalam merumuskan konsep-konsep regulasi/undang-undang tembakau yang, berimbang dan komprehensif yang dapat diterima oleh pembentuk Undang-undang, serta melestarikan eksistensi industri rokok, khususnya kretek yang merupakan produk budaya bangsa untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan dijadikan komoditas global.

AMTI juga ingin mempertahankan dan mengembangkan industri tembakau rakyat, dan mengupayakan pengembangan tembakau virginia, oriental dan white burley sebagai bahan baku industri rokok untuk substitusi impor, dan berjuang dengan menjunjung tinggi transparansi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (*)

Pewarta: Abd Aziz

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018