Komunitas Pure Consciousness Indonesia (PCI) membuka layanan penyembuhan pasien COVID-19 yang menjalani isolasi mandiri dengan cara transendensi level kesadaran sehingga diharapkan layanan ini bisa membantu masyarakat dan pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19.
"Alhamdulillah, selama ini kami sudah mempraktikkan transendensi untuk pasien COVID-19 ini, semuanya mengalami perkembangan membaik dan sembuh," kata pendiri Komunitas PCI Aswar ketika dihubungi ANTARA dari Surabaya, Jumat.
Ia menjelaskan program itu merupakan sumbangsih Komunitas PCI bersama sebuah yayasan yang bergerak dalam pemberdayaan masyarakat bebasis tasawuf dan Komunitas Djiwa Soeka Tjita serta dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
Aswar yang merupakan pengampu pembelajaran tentang kesadaran murni ini menjelaskan bahwa pada proses transendensi, seorang pasien diajak kembali menyadari siapa dirinya yang sejati, dalam konteks spiritual.
Menurut pria asal Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara, kesadaran manusia secara umum adalah kesadaran material yang menganggap diri hanya sebagai tubuh. Ketika seseorang berada di kesadaran material ini, maka ia telah melupakan diri sejatinya sebagai makhluk spiritual.
"Kesadaran material ini juga yang kemudian menjadi pijakan pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 ini. Saya tidak menolak pendekatan material ini, itu juga pasti berguna. Hanya saja, pendekatan material ini bukan satu-satunya, karena pendekatan lain masih tersedia, yakni pendekatan spiritual," katanya.
Aswar, yang selama ini banyak menjadi pembicara mengenai ilmu kesadaran diri di kampus-kampus, yakni sejumlah Universitas Islam Negeri (UIN) dan ITS Surabaya ini mengemukakan bahwa Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa beragama, sehingga sudah seharusnya menggunakan nilai-nilai setiap agama itu untuk menghadapi kondisi yang menimbulkan kepanikan ini.
"Dalam agama ini kan sudah ada pendekatan bagaimana jiwa manusia menghadapi sebuah krisis. Di daerah asal saya di (Kabupaten) Muna, ada pendekatan spiritual ekologis humanis untuk menangani soal-soal kehidupan. Nah, sekarang saatnya menggunakan semacam ini untuk mengatasi pandemi," katanya.
Ia menjelaskan bahwa sebelum masuk ke sesi transendensi, kepada pasien dijelaskan apa itu pendekatan spiritual, yang berangkat dari asumsi dasar manusia, yakni diri adalah pusat pengatur dan pengarah pada pengalaman hidup setiap individu.
"Dari pengalaman beberapa pekan ini menangani transendensi pasien COVID-19, rata-rata yang isoman ini merasa dirinya tidak sehat, atau memvonis diri 'saya sakit'. Frasa 'saya tidak sehat' ini, dari pendekatan material tidak ada masalah, tapi bagi kita yang belajar kesadaran, ini masalah. Ada makna di balik kesimpulan 'saya tidak sehat' itu, yakni kesalahan dalam menyimpulkan posisi diri," katanya.
Menurut Aswar, kesimpulan "saya tidak sehat" itu menunjuk diri hanya sebagai tubuh atau diri sama dengan badan. Kesimpulan "tidak sehat" itu berangkat dari asumsi dasar bahwa diri individu sebagai makhluk material.
Setelah itu, katanya, si pasien kemudian diajak untuk memosikan diri ke "atas ruang waktu", namun masih terikat dengan konsepsi material dan keadaan.
"Kemudian yang ketiga, saya ajak pasien itu untuk mengenal diri yang transenden, yakni diri yang melampaui material dan ruang waktu. Inilah diri yang sesungguhnya yang tidak pernah sakit dan tidak mengenal term sehat dan sakit. Dengan seperti ini, kesadaran pasien bergeser yang awalnya merasa diri tidak sehat, kemudian menjadi tidak apa-apa," katanya.
Ia menilai bahwa pandemi COVID-19 ini seharusnya menjadi berkah untuk meruntuhkan konsepsi bahwa manusia hanya terjerat dalam asumsi diri sebagai tubuh, sehingga mudah terpengaruh oleh keadaan di sekelilingnya, menuju ke kesadaran rasa diri yang hidup, yang spiritual dan transenden.
Sementara itu, salah seorang tim di PCI Prof Ridho Bajuadji, ST, MT, PhD, yang juga Guru Besar Departemen Teknik Infrastruktur Sipil ITS dan Koordinator Program Studi Pendidikan Profesi Insinyur (PS PPI) ITS mengatakan bahwa pihaknya juga memiliki komitmen untuk memberdayakan masyarakat secara spiritual.
"Kami ingin mengajak masyarakat untuk menggali potensi di dalam diri setiap insan yang merupakan energi tidak terhingga bersama dengan Bang Aswar dari PCI, termasuk dengan kampus ITS yang memang punya kepedulian pada upaya pemberdayaan manusia melalui penggalian energi di dalam diri setiap insan," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021
"Alhamdulillah, selama ini kami sudah mempraktikkan transendensi untuk pasien COVID-19 ini, semuanya mengalami perkembangan membaik dan sembuh," kata pendiri Komunitas PCI Aswar ketika dihubungi ANTARA dari Surabaya, Jumat.
Ia menjelaskan program itu merupakan sumbangsih Komunitas PCI bersama sebuah yayasan yang bergerak dalam pemberdayaan masyarakat bebasis tasawuf dan Komunitas Djiwa Soeka Tjita serta dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
Aswar yang merupakan pengampu pembelajaran tentang kesadaran murni ini menjelaskan bahwa pada proses transendensi, seorang pasien diajak kembali menyadari siapa dirinya yang sejati, dalam konteks spiritual.
Menurut pria asal Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara, kesadaran manusia secara umum adalah kesadaran material yang menganggap diri hanya sebagai tubuh. Ketika seseorang berada di kesadaran material ini, maka ia telah melupakan diri sejatinya sebagai makhluk spiritual.
"Kesadaran material ini juga yang kemudian menjadi pijakan pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 ini. Saya tidak menolak pendekatan material ini, itu juga pasti berguna. Hanya saja, pendekatan material ini bukan satu-satunya, karena pendekatan lain masih tersedia, yakni pendekatan spiritual," katanya.
Aswar, yang selama ini banyak menjadi pembicara mengenai ilmu kesadaran diri di kampus-kampus, yakni sejumlah Universitas Islam Negeri (UIN) dan ITS Surabaya ini mengemukakan bahwa Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa beragama, sehingga sudah seharusnya menggunakan nilai-nilai setiap agama itu untuk menghadapi kondisi yang menimbulkan kepanikan ini.
"Dalam agama ini kan sudah ada pendekatan bagaimana jiwa manusia menghadapi sebuah krisis. Di daerah asal saya di (Kabupaten) Muna, ada pendekatan spiritual ekologis humanis untuk menangani soal-soal kehidupan. Nah, sekarang saatnya menggunakan semacam ini untuk mengatasi pandemi," katanya.
Ia menjelaskan bahwa sebelum masuk ke sesi transendensi, kepada pasien dijelaskan apa itu pendekatan spiritual, yang berangkat dari asumsi dasar manusia, yakni diri adalah pusat pengatur dan pengarah pada pengalaman hidup setiap individu.
"Dari pengalaman beberapa pekan ini menangani transendensi pasien COVID-19, rata-rata yang isoman ini merasa dirinya tidak sehat, atau memvonis diri 'saya sakit'. Frasa 'saya tidak sehat' ini, dari pendekatan material tidak ada masalah, tapi bagi kita yang belajar kesadaran, ini masalah. Ada makna di balik kesimpulan 'saya tidak sehat' itu, yakni kesalahan dalam menyimpulkan posisi diri," katanya.
Menurut Aswar, kesimpulan "saya tidak sehat" itu menunjuk diri hanya sebagai tubuh atau diri sama dengan badan. Kesimpulan "tidak sehat" itu berangkat dari asumsi dasar bahwa diri individu sebagai makhluk material.
Setelah itu, katanya, si pasien kemudian diajak untuk memosikan diri ke "atas ruang waktu", namun masih terikat dengan konsepsi material dan keadaan.
"Kemudian yang ketiga, saya ajak pasien itu untuk mengenal diri yang transenden, yakni diri yang melampaui material dan ruang waktu. Inilah diri yang sesungguhnya yang tidak pernah sakit dan tidak mengenal term sehat dan sakit. Dengan seperti ini, kesadaran pasien bergeser yang awalnya merasa diri tidak sehat, kemudian menjadi tidak apa-apa," katanya.
Ia menilai bahwa pandemi COVID-19 ini seharusnya menjadi berkah untuk meruntuhkan konsepsi bahwa manusia hanya terjerat dalam asumsi diri sebagai tubuh, sehingga mudah terpengaruh oleh keadaan di sekelilingnya, menuju ke kesadaran rasa diri yang hidup, yang spiritual dan transenden.
Sementara itu, salah seorang tim di PCI Prof Ridho Bajuadji, ST, MT, PhD, yang juga Guru Besar Departemen Teknik Infrastruktur Sipil ITS dan Koordinator Program Studi Pendidikan Profesi Insinyur (PS PPI) ITS mengatakan bahwa pihaknya juga memiliki komitmen untuk memberdayakan masyarakat secara spiritual.
"Kami ingin mengajak masyarakat untuk menggali potensi di dalam diri setiap insan yang merupakan energi tidak terhingga bersama dengan Bang Aswar dari PCI, termasuk dengan kampus ITS yang memang punya kepedulian pada upaya pemberdayaan manusia melalui penggalian energi di dalam diri setiap insan," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021