Di media sosial, banyak lelaki yang terang-terangan memuja perempuan-perempuan yang bukan muhrim atau istrinya. Bahkan, terhadap janda yang terlihat bahenol, mereka lantas menjulukinya perempuan pemersatu bangsa. 

Perempuan-perempuan dan janda pun tampak berebut simpati demi mendapat julukan itu dengan rajin berselfi ria, goyang tik-tok, tidak pernah kehabisan gaya, agar bisa terus berselancar mengisi akun-akun media sosial di dunia maya, memanfaatkan teknologi era digital yang semakin canggih. 

Di dunia nyata, banyak janda masih harus terus berjuang untuk memberi makan anak-anaknya demi bertahan hidup di tengah situasi sulit pandemi virus corona (COVID-19). 

Mereka semua adalah perempuan-perempuan tangguh Indonesia di masa kini. 

Menoleh jauh ke belakang, lahir seorang perempuan bernama Raden Ajeng Kartini. Belum ada tik-tok di eranya. 

Kartini lahir di Jepara, 21 April 1879. Saat itu sedang kolot-kolotnya adat Jawa dengan sistem sosial patriarki yang menempatkan laki-laki  sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi di segala aspek kehidupan. Sebutlah dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, penguasaan properti, dan lain sebagainya. 

Maka, kalaupun sudah ada tik-tok di era itu, belum tentu kaum perempuan diperbolehkan memiliki telepon seluler dan membuat akun media sosial untuk kemudian dengan bebasnya bergaya ala "perempuan pemersatu bangsa".

Perjuangan Kartini

Meski bergelar bangsawan, sebagai putri Bupati Jepara, Kartini bahkan tidak bisa menggapai cita-citanya yang sejak kecil ingin menjadi dokter. Sekolahnya putus di usia 12 tahun karena harus dipingit untuk persiapan menikah.       

Alih-alih jadi dokter, ketika usianya menginjak 24 tahun, Kartini harus rela dikawinkan dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang saat itu menjabat Bupati Rembang sebagai istri keempat.

Beruntung sang suami mengerti keinginan Kartini untuk mengajar anak-anak perempuan pribumi dan kemudian mendukungnya dengan mendirikan sekolah wanita. 

Namun, usianya tidak panjang. Kartini meninggal di usia 25 tahun, selang empat hari setelah melahirkan anak pertamanya yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat.

Belakangan terungkap, Kartini tidak pernah menyerah menjalani kodratnya sebagai perempuan di tengah sistem patriarki adat Jawa. 

Berbekal kemampuannya berbahasa Belanda yang didapat dari Europese Lagere School (ELS) hingga usia 12 tahun, dia kerap berkorespondensi dengan menulis surat ke teman-teman yang menjadi sahabat penanya di Eropa untuk mencurahkan kegalauan tentang emansipasi wanita yang tidak didapat oleh kaum perempuan di tanah kelahirannya.

Beberapa artikel yang memuat keinganannya agar perempuan pribumi memiliki hak yang setara dengan laki-laki bahkan dimuat di majalah wanita berbahasa Belanda "De Hollandsche Leile", yang melambungkan namanya di Eropa sebagai pejuang emansipasi wanita.    

Setelah kematiannya, Jacques Abendanon, yang pernah menjabat Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerijinan Hindia Belanda di tahun 1900 - 1905, kemudian mengumpulkan surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini kepada sahabat-sahabat penanya di Eropa, dan pada tahun 1911 menerbitkannya menjadi sebuah buku di negeri Belanda, yang hingga kini dikenal dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang".

Tidak cuma itu, sekolah untuk perempuan pribumi yang semula didirikan Kartini, selanjutnya dikembangkan oleh tokoh politik etis Belanda Van Deventer ke sejumlah kota, di antaranya Yogyakarta, Cirebon, Malang, Madiun dan Surabaya. 

Harum namanya

Hingga kini nama Kartini harum bersama sebuah lagu yang diciptakan WR Soepratman di tahun 1929. Setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno pada tahun 1964 menobatkannya sebagai Pahlawan Nasional.  

Pemikiran-pemikiran Kartini tentang kesetaraan gender terbukti malampaui zaman. 

Buah perjuangannya telah dinikmati perempuan-perempuan Indonesia yang hingga kini banyak meraih puncak karir di berbagai bidang. 

Di bidang politik, kita pernah memiliki Presiden perempuan. Warga Kota Surabaya pernah memiliki Wali Kota perempuan. Bahkan Gubernur Jawa Timur saat ini dijabat oleh seorang perempuan.

Berkat Kartini pula perempuan-perempuan Indonesia kini mendapatkan kemerdekaannya untuk selalu update status menyampaikan apa saja yang ada di pikirannya melalui media sosial. 

Gaya-gaya perempuan Indonesia dengan berbagai kreativitasnya di Tik-Tok sungguh menghibur di tengah suasana sulit pandemi COVID-19.

Selamat Hari Kartini untuk seluruh perempuan Indonesia.    
 

Pewarta: Hanif Nashrullah

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021