Tulungagung (ANTARA) - PESTA telah usai. Gegap gempita tahun baru telah lewat. Dengan cara apapun masing-masing kita melalui masa pergantian tahun baru itu. Libur atau liburannya juga sudah selesai.
Sekarang waktunya "kembali" ke dunia nyata lagi. Kerja, kerja, dan kerja! Persis seperti motto yang digaungkan Presiden Jokowi bersama kabinet kerjanya sejak awal periode pemerintahan.
Tagline itu sebenarnya sederhana dan klise. Namun, ketika semangat kerja kerja dan kerja ini terus digaungkan maka menjadi doktrin tidak langsung, yang efeknya sangat bagus dan menginspirasi.
Tidak hanya di lingkungan Kabinet Kerja, tapi juga seluruh lapisan masyarakat. Baik di jajaran pemerintahan dan BUMN, maupun di lingkungan swasta. Termasuk sektor riil, mulai pelaku UKM, petani, pedagang pasar hingga pengasong.
Semua ikut termotivasi untuk melakukan pembuktian kerja dengan output nyata dan terukur. Terukur secara kuantitas maupun kualitas.
Ketika kebiasaan baik ini berjalan terus, berulang dari tahun ke tahun, periode ke periode, maka sesuatu yang awalnya kecil dan sederhana ini bisa menjadi budaya baru. Menumbuhkan etos sosial yang bisa memperbaiki citra masyarakat Indonesia di mata internasional.
Tapi itu semua tentu butuh pengawalan. Butuh pemimpin yang amanah, konsisten dan bertanggung jawab menjalankan misi dari awal hingga akhir pemerintahannya. Satu hal yang patut kita ragukan --atau lebih tepatnya kita uji komitmennya-- mengingat tahun ini, 2023, adalah tahun politik. Pemerintahan Jokowi memasuki dua tahun periode akhir.
Kepala daerah setingkat gubernur dan bupati/wali kota banyak yang akan segera purna tugas menjelang Pemilu serentak 2024. Secara nasional ada 170 kepala daerah segera lengser keprabon. Terdiri dari 17 gubernur, 38 wali kota dan 115 bupati.
Pun halnya di Jawa Timur. Selain Gubernur Jatim Khofifah-Emil, dari 38 kepala daerah ada lima wali kota dan 14 bupati yang segera mengakhiri masa jabatannya. Tahun lalu, 2022, sudah ada 101 kepala daerah yang terdiri dari tujuh gubernur, 18 wali kota dan 76 bupati lebih dulu pensiun.
Akhir masa jabatan ini tentu krusial, terutama dalam konteks keberlanjutan pembangunan. Akankah mereka tetap amanah menjalankan visi-misi pemerintahannya secara penuh dan optimal hingga masa jabatannya benar-benar berakhir?
Atau sebaliknya, jutsru terjebak pada pragmatisme politik akhir jabatan. Lame duck periode. Periode bebek lumpuh. Dalam ilmu politik, istilah ini dipakai untuk menganalogikan menurunnnya standar, kuantitas dan juga kualitas kinerja rezim yang masa kekuasaannya segera berakhir.
Di Amerika Serikat, asal-muasal istilah ini berkembang, periode bebek lumpuh terjadi manakala kepala negara (presiden) tak lagi bisa mengambil/membuat kebijakan strategis saat masa transisi pemerintahan.
Situasi dilematis ini terjadi karena seorang pejabat atau kelompok terpilih yang terus memegang jabatan politik selama periode antara pemilihan dan pelantikan seorang penerus (Merriam Webster Dictionary).
Istilah ini kemudian diadopsi secara universal oleh para pelaku dan penggiat/pengamat politik di banyak negara, termasuk Indonesia, untuk untuk mengritisi pragmatisme politik rezim kekuasaan yang mendekati masa akhir jabatan. Grafik produktivitas kinerja menurun drastis. Kebijakan yang ditelurkan tidak sebanyak di awal periode pemerintahan, apalagi dalam hal inovasi pembangunan.
Dilihat dari perspektif psiko-politik, tren ini acapkali terjadi karena rezim tak lagi memiliki misi dan/atau kepentingan dalam pemilihan berikutnya, karena alasan konstitusi. Situasi ini terutama berlaku pada presiden/gubernur/bupati/walikota yang menjalani dua periode pemerintahan, dan tak diperbolehkan lagi mencalonkan diri.
Kita tentu tak ingin hal ini terjadi. Dan juga tidak berharap para pejabat negara yang telah dipercaya dan mendapat amanah mulia untuk memimpin bangsa ini mendadak "letoy" dan kehilangan semangat kerja seperti di awal-awal kekuasaan.
Pada titik inilah fungsi kontrol dari elemen nonpemerintahan diperlukan. Baik dari masyarakat secara umum, organisasi keagamaan, sosial, seni-budaya maupun media massa (plus media sosial).
Tugas kita semua untuk mengingatkan, mengawal pemerintahan hingga akhir, memastikan proses transisi berjalan baik dan berkesinambungan. Terus dan terus ingatkan dalam setiap kesempatan bahwa semangat "kerja, kerja, dan kerja" itu lebih dari sekadar tagline satu generasi pemimpin.
Pengabdian pada negara, pengabdian pada NKRI, harus lunas sampai akhir. Dan itu hanya bisa dibuktikan dengan kerja politik detik terakhir masa jabatan. Memastikan estafet kepemimpinan berjalan baik, pemerintahan efektif, fungsi pelayanan masyarakat optimal.
Dengan begitu, roda pembangunan bisa terus bergerak maju tanpa terpengaruh pasang-surut kekuasaan. (*)
2023, tahun politik dan dilema akhir kekuasaan
Kamis, 5 Januari 2023 7:00 WIB
Akankah mereka tetap amanah menjalankan visi-misi pemerintahannya secara penuh dan optimal hingga masa jabatannya benar-benar berakhir?