Pemerintah Kota Surabaya menyiapkan program "urban farming" atau pertanian perkotaan lanjutan pascapanen cabai di kalangan petani Surabaya, Jatim, sebagai upaya menstabilkan hargai cabai di pasaran.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, di Surabaya, Kamis, mengatakan untuk menstabilkan hargai cabai di pasaran, maka program yang diterapkan sama dengan pengendalian harga garam yang pernah dilakukan.
"Nanti kita membuat program pascapanennya. Harga cabai akan kita buat seperti harga garam," katanya.
Risma menjelaskan pada waktu kemarau petani garam memproduksi banyak garam. Hasil produksi tersebut sebagian besar disimanpan di gudang dengan alasan harga garam saat itu murah.
"Namun pada waktu musim hujan harga garam naik, baru kemudian dikeluarin barangnya," ujarnya.
Begitu juga halnya dengan cabai, Risma mengatakan hasil panen cabai di saat harga di pasaran murah kali ini bisa dikeringkan kemudian disimpan untuk keperluan pembuatan sambal kering.
"Waktu di Padang ada gempa, kita juga kirim bantuan cabai kering ke sana," katanya.
Apalagi, lanjut dia, hasil cabai yang dihasilkan para petani di Kelurahan Made, Kecamatan Sambikerep, Surabaya cukup berkualitas. "Di Made cabainya bagus, bahkan terkenal di Tanggerang," katanya.
Menurut dia, kalau cabai pada umumnya bertahan hanya 10 hari, namun cabai dari Made bertahan sampai satu bulan. Hal ini dikarenakan kadar kandungan airnya rendah.
"Itu memang kita atur. Kalau itu dikelola dengan bagus, maka orang Made bisa kaya-kaya," katanya.
Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jatim Said Utomo sebelumnya menilai panen cabai di wilayah Kelurahan Sumur Welut di saat harga cabai di pasaran murah perlu mendapat perhatian dari pemerintah.
Salah satu pembinaan yang perlu dilakukan menurut Ketua YLPK Jatim ini yakni mengolah hasil panen cabai para petani agar menjadi cabai kering yang bisa dipakai untuk keperluan industri mi instan dan restoran.
Selama ini, menurut Said, mengolah hasil panen cabai menjadi cabai kering belum dilakukan, sehingga ketergantungan terhadap cabai impor berbentuk cabai kering olahan sampai saat ini masih tinggi. Padahal, pengguna terbanyak cabai olahan impor adalah industri mi instan yang pada umumnya dikonsumsi oleh para konsumen.
"Bisa dibayangkan, dengan produksi mi instan per tahun mencapai 15 miliar bungkus saja, dengan asumsi satu kemasan mi instan membutuhkan 3 gram cabai bubuk untuk bumbu, maka setiap bulannya dibutuhkan 375 ton cabai kering impor atau 4.500 ton per tahun," ujarnya.
Said mengatakan hal ini sebenarnya peluang besar yang sudah terbuka belasan tahun yang lalu bagi pemerintah pusat maupun daerah dengan memberdayakan para petani cabai lokal. Namun, sayangnya kebutuhan industri terhadap cabai tersebut tidak ditangkap oleh pemerintah dengan mensinergikan dengan para petani lokal.***1***
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, di Surabaya, Kamis, mengatakan untuk menstabilkan hargai cabai di pasaran, maka program yang diterapkan sama dengan pengendalian harga garam yang pernah dilakukan.
"Nanti kita membuat program pascapanennya. Harga cabai akan kita buat seperti harga garam," katanya.
Risma menjelaskan pada waktu kemarau petani garam memproduksi banyak garam. Hasil produksi tersebut sebagian besar disimanpan di gudang dengan alasan harga garam saat itu murah.
"Namun pada waktu musim hujan harga garam naik, baru kemudian dikeluarin barangnya," ujarnya.
Begitu juga halnya dengan cabai, Risma mengatakan hasil panen cabai di saat harga di pasaran murah kali ini bisa dikeringkan kemudian disimpan untuk keperluan pembuatan sambal kering.
"Waktu di Padang ada gempa, kita juga kirim bantuan cabai kering ke sana," katanya.
Apalagi, lanjut dia, hasil cabai yang dihasilkan para petani di Kelurahan Made, Kecamatan Sambikerep, Surabaya cukup berkualitas. "Di Made cabainya bagus, bahkan terkenal di Tanggerang," katanya.
Menurut dia, kalau cabai pada umumnya bertahan hanya 10 hari, namun cabai dari Made bertahan sampai satu bulan. Hal ini dikarenakan kadar kandungan airnya rendah.
"Itu memang kita atur. Kalau itu dikelola dengan bagus, maka orang Made bisa kaya-kaya," katanya.
Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jatim Said Utomo sebelumnya menilai panen cabai di wilayah Kelurahan Sumur Welut di saat harga cabai di pasaran murah perlu mendapat perhatian dari pemerintah.
Salah satu pembinaan yang perlu dilakukan menurut Ketua YLPK Jatim ini yakni mengolah hasil panen cabai para petani agar menjadi cabai kering yang bisa dipakai untuk keperluan industri mi instan dan restoran.
Selama ini, menurut Said, mengolah hasil panen cabai menjadi cabai kering belum dilakukan, sehingga ketergantungan terhadap cabai impor berbentuk cabai kering olahan sampai saat ini masih tinggi. Padahal, pengguna terbanyak cabai olahan impor adalah industri mi instan yang pada umumnya dikonsumsi oleh para konsumen.
"Bisa dibayangkan, dengan produksi mi instan per tahun mencapai 15 miliar bungkus saja, dengan asumsi satu kemasan mi instan membutuhkan 3 gram cabai bubuk untuk bumbu, maka setiap bulannya dibutuhkan 375 ton cabai kering impor atau 4.500 ton per tahun," ujarnya.
Said mengatakan hal ini sebenarnya peluang besar yang sudah terbuka belasan tahun yang lalu bagi pemerintah pusat maupun daerah dengan memberdayakan para petani cabai lokal. Namun, sayangnya kebutuhan industri terhadap cabai tersebut tidak ditangkap oleh pemerintah dengan mensinergikan dengan para petani lokal.***1***
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019