Ironis nan menyayat hati, itulah gambaran dunia pendidikan tinggi kita saat ini. Begitu mudahnya sebuah perguruan tinggi memberikan atau meluluskan doktor-doktor baru secara 'bergerombolan' yang sebenarnya secara administratif telah melanggar berbagai peraturan perundang-undangan maupun etika akademik.

Tidak kalah dari itu, perguruan tinggi pun dengan mudahnya mengobral gelar doktor dan jabatan profesor kehormatan kepada siapa yang mereka sebut 'telah memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan bangsa'. Setali tiga uang, bak gayung bersambut, Pemerintah pun menyokong pengangkatan jabatan akademik profesor bagi seseorang yang mereka sebut 'memiliki kompetensi yang luar biasa.

Bukan karena iri atau dengki, tapi bagi mereka yang telah bersusah payah dan penuh perjuangan untuk menyelesaikan pendidikan doktoral dan untuk mencapai jenjang jabatan akademik tertinggi, yakni profesor, maka sungguh keadaan seperti ini sangatlah menyayat hati.

Di satu sisi, insan akademik yang telah memiliki dedikasi yang sangat luar biasa bagi dunia pendidikan, katakanlah misalnya memiliki karya ilmiah seperti buku ajar atau buku referensi yang tak tehitung jumlah, tetap harus merangkak kesakitan untuk bisa diangkat pada jabatan akademik profesor.

Akan tetapi, di sisi lainnya, pejabat negara, mantan pejabat negara, politisi, pengusaha kaya raya dengan mudahnya mendapatkan gelar dan jabatan yang menjadi cita-cita tertinggi bagi setiap dosen itu.

Pemberian gelar doktor dan pengangkatan jabatan profesor kehormatan memang bukanlah barang haram, namun pada saat Pemerintah dengan gigih memperketat syarat kelulusan bagi calon doktor dan memperberat syarat untuk memperoleh jabatan profesor bagi dosen.

Tetapi di sisi lainnya, perguruan tinggi dan Pemerintah dengan mudahnya memberikan gelar doktor kehormatan dan profesor bagi mereka yang dianggap berjasa bagi negeri ini. Apakah dosen yang sudah puluhan tahun mengabdikan dirinya bagi dunia pendidikan dan/atau dosen yang memiliki kompetensi dan karya akademik yang juga luar biasa tidak dianggap memiliki jasa bagi negeri ini? 

Saya teringat dengan salah satu rekan saya yang memiliki karya akademik yang sangat banyak dan luar biasa serta menjadi rujukan utama dalam bidangnya, hingga saat ini belum dianggap berjasa bagi negeri ini.

Dengan kata lain bahwa meskipun memiliki karya akademik yang banyak dan menjadi referensi utama dalam ilmunya, itu tidaklah cukup untuk dikategorikan 'memiliki jasa yang luar biasa bagi negeri ini'. Lalu apakah standar atau parameter untuk dapat disebut sebagai orang yang berjasa bagi negeri ini atau orang yang memiliki kompetensi luar biasa hanyalah mereka yang mendapat jabatan sebagai pejabat negara, mantan pejabat negara, pimpinan parpol, (politisi) ataukah pemilik perusahaan besar? Atau jangan-jangan perguruan tinggi hanyalah mengharap imbal balik jasa yang telah diberikan kepada para pejabat, pimpinan parpol atau pemilik perusahaan besar.

Pemberian gelar doktor dan pengangkatan jabatan profesor kehormatan memang diperbolehkan, namun dalam situasi kekacauan dunia pendidikan kita serta perlakuan yang tidak adil bagi dosen, rasanya kurang tepat untuk mengobral gelar dan jabatan kehormatan itu.

Seolah sudah menjadi kemahfuman atau kelaziman, bahwa  pejabat negara, politisi, pengusaha, bahkan mantan pejabat negara pasti dimuluskan dalam pemberian gelar doktor atau jabatan profesor, sehingga menjadi guyonan bagi dosen, 'kalau mau cepat jadi profesor ya mendaftarlah pada formasi jabatan pejabat negara atau jadilah ketua partai politik atau jadilah pimpinan dan 'owner' perusahaan besar".

Jika semua dosen ingin menempuh jalan tersebut, misalnya menjadi pejabat negara, pimpinan parpol atau pure pengusaha, maka hal ini akan semakin menambah kerusakan bagi dunia pendidikan tinggi kita.

Seperti halnya setiap prajurit TNI dan Polri yang mendambakan pangkat tertinggi, Jenderal, setiap dosenpun mendambakan gelar doktor dan jabatan akademik tertinggi, profesor. Bedanya, parjurit bisa mendapatkan pangkat Jenderal dan Profesor, tapi dosen jangan coba-coba mendambakan pangkat Jenderal.

Kira-kira itulah sebuah analoginya bahwa bagi profesi atau jabatan tertentu, tersemat gelar atau pangkat yang menjadi kehormatan bagi profesi itu. Di Gerakan Pramuka, menjadi seorang dengan pangkat Pelatih Tingkat Lanjutan (KPL) merupakan suatu kehormatan dan menjadi cita-cita setiap anggota Pramuka.

Begitupula bagi dosen, gelar doktor dan jabatan akademik profesor merupakan cita-cita tertinggi setiap dosen, karena dalam undang-undang guru dan dosen maupun undang-undang pendidikan tinggi disebutkan bahwa profesor adalah jabatan akademik tertinggi bagi dosen yang masih aktif mengajar di perguruan tinggi dan memiliki kewenangan untuk membimbing calon doktor.

Teringat bagaimana kerasnya perjuangan untuk menyelesaikan pendidikan doktoral dan bagaimana beratnya syarat untuk mendapatkan jabatan akademik profesor seolah terkhianati oleh gelar doktor (kehormatan atau biasa) dan profesor kehormatan yang diobral oleh perguruan tinggi dan pemerintah.

Nama mereka terpampang membahana di berbagai tempat sebagai pembicara, narasumber, inspirator dan sebutan lainnya yang seolah-olah mereka yang "doktor benaran' atau 'profesor benaran'. Hanya karena nasib, dosen yang telah memberikan pengabdian terbaiknya bagi negeri ini masih dianggap tidak berjasa dan harus menatap jauh nan putus asa untuk meraih impian mendapatkan jabatan profesor.

Apalagi bagi doktor yang masa pengabdiannya belum genap 10 tahun meskipun mempunyai kompetensi dan prestasi akademik luar biasa, mimpi untuk menjadi profesor bak mimpi di siang bolong. 

Wallahu'alam bisshowab.
*) Penulis adalah Doktor Hukum Tata Negara Lulusan Terbaik Universitas Airlangga

Pewarta: Rusdianto Sesung

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017