Ini kisah tentang wong cilik. Orang yang bukan pejabat. Bukan pula ilmuwan. Bukan pesohor. Atau orang yang suka terkenal. Pula bukan tokoh. Baik agama, sosial maupun politik. Dia bukan pengambil kebijakan. Bahkan di kelompok kerjaanya sendiri, dia bukan pengawas. Apalagi bos. Sama sekali bukan.

Dia bukan pegawai yang serba necis. Yang selalu menjaga kerapian. Yang selalu berpikir matching dalam berpakaian. Yang memiliki banyak pilihan dalam mengenakan pakaian untuk hari ini atau hari itu. Bukan. Sama sekali bukan. Karena dia selalu berpakaian seragam yang sama hampir setiap hari. Bukan tidak mau mengganti. Tapi seragam itu harus dia kenakan hampir setiap hari. Sebagai bagian dari tuntutan tugas yang harus diikuti.

Dia bukan pegawai yang berangkat dan pulang kerja selalu beraroma wewangian. Apalagi saat bekerja, sungguh jauh dari wewangian itu. Kerjanya selalu penuh dengan peluh. Keringat selalu membasahi tubuh. Dan tak kuasa untuk jauh dari itu. Tapi itu dia lakukan dengan tanpa mengeluh.

Kerjaanya sama sekali tidak berkaitan dengan kertas, spidol dan papan tulis. Apalagi bersentuhan dengan komputer atau laptop. Sama sekali tidak. Tapi, dia juga bekerja dengan target. Dia dituntut untuk berkinerja baik dalam target tertentu. Layaknya kaum profesional. Malas saat tiada orang atau giat saat dilihat orang, bukan prinsipnya. Kerjanya sepi dari pamrih. Karena kerjanya di tempat yang tidak terkait dengan layanan rutin harian.

Dia adalah tukang kebersihan lepas. Ya, dia pegawai outsourcing. Ya, dia pegawai lepas yang bertugas membersihkan gedung, ruangan, hingga toilet. Kerjanya tiap hari berkutat dengan urusan kebersihan. Dia harus menjamin bahwa seluruh fasilitas di gedung itu selalu dalam keadaan bersih. Sepanjang jam kerja, yang dibawa tiada lain kecuali sapu, cairan pembersih lantai, kain lap pel, dan keranjang sampah.

Gedung yang dia bersihkan juga jauh dari hilir mudik banyak orang. Jauh dari perhatian banyak orang. Bisa dipastikan, orang ke situ hanya karena kepentingan khusus dan tertentu. Jelasnya, orang yang memang punya kepentingan khusus dan rutin untuk olahraga. Itulah gedung sport center and multipurpose (sederhananya disebut gedung sport center) kampus Islam UIN Sunan Ampel Surabaya.

Saya harus membuat tulisan ini untuk belajar dari kemuliaan pegawai superhebat itu. Kemuliaannya harus menjadi pesan penting bagi semuanya. Walaupun jenis pekerjaannya tidak mentereng. Jabatannya pun juga rendahan bagi banyak orang. Tapi, perilakunya sangat mulia. Melintasi batas jenis pekerjaan yang dia tekuni yang justeru dijauhi banyak orang kecuali karena kepepet.

Kisah itu berawal dari sebuah Sabtu pagi, 10 Desember 2016. Ada pesan yang masuk di grup WA Badminton "UINSA Jaya Club". Itu kelompok penyuka olahraga badminton UIN Sunan Ampel Surabaya. Pesan itu berasal dari Mas Chanif Abdullah, teman saya dari Bagian Umum UINSA yang sangat doyan main badminton. Isi pesannya begini: "Ada yang merasa kehilangan akik sebagaimana SMS dari penjaga SC (sport center): Askum pak, saya Mbak Sum di SC, tadi ada bapak yang menemukan akik, mohon di WA Pak". Maksudnya, dia menemukan akik tertinggal di toilet sport center.

Bagi saya, sangat menarik cerita menemukan akik di toilet lalu menyimpannya dan memberitahukannya kepada yang berwenang agar diumumkan kepada khalayak. Padahal, barang yang kecil itu sangat mudah untuk dihilangkan dari penglihatan. Sangat gampang untuk disembunyikan. Dan sangat terbuka kemungkinan untuk diselewengkan. Itu jika yang menemukannya memiliki maksud jelek. Minimal untuk dijual kembali. Diuangkan. Dan orang lain pun lalu tidak tahu perihal itu.

Maksud jelek untuk menilep akik yang berstatus milik orang lain itu bisa semakin membesar saat akik diketahui berharga mahal. Apalagi, menurut kosmologi perakikan, jika akik dilepas dari tangan saat mandi, kencing atau berak, sangat mungkin akik itu dianggap, diyakini dan ditanamkan keyakinan oleh yang punya memiliki daya magis tertentu. Memiliki tuah tersendiri. Dan itu artinya pasti berharga mahal.

Sampai pada titik ini, saya mulai terpesona dengan figur Mbak Sum. Panggilan akrab dari Sumiati. Saya memang sama sekali tidak kenal beliau. Melihat saja juga belum pernah. Apalagi tahu. Lalu kenal. Sama sekali tidak. Bahkan, namanya saja saya juga baru ketahui setelah nama itu disebut di grup WA oleh Mas Chanif di atas. Itupun setelah saya melacak file pembicaraan grup WA ke hari-hari, minggu-minggu dan bulan-bulan ke belakangnya.

Tapi, satu hal yang ada dalam benak saya begitu membaca dan mengetahui pesan teman-teman di grup WA Badminton "UINSA Jaya Club" di atas: ini perilaku mulia. Ini harus dirayakan. Bukan lebay. Agar kemuliaan perilaku ini bisa menjadi virus positif bagi kita semua. Bagi saya. Bagi teman saya. Bagi keluarga besar UINSA. Dan bagi siapa saja yang ingin menambah kebajikan dalam hidup.

Pembicaraan di grup WA Badminton di atas lalu mengingatkan saya kepada kisah beberapa minggu sebelumnya. Tepatnya hari Rabu 12 Oktober 2016, sehari setelah latihan rutin badminton Hari Selasa di minggu kedua Oktober itu. Kejadiannya di Sport Center UINSA juga. Pemilik saham atas cerita itu (shohibatul hikayat) juga figur Mbak Sum. Saat itu, Mas Chanif yang selalu menjadi komandan kegiatan badminton mengirim pesan ke grup WA: "Ada yang merasa kehilangan baju warna putih di SC kemarin?".

Baju warna putih yang dimaksud adalah baju seragam kerja harian UINSA dari Senin hingga Rabu. Rupanya, ada yang lupa mengamankan baju seragam kerjanya saat berganti pakaian ke baju olahraga di toilet atau ruang ganti pakaian. Begitu ada pengumuman dari Mas Chanif di atas, pesan dari yang lain nongol. "Hehe…iya, Pak, baju saya; saya ambil dimana nggih?," sahut spontan Pak Advan Navis, dosen ilmu komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UINSA, sang pemilik. Mas Chanif pun lalu menjawabnya singkat: "Bisa diambil di Petugas Kebersihan di SC besok Pak".

Saya sengaja melacak kembali pembicaraan di grup WA hingga dua bulan ke belakang dari cerita soal penemuan akik di atas, karena begitu tertariknya dengan figur Mbak Sum. Orang yang begitu jujur. Tidak hanya akik milik orang lain yang dia simpan untuk diterimakan kembali ke pemilik aslinya. Baju seragam kerja orang lain yang tertinggal di Sport Center juga dia amankan. Mungkin berharga, dan mungkin tidak, baju itu baginya. Namun, bagi yang punya, baju itu sangat berharga karena menjadi baju seragam kerja. Dan, Mbak Sum telah membuat si pemilik baju seragam kerja itu senang dengan menyelamatkannya dari kehilangan. Idkholus surur. Membuat senang orang lain.

Saya pun lalu bercerita kepada Mas Chanif saat main badminton Jumat 16 Desember 2016 tentang rasa salut saya kepada Mbak Sum yang jujur dan baik itu. Kejujuran dan kebaikannya telah memesona saya untuk, paling tidak, menirunya dalam menambah kebajikan dalam hidup. Lantas, Mas Chanif memberi data lebih menarik lagi. "Itu masih belum seberapa Pak!," kata Mas Chanif. "Memang ada cerita lagi soal dia ini, Mas?," sahut saya. "Ada," jawab Mas Chanif.

Lalu, Mas Chanif pun menceritakan kisah satu lagi yang lebih seru dan dahsyat. Suatu saat, cerita Mas Chanif, ada tas mahasiswa dengan HP dan uang yang berjumlah sekitar Rp6 juta tertinggal di gedung sport center. Dia lupa membawa serta barang-barang itu saat meninggalkan gedung tersebut sehabis berolahraga. Tentu, dilihat dari nilai materialnya, barang-barang itu terhitung mahal. Apalagi, ada uang cash-nya.

Tapi oleh Mbak Sum, barang-barang mahal yang bukan miliknya itu bukan dihilangkan. Bukan disembunyikan. Dan bukan diambil untuk dirinya. Melainkan diamankan. Lalu dilaporkan kepada yang berwenang. Mas Chanif mencatat kemuliaan Mbak Sum ini dengan baik dan menceritakannya kembali kepada saya.

Dalam hal peneguhan nilai kebajikan, orang bisa berdebat. Apalagi orang kampus. Apa saja bisa diperdebatkan. Bahkan hingga hebat perdebatannya. Tapi, dalam serangkaian kasus cerita kejujuran yang dipraktikkan oleh Mbak Sum di atas, perdebatan atas implementasi nilai kejujuran dan kebajikan rasanya sudah tidak diperlukan lagi. Sebab, Mbak Sum tetap konsisten menjaga praktik kejujuran dan kebajikan pribadi itu, terlepas apapun kondisinya. Pada barang yang mungkin terbilang murah bagi banyak orang, dia bisa menunjukkan kejujuran dan kebajikan itu. Bahkan, pada barang yang jelas-jelas tergolong mahal pun, dia tetap tidak tergiur untuk menggelapkannya dan atau mengambil manfaatnya.  

Saya yakin seyakin-yakinnya, itu semua dia lakukan karena dia meyakini yang satu ini: jangan mengambil yang bukan hakmu! Mbak Sum memang tidak sedang mengkhotbahkan nilai-nilai kejujuran dan kebajikan. Tapi, praktik yang dia tunjukkan tentang bagaimana mempraktikkan kejujuran dan kebajikan serta menjaga perilaku itu dengan kuat layak untuk dikhotbahkan. Tentu, bukan kapasitas Mbak Sum untuk mengkhotbahkan. Tapi, kita semua yang harus mengkhotbahkan praktik kejujuran dan kebajikan, seperti di antaranya yang dilakukan Mbak Sum di atas.

Terima kasih Mbak Sum. Kau telah membuat kampus kami, UINSA, tidak saja bersih, tapi juga jernih. Ya, clean and clear. Kau bukan saja membersihkan fisik kampus kami. Tapi kau juga membuat kampus kami jernih. Jernih dari perilaku yang serba mumpung. Jernih dari perilaku mengambil sesuatu yang bukan haknya. Dan jernih dari perilaku culas. Padahal kau sangat mungkin melakukan itu semua jika kau mau. Dan bahkan tidak ada orang yang tahu soal itu.

Kau memang tidak sedang mengajari kami tentang rumus clean and clear itu. Kau juga memang tidak sedang mengajari kami dalil mana dari al-Qur'an dan al-Sunnah yang menjadi bagian dari dan dasar bagi hidup clean and clear itu. Serta Kau juga tidak sedang memberi kami daftar referensi bacaan yang membahas bagaimana hidup clean and clear itu dilakukan.

Tapi kau telah memberi pelajaran hebat kepada kami semua melalui perilakumu tentang bagaimana menjaga hidup agar tetap clean and clear. Kau bisa ambil baju dosen yang tertinggal di ruang ganti pakaian saat bermain olahraga di sport center. Itu kalau kau mau. Kau juga bisa ambil akik yang tertinggal di toilet sport center. Itu kalau kau mau. Padahal akik itu, saya yakin, pasti berharga mahal.

Kau juga bisa ambil tas mahasiswa beserta handphone dan uang jutaan di dalamnya saat tertinggal di sport center. Itu kalau kau mau. Semuanya serba memungkinkan. Karena, tidak ada orang lain di sport center saat tidak ada yang menggunakan fasilitas olahraga, kecuali dirimu. Tapi, kau tidak serakah. Tapi, kau tidak aji mumpung. Kau tidak mau mengambil semua benda-benda mahal itu karena kau yakin itu bukan hakmu. Kau tetap jujur. Kau tetap ikhlas dengan pekerjaan. Dan kau tetap profesional dengan pekerjaanmu. Kau tetap hidup dalam kebajikan.

"Anak saya di pondok seringkali kehilangan. Jadi, kalau ada barang yang ketinggalan di lokasi, teringat akan anak saya yang di pondok, sehingga merasa terharu dan kasihan". Itu ungkapan perasaan Mbak Sum saat menemukan barang yang tertinggal di gedung tempat dia kerja. Dia mampu menempatkan dirinya pada posisi orang yang ketinggalan barang jika barang itu sampai hilang. Tentu iba dan kasihan.

Mbak Sum memang pribadi yang teguh menjaga hidupnya agar tetep berada dalam kebajikan. Bahkan, untuk kepentingan itu, dia berusaha sekuat tenaga agar anak-anaknya mendapatkan pendidikan agama yang baik. "Dia memiliki tiga anak: Andre, Dimas, dan Azkiya. Anak pertama dan kedua mondok di Pesantren al-Akbar di Kertajaya Surabaya. Tiap bulan, Mbak Sum harus mengirimi anaknya kurang lebih Rp250 ribu perbulan untuk masing-masing kedua anaknya". Itu cerita Mas Chanif kepada saya dari hasil komunikasinya dengan Mbak Sum.

Pengalaman pribadi dan keluarganya memperkuat semangatnya untuk hidup dalam kejujuran dan kebajikan. Di sinilah, dia menunjukkan nilai empatinya yang sangat tinggi kepada sesama. Empati yang tinggi itu dia lakukan dengan berkaca pada kehidupan dirinya dan keluarganya. Namun yang jelas, apapun motivasimu Mbak Sum, kau telah menginspirasi. Inspirasi kejujuran dan kebajikan.

Rasanya, malu jika saya tidak meneladani sikap dan perilakumu. Kau menjadi guruku dalam kejujuran dan kebajikan. Kau menjadi teladanku. Kau memang bukan pejabat. Bukan pengambil kebijakan. Kau bukan pengawas pekerjaan. Juga bukan sosok yang suka pamer kehebatan. Kau adalah pekerja kecil. Tapi prinsip dan perilaku hidupmu telah menjadi pelajaran yang sangat berharga tentang bagaimana menjadi individu yang mulia. Perilakumu, kejujuranmu, dan keikhlasanmnu adalah kemuliaan. Bukan saja bagi dirimu. Tapi juga bagi kami semua. Karena kau telah memberi pelajaran hebat buat kami semua.

Perilakumu telah membongkar teori penting: teladan tidak selalu harus datang dari atas. Teladan bisa datang dan dimulai dari bawah. Kau telah membangun teori baru bahwa teladan ternyata bisa datang dari bawah. Ya, dari komponen sosial yang strukturnya paling bawah. Tentu konsekuensinya sangat beda antara teladan yang muncul dari atas dan dari bawah. Teladan yang datang dari bawah pasti bukan hasil settingan. Pasti bukan hasil pura-pura seperti skema teoretik "panggung depan" sebagai bandingan bagi "panggung belakang" dalam skala teori besar dramaturgi ala Erving Goffman (lihat The Presentation of Self in Everyday Life, New York: Doubleday, Anschor Books, 1959). Teladan yang datang dari bawah lebih natural. Lebih alami. Lebih tulus.

Maka, malu rasanya jika kami tidak bisa mengambil pelajaran dari perilakumu, Mbak Sum. Karena itu, izinkan kupatri namamu dan perilakumu dalam kesadaran kuatku tentang prinsip hidup yang clear and clean. Izinkan aku belajar dari kemuliaanmu. Dan izinkan kuberdoa, Ya Allah lindungi orang-orang baik dan hebat seperti dirimu ini dari segala mara bahaya. Berkahi hidupnya. Cukupkan rezekinya. Angkatlah derajatnya bersama kemuliaan hidupnya. Dan berikan kekuatan padaku untuk meneladaninya. Aamiin. (*)

---------
*) Penulis adalah Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya, Sekretaris PWNU Jatim, dan peneliti Sosiologi Pendidikan pada UIN Sunan Ampel Surabaya.
*) Sumber Tulisan: Laman www.uinsby.ac.id

Pewarta: Prof Akh Muzakki *)

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017