Surabaya (Antara Jatim) -  Jika pemberlakuan masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) diibaratkan peperangan, maka saat ini negara-negara di Asia Tenggara tentu sudah pasti saling intip, saling intai untuk mengetahui peluang, tantangan dan bahkan ancaman di masing-masing negara.
   
Apalagi era MEA atau era pasar tunggal Asia Tenggara (ASEAN) menurut rencana akan mulai diberlakukan awal 2016, sedangkan terintegrasinya jasa keuangan meski tidak bersamaan tapi terus diupayakan segera.  

Pemberlakuan pasar tunggal ini tentu akan berbarengan dengan datangnya peluang sekaligus tantangan dan ancaman yang menyertainya, termasuk peluang, tantangan dan ancaman bagi industri jasa keuangan (IJK)  Indonesia.

Jasa Keuangan adalah istilah yang sering digunakan untuk menunjukan jenis jasa yang diberikan atau disediakan oleh industri keuangan. Industri keuangan yang dimaksud di antaranya perbankan dan non-perbankan seperti  perusahaan asuransi, sekuritas, perusahaan pembiayaan, perusahaan penjaminan kredit dan lainnya.

Untuk mengetahui peluang, tantangan dan ancaman yang dihadapi banyak pihak mencoba membedahnya menggunakkan berbagai metode analisis, salah satunya adalah dengan analisis  SWOT, yakni  Strength (kekuatan), Weaknesses  (kelemahan), Opportunities (peluang) dan Threat (ancaman).

Analisis SWOT awalnya digunakan George Albert Smith Jr dan C Roland Christiensen dari Harvard Business School (HBS)  pada tahun 1950 guna memperoleh rumusan strategi organisasi dan  pemasaran. SWOT kemudian dikembangkan oleh HBS hingga sekarang.

Sedangkan unsur-unsur SWOT tersebut merupakan aspek penting yang perlu dianalisis untuk dapat mengetahui secara menyeluruh mengenai kondisi dan potensi yang dimiliki perusahaan  atau industri di suatu negara.

Dengan analisis itu maka akan teridentifikasi berbagai faktor dan unsur penentu  untuk melakukan evaluasi kondisi lingkup kegiatan  dan selanjutnya dapat digunakan pula untuk merumuskan strategi sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimilikinya.

Jika mencoba mengurai mengenai dunia jasa keuangan, banyak komponen analisis yang dapat mempengaruhi peluang, tantangan dan ancaman seperti laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, sumber pembiayaan, pemerataan akses keuangan, ketahanan modal, pertumbuhan kredit dan lainnya.


Ekspansi Pasar

Dalam kaitan persaingan global di pasar ASEAN, industri jasa keuangan Indonesia tampaknya  perlu memperhatikan beberapa unsur agar mampu menangkap peluang tanpa mengesampingkan tantangan dan ancamannya.

Indonesia yang berpenduduk sekitar 250 juta jiwa merupakan pasar yang terbesar di kawasan Asia Tenggara. Perekonomian yang besar, tingkat konsumsi yang tinggi, dan kelas menengah yang tumbuh menjadikan Indonesia salah satu tujuan utama investasi sekaligus pasar yang menarik. Pasar yang besar merupakan pasar yang seksi bagi banyak  pelaku usaha.

Karena itu, besarnya pasar dalam negeri tersebut diharapkan tidak sampai membuat para pelaku usaha jasa keuangan terlena hanya menggarap pasar domestik, tanpa memikirkan ekspansi pasar ke luar negeri, atau bahkan abai terhadap kemungkinan masuknya pemain asing yang dapat menjadi kompetitor kalau tidak bisa dikatakan sebagai ancaman.  

Di era pasar bebas ASEAN, dipastikan ada yang datang dan ada pula yang pergi. Artinya, di era pasar bebas dipastikan akan ada pelaku usaha dari luar yang akan datang. Namun demikian, diharapkan ada pula pelaku usaha dalam negeri melakukan ekspansi pasar ke luar negeri.  

Terkait dengan ekspansi pasar ini,  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahkan mengharapkan pelaku usaha  industri keuangan Indonesia mau melebarkan sayapnya dengan melakukan ekspansi ke pasar ASEAN.

"Pelaku bisnis hendaknya melihat potensi pasar di Asia Tenggara, terlebih sebentar lagi memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)," kata Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman D. Hadad  di sela seminar OJK Forum 2015 bertajuk Peluang dan Tantangan Industri Jasa Keuangan dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Harapan Muliaman itu tampaknya dilandasi penilaian bahwa para pelaku industri jasa keuangan dalam negeri saat ini menganggap pasar domestik masih besar sehingga menunda untuk ekspansi usahanya hingga ke luar Indonesia.

Cara melihat potensi perkembangan bisnis tersebut, menurut Muliaman, berbeda dengan pelaku pasar internasional  yang menganggap ekspansi keluar negaranya merupakan suatu keharusan.

Akan tetapi, hal tersebut bisa jadi juga terpengaruh karena dukungan dari sektor riil yang  belum kuat sehingga akan bisa menyebabkan ketimpangan. Sebab sektor keuangan dengan sektor riil mempunyai keterkaitan yang sejalan.

Pasar bebas ASEAN memang memuculkan peluang, tantangan sekaligus ancaman, namun hal itu tidak perlu dikhawatirkan industri jasa keuangan Indonesia jika mereka mampu menunjukkan daya saingnya. "Kekhawatiran tersebut tidak beralasan jika kita mampu menunjukkan daya saing yang tinggi," kata Muliaman D Hadad.

Pemberlakuan MEA akan meningkatkan penetrasi pasar. Pasar bebas ASEAN  semakin mempersempit kesenjangan kemampuan industri jasa keuangan di seluruh negara ASEAN. Selain itu,  meningkatkan kestabilan sistem keuangan di kawasan dan melindungi kepentingan konsumen.

Kerja sama bidang industri jasa keuangan di negara-negara ASEAN kini telah dan terus berlangsung. Meski belum mencakup semua sektor, tapi kerja sama tersebut setidaknya cukup memberikan ruang bagi tercapainya integrasi keuangan di kawasan ASEAN.

Rencana integrasi sektor jasa keuangan ASEAN sebenarnya sudah menunjukkan bentuknya melalui peluncuran Kerangka Kerja Integrasi Keuangan ASEAN  atau ASEAN Financial Integration Framework (AFIF), dengan agenda prioritas pada integrasi di sektor perbankan yang perannya dinilai paling dominan.

Selain itu, juga dilakukan diskusi tentang kebebasan lalu lintas modal dan penyatuan sistem pembayaran sebagai  pendukung integrasi keuangan.  Otoritas pasar modal di ASEAN secara intensif sudah melakukan diskusi terkait integrasi dan dan pengembangan pasar modal melalui ASEAN Capital Market Forum atau ACMF.

Sedangkan di sektor perbankan, otoritas keuangan sejumlah negara ASEAN telah mencapai kesepakatan terkait kerangka integrasi perbankan ASEAN (ABIF). Hingga saat ini, terdapat tiga negara yang telah bergabung dengan ABIF, yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura melalui perjanjian bilateral antarnegara.

ABIF diharapkan dapat memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh negara ASEAN melalui Qualified ASEAN Banks (QABs), dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian agar integrasi perbankan tidak mengorbankan stabilitas sistem keuangan di kawasan Asia Tenggara.

Sektor lainnya, rencana integrasi asuransi ASEAN yang dikoordinasikan oleh Tim Kerja Liberalisasi Sektor Jasa Keuangan dan Regulator Asuransi di kawasan ASEAN (Asean Insurance Regulator Meeting/AIRM).

Dengan demikian,  sekarang ini ada tiga pilar utama sektor keuangan ASEAN  yakni perbankan, pasar modal dan asuransi yang  secara paralel mulai bergerak menuju integrasi pada lingkup kawasan ASEAN.


Berdaya Saing

Sementara itu, kata kunci untuk memenangkan "peperangan" pasar ASEAN adalah berdaya saing tinggi. Kondisi  inilah yang kini terus didorong OJK terhadap industri jasa keuangan dalam negeri guna meningkatkan kemampuan dalam menghadapi persaingan regional tersebut.

"OJK berkepentingan agar industri jasa keuangan dapat tumbuh dan berkembang semakin kuat serta berdaya saing tinggi, dengan mendorong industri jasa keuangan terus meningkatkan efisiensi, Sumber Daya Manusia dan infrastruktur pendukung lainnya agar mampu berprestasi di tingkat regional," kata  Muliaman D Hadad menegaskan.

Untuk bisa berdaya saing,  banyak konsep yang ditawarkan para pakar. Tapi seorang ahli strategi militer klasik dari Tiongkok kuno Sun Tzu dalam bukunya The Art of War (Seni Berperang)  memberikan tips yang agaknya bisa diterapkan untuk menghadapi peperangan dalam bisnis.

Untuk mengatasi situasi persaingan, Sun Tzu menawarkan sejumlah jurus agar bisa menentukan strategi yang tepat. Jurus tersebut di antaranya adalah menghormati pelanggan, mencermati pasar, tetap  fokus pada sasaran, dan mengamankan posisi perusahaan.

Strategi lainnya, menyerang lebih dulu, membuat kejutan kepada musuh atau pesaing, bermanuver yang responsif, mengkonsentrasikan sumber daya, meningkatkan daya saing ekonomis, struktur komando yang baik dan menyederhanakan yang kompleks di perusahaan.

Jadi, menghadapi persaingan pasar  regional ASEAN, industri jasa keuangan dituntut tidak hanya menjadi jago kandang. Industri jasa keuangan harus bisa meningkatkan kemampuan, memperbaiki infrastruktur, mengembangkan kapasitas  dan tidak terlena dengan peluang pasar domestik yang masih cukup besar.

Data OJK menyebutkan,  perekonomian global dan industri jasa keuangan di triwulan II-2015,  secara umum mengalami perlambatan sejalan dengan melemahnya kondisi perekonomian di negara maju.

Kendati begitu,  industri perbankan nasional justru menunjukkan tren pertumbuhan yang cukup baik dan ketahanan perbankan yang tetap solid yang tercermin dari total aset, kredit dan dana pihak ketiga (DPK) perbankan nasional masing-masing meningkat sebesar 0,9 persen (qtq), 2,1 persen (qtq) dan 0,8 persen (qtq) dari triwulan sebelumnya menjadi Rp 5.837,7 triliun, Rp 3.757 triliun dan Rp 4.232 triliun.

Rasio kecukupan modal (CAR) juga cukup tinggi walaupun sedikit menurun yaitu sebesar 20,5 persen dibandingkan triwulan I-2015 sebesar 20,9 persen.

Sedangkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di pasar modal berada pada posisi 4.910,7 atau menurun sebesar 11,0 persen jika dibandingkan triwulan sebelumnya. Nilai kapitalisasi pasar saham juga mengalami penurunan sebesar 9,99 persen dibandingkan periode sebelumnya menjadi Rp 5.000,3 triliun.

Tapi, industri Reksa Dana menunjukkan perkembangan yang cukup baik yang ditunjukkan dengan Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksa Dana meningkat sebesar 2,5 persen dibandingkan triwulan sebelumnya menjadi sebesar Rp 262,6 triliun.

Sementara itu, Kinerja Industri Keuangan Non Bank (IKNB) sampai dengan akhir triwulan II-2015 juga bergerak positif. Total aset IKNB  meningkat 0,4 persen menjadi Rp1.568,5 triliun. Industri Perasuransian mengalami peningkatan aset terbesar, diikuti Perusahaan Pembiayaan, Dana Pensiun, serta Lembaga Jasa Keuangan Khusus.

Secara umum kondisi sektor jasa keuangan domestik pada triwulan II-2015 masih terjaga dengan baik meskipun terdapat koreksi pada IHSG dan penurunan nilai rupiah dibandingkan dolar AS. Indikator-indikator sektor jasa keuangan secara umum berada dalam kondisi normal.

Namun demikian,  perlu dicermati perkembangan likuiditas perbankan, serta kemungkinan penurunan kualitas kredit yang dipengaruhi oleh pelemahan nilai tukar rupiah. Selain itu, perlu dicermati pula dampak pergerakan pasar keuangan terhadap kinerja dan kesehatan perusahaan asuransi dan Dana Pensiun. (*)


Pewarta: Slamet Hadi Purnomo

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015