Pamekasan (Antara Jatim) - Sesekali, Erfan menyeka keringat di wajahnya, sembari memulai memasang paku pada plafon yang telah diberita tanda sebelumnya oleh pekerja pemasang plafon lainnya.
Raut wajah lesu, sangat jelas terlihat, namun Erfan seolah tak peduli dengan semua itu. Satu persatu plafon berukuran 1 kali 2 meter itu dipaku pada titik-titik yang diberita tanda.
"Ini kan ukuran sudah pas kan Nom?" tanya pemuda berusia 21 tahun dengan nama lengkap Lukman Erfandi ini pada pria paruh baya yang sejak tadi memasang tanda, tempat memasang paku pada plafon.
"Iya Cong, tinggal memasang," jawab pria bernama Fadili itu singkat.
Nom atau "anom", merupakan panggilan kemenakan kepada paman atau anak usia remaja kepada pria yang lebih dewasa. Sementara "cong" penyingkatan kata "kacong" merupakan panggilan dari orang dewasa kepada yang muda, seperti orang tua kepada anak atau paman kepada kemenakan.
Di rumah Hosni, Desa Tlagah, Kecamatan Pegantenan, Pamekasan inilah, Lukman Erfandi bersama Fadili bekerja sebagai pemasang plafon rumah.
Mahasiswa semester VI Jurusan Syariah pada Program Studi Perbankan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan, ini kini menjadi tukang pemasang plafon, demi biaya kuliah dan menghidupi ibu dan adiknya. Itu dilakukan setelah ayahnya Marsuki, tewas menjadi korban carok massal yang terjadi pada 20 November 2014.
"Saat ayah masih hidup, saya tidak pernah bekerja sekeras ini. Kalaupun bekerja, sekadar membantu saja, karena ayah meminta agar saya fokus kuliah," katanya lirih.
Tatapan kosong dengan mata dan derai air mata, sesekali mengalir dari kelopak matanya, saat pemuda berambut lurus tinggi badan 165 cm ini menceritakan kejadian tragis yang menimpa ayahnya, enam bulan lalu.
Lukman merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan suami istri Marsuki dan Farida.
Kakaknya bernama Nurul Fitriyah berumur 23 tahun (sudah menikah) dan adiknya bernama Ach Jailani Siddiq (19) kini belajar di Pesantren Ummul Quro, Desa Plakpak, Kecamatan Pegantenan, asuhan KH Lailurrahman.
Kematian Marsuki pada carok di ladang sawah Dusun Bates, Desa Pamoroh, Kecamatan Kadur, 20 November 2014, itu sempat membuat Erfan terguncang.
Selama ini, ayahnya selalu memberi motivasi dirinya untuk menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi.
"Cukup saya yang jadi kuli, kamu harus lebih baik dari saya. Makanya yang rajin belajar, dan fokus pada kuliah," kata Erfan menirukan pesan almarhum ayahnya.
Di mata Erfan, Marsuki memang sosok yang sangat membanggakan. Meski ia hanya lulusan sekolah dasar, tetapi kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi putra-putrinya sangat tinggi.
Semua putra-putrinya, baik kakaknya Fitriyah dan adiknya Ach Jailani Siddiq selalu didorong agar pendidikannya lebih dari yang ia pernah alami, yakni tak sekedar lulus SD.
Pendidikan agama, juga menjadi perioritas Marsuki, sehingga putra-putrinya selalu didorong untuk masuk ke pondok pesantren.
Meski ayahnya selalu melarang bekerja dan lebih fokus kuliah, namun setiap libur kuliah, Erfan meluangkan waktu untuk membantu ayahnya bekerja sebagai tukang pemasang plafon.
Terkadang jika tetangga dan familinya membuat rumah dan ayahnya diundang untuk memasang plafon, Erfan sering membantu, meski tanpa dibayar.
"Karena sering membantu itulah, Erfan akhirnya terampil memasang plafon," kata Fadili, paman yang kini menjadi teman kerja Erfan.
Ingin Tetap Kuliah
Kematian Marsuki dalam kasus carok akibat sengketa lahan itu tidak menyurutkan semangat Lukman Erfandi untuk melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi.
Pesan almarhum ayahnya untuk fokus kuliah, menjadi motivasi untuk tidak menyerah pada keadaan.
"Memang di awal-awal, saya sering kewalahan, sering tidak kuliah, demi mencari uang, menggantikan pekerjaan ayah," tuturnya.
Terkadang, Lukman harus mengabaikan kuliah, apabila banyak permintaan dari warga untuk memasang plafon. Hal ini pula yang membuat ia terpaksa harus mengulang mata kuliah perbankan syariah di kampusnya.
"Saya sudah pernah menghadap Pak Nashar (dosen) untuk mengejar ketertinggalan kuliah saya, tapi tidak bisa, karena saya memang jarang kuliah, bekerja demi keluarga," ucapnya.
Lukman mengaku, di sampang karena bekerja, yang juga menyebabkan ia jarang ikut kuliah, karena selama ini mengurus kasus ayahnya, terutama terkait dugaan rekayasa dalam penetapan tersangka, dari 10 orang hanya menjadi empat orang.
"Tapi Alhamdulillah saat ini sudah ada lembaga yang secara suka rela membantu melakukan pendampingan dalam kasus ini, yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Madura dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat STAIN," ujarnya.
Sehingga, sambung Lukman, dirinya lebih fokus mengatur waktu antara memasang plafon dengan jadwal kuliahnya di STAIN Pamekasan. Harapannya, pendidikan dia segera tuntas hingga menyandang gelar sarjana.
"Yang saya harapkan dari kasus carok yang telah menyebabkan ayah saya meninggal itu, keadilan hukum, bukan rekayasa hukum, seperti yang terjadi saat ini," kata kader HMI Komisariat STAIN Pamekasan ini.
Marsuki adalah putra pasangan Abdul Kadir dan Rusmiyati. Korban lainnya dalam peristiwa berdarah itu, Abdul Hannan yang juga paman dari Lukman Erfandi.
Sementara, korban carok Hannan adalah anak dari pasangan suami istri Adi alias P. Sukri dan Atmina. Pasangan Adi-Atmina ini dikaruniai lima orang anak, yaitu Sukri, Sappak, Moh Hasin, Mailah dan Hannan.
Pada peristiwa carok massal itu, jumlah pelaku carok sebanyak 10 orang. Mereka mengeroyok dua korban, yakni ayah Lukman Erfandi, Mursuki dan pamannya Abdul Hannan.
Carok terjadi di areal persawahan di Dusun Bates, Desa Pamoroh, Kecamatan Kadur, itu sekitar pukul 14.30 WIB.
Beberapa hari setelah kejadian, Kapolres Pamekasan (kala itu) AKBP Nanang Chadarusman merilis bahwa pelaku memang 10 orang. Mereka itu masing-masing bernama Sumanah, Budi, Sundari, Muhlis, Musa'i, Zainul, Umam, Muhammad, Bahrawi dan Lupat.
Namun, dari 10 nama yang terlibat, hanya empat di antaranya yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni Sumanah, Budi, Bahrawi dan Sundari.
Keempat pelaku carok itu dijerat dengan Pasal 340 subsider Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pembunuhan Berencana. Sedangkan enam orang lainnya dilepas, dengan alasan tidak cukup bukti.
Menurut Ketua YLBH Madura Sulaisi Abdurrazaq, pembebasan keenam pelaku lainnya dengan alasan tidak cukup bukti itu, janggal. Apalagi, kala itu, sebagian di antaranya menyerahkan diri ke polisi.
"Pertama, jika telah menyerahkan diri, itu menunjukkan bahwa mereka mengakui kesalahannya, dan ini memang menjadi kebiasaan pelaku carok di Madura," katanya.
Kedua, sambung dia, dasar polisi membebaskan pelaku lainnya itu tidak jelas. Sebab dalam KUHP, para pihak yang terlibat, memfasilitasi atau mendukung terjadinya tindak pidana juga masuk sebagai pelanggaran pidana.
Ketentuan yang mengatur hal itu, menurut dia, sebagaimana tertuang dalam Pasal 55, 56, 57 KUHP. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa, pelaku dapat dipidana karena sengaja memberi kesempatan, sarana, atau turut serta melakukan atau turut serta melakukan perbuatan.
"Ketentuannya sudah jelas. Memberikan kesempatan saja, apalagi turut serta dan bergabung dengan empat pelaku lainnya," katanya.
Dari fakta itu, pihaknya mencurigai adanya "rekayasa sistemik" dalam penetapan tersangka pelaku carok massal di Desa Pamoroh, Kecamatan Kadur, Pamekasan itu.
Apalagi dalam berbagai kesempatan persidangan di Pengadilan Negeri Pamekasan memang terungkap bahwa pelaku bukan hanya empat orang, termasuk keterangan saksi dari kepolisian.
Sejumlah tokoh masyarakat dan ulama Pamekasan juga sempat melayangkan protes terkait dugaan rekayasa penetapan tersangka carok massal itu.
Mereka masing-masing masing-masing pengasuh Pondok Pesantren Karang Anyar Desa Pamoroh, Kecamatan Kadur, KH Muhlis, Pesantren As-Syahidul Kabir, Desa Blumbungan, Kecamatan Larangan, KH Mundzir Kholil dan Pengasuh Pondok Pesantren Ummul Qura Assuyuty Desa Plakpak, Kecamatan Pegantenan, KH Lailurrahman, Lc.
Polisi sebenarnya telah berkomitmen untuk menyeret semua pelaku dan institusi ini mengakui bahwa semua pihak yang terlibat memang bisa terjerat pidana, sebagaimana disampaikan YLBH Madura.
"Kami telah menerjunkan tim ke lapangan, tapi kami mohon keluarga korban bersabar, karena penyidikan kasus ini, butuh proses," kata Kasat Reskrim Polres Pamekasan AKP Bambang Wijaya.
Carok antara warga Desa Pamoroh dengan warga Desa Bangkes, Kecamatan Kadur itu dipicu persoalan sengketa tanah sawah di Dusun Bates, Desa Pamoroh, Kecamatan Kadur, yang kini masih dalam proses penelitian di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pamekasan.
Budi dan Sumanah, serta korban Hannan dan Marsuki sama-sama mengklaim tanah itu miliknya. Bahkan, Hannan dan Marsuki mengaku memiliki bukti kepemilikan tanah itu.
Marsuki dan Hannan menggarap lahan itu, hingga akhirnya terjadi carok yang menyebabkan mereka berdua tewas.
Carok sengketa lahan itu, kini tidak hanya membuat Marsuki dan Hannan tewas, akan tetapi keluarga dari kedua orang itu, juga ikut merasakan dampaknya.
Penyelesaian masalah dengan cara kekerasan di sebagian wilayah di Madura masih terjadi. Selain penegakan hukum yang tegas, upaya preventif dan penyadaran bahwa carok telah membuat sengsara para korban, bukan merupakan penyelesaian masalah. Justru sebaliknya, menimbulkan masalah baru yang lebih rumit. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015