Surabaya (Antara Jatim) - Universitas Narotama Surabaya merintis pendirian Pusat Studi HAM ASEAN melalui kerja sama dengan Kementerian Luar Negeri guna menyongsong Komunitas ASEAN 2015. "Insya-Allah, Pusat Studi HAM ASEAN akan terbentuk di Narotama pada Maret 2014, karena pihak Kementerian Luar Negeri sudah mendukung," kata Ketua Prodi Ilmu Hukum Universitas Narotama Surabaya, Muhammad Saleh SH MH, di Surabaya, Kamis. Di sela-sela kuliah umum tentang "Supremasi Hukum dan Negara Hukum" oleh dosen senior Fakultas Hukum di Universitas Leiden, Belanda, Dr Adriaan Bedner, ia menjelaskan Pusat Studi HAM sebenarnya sudah banyak, tapi Pusat Studi HAM khusus ASEAN masih belum ada. "Kami fokus ke HAM ASEAN, karena kita akan menyongsong Komunitas ASEAN 2015. Masalah HAM di ASEAN itu cukup banyak, di antaranya diskriminasi di Myanmar, kasus Syiah di Jatim, dan masalah sipol ekosob (sipil politik dan ekonomi, sosial, dan budaya) lainnya," katanya. Namun, katanya, Pusat Studi HAM ASEAN yang didukung Rektor Universitas Narotama Hj Rr Iswachyu Dhaniarti DS ST dan belasan dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya akan mengawali langkah dengan melakukan pemberdayaan masyarakat di bidang "sipol ekosob". "Yang penting, masyarakat tahu hak dan haknya tidak dikebiri, karena itu kami akan bekerja sama dengan Kemenlu untuk melakukan sosialisasi tentang HAM guna memberdayakan masyarakat, lalu akan dikembangkan dengan riset dan akhirnya riset bersama di tingkat ASEAN," katanya. Dalam kuliah umum tentang "Supremasi Hukum dan Negara Hukum" di hadapan para dosen dan mahasiswa Universitas Narotama Surabaya, dosen senior Fakultas Hukum di Universitas Leiden, Belanda, Dr Adriaan Bedner, menjelaskan pentingnya keseimbangan hukum dan kekuasaan dalam suatu negara. "Kalau tidak ada keseimbangan antara hukum dan kekuasaan, maka pelanggaran HAM akan mudah terjadi, misalnya kasus Ahmadiyah di Indonesia menimbulkan pertanyaan, apakah pemerintah tidak berani mengintervensi atau pemerintah sengaja mendiamkan?," katanya. Oleh karena itu, katanya, hukum sebaiknya diaplikasikan dalam tiga cara yakni prosedur, subtansi, dan aplikasi, sehingga hukum tidak hanya tertulis dengan baik, tapi juga dilaksanakan dengan baik pula. Sementara itu, dosen hukum internasional dan konstitusi di Strathmore Law School (SLS) Nairobi, Kenya, Afrika, Dr Luis Franceschi LL.B LL.M LL.D menegaskan bahwa media memiliki fungsi sebagai pemberi informasi untuk publik dan sebagai penyampai nilai dan warisan sosial budaya kepada masyarakat. "Jadi, media mudah membentuk persepsi masyarakat dan karakter publik dengan informasi yang diberikan. Pengaruhnya sangat besar terhadap cara pandang, pengetahuan maupun sikap masyarakat mengenai sebuah kondisi. Media juga memiliki fungsi kontrol yang mampu membuat masyarakat memilih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu," katanya. Saat memberikan seminar mengenai "Media dan Etika" di hadapan sivitas akademika Universitas Katholik Widya Mandala Surabaya (30/9), ia mengajak untuk mencermati beberapa skandal media internasional, termasuk di Indonesia yakni skandal "Penyiraman Air oleh Munarman selaku Juru Bicara FPI ke Thamrin Tomagola pada saat siaran langsung TV-One". "Dengan fungsi pembentuk persepsi masyarakat dan karakter publik itulah, maka media massa perlu memiliki etika untuk mengendalikan berita dan orang-orang agar tidak bertindak mirip senapan mesin yang mematikan, apalagi dalam era virtual saat ini, yang semua komunikasi berlangsung sangat cepat dan efisien," katanya. Franceschi menyebutkan enam karakter yang penting untuk pemimpin (media massa) yang baik (virtuous leader), yakni Prudence (kebijaksanaan dalam mengambil keputusan), Courage (keberanian), Self Control (pengendalian diri), Justice (rasa keadilan bukan karena dendam), Magnanimity (kemurahan hati), dan Humility (kerendahan hati). (*)

Pewarta:

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013