Oleh Dr Suharjono MS Apt *)
Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia ramai membicarakan dugaan penyalahgunaan narkoba jenis baru katinon (Cathinone) yang ditemukan dari hasil investigasi barang bukti yang ditemukan di rumah artis RA.
Perdebatan muncul karena senyawa ini dianggap baru yang belum diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika maupun UU Nomor 35 Tahun 2007 tentang Narkotika.
Sebelumnya, perdebatan senyawa baru narkoba juga sudah pernah terjadi saat UU 5/1997 tentang Psikotropika belum terbit. Saat itu, senyawa baru narkoba juga terkuak dari kasus kematian artis A pada tahun 1995 bahwa kematiannya diduga karena morfin, heroin, barbiturat dan lain-lainnya.
Saya masih ingat pada waktu itu ada sejawat dari laboratorium kepolisian juga menanyakan senyawa apa. Akhirnya, setelah dilakukan pemeriksaan di laboratorium yang cukup lama ternyata dipastikan adalah MDMA (methylenedioxymethamphetamine) atau yang kita kenal dengan nama Ecstasy atau XTC yang awal tahun 1995 mulai ramai disalahgunakan.
Sediaan ilegal XTC pada waktu itu diperjualbelikan dan disalahgunakan oleh kalangan tertentu, terutama yang datang di diskotek atau kafe untuk ajojing dari malam sampai pagi. Konsumennya merupakan orang yang kaya, karena harga per tablet sangat mahal. Karena dibuat oleh pabrik gelap yang tidak memenuhi standar sehingga kasus keracunan atau meninggal karena XTC cukup banyak.
Bahkan LSD jenis psikotropika halusinogen dibuat dengan merk Black Heart waktu itu dijual sebagai jenis XTC yang banyak memakan korban. XTC tablet pada waktu itu ada kurang lebih sudah ada 20-30 jenis bentuk tablet yang umumnya dari hasil penyelundupan pabrik ilegal yang diisukan masuk dari Belanda dan negara lainnya ke Indonesia dan dipasarkan terutama di diskotek secara ilegal pula, lalu muncul juga turunannya Methylenedioxyethamphetamine (MDEA atau Eva).
Pada sidang kasus di pengadilan, pengguna XTC pada waktu itu sulit dijerat sanksi pidana, baik sebagai pengguna, pengedar, dan sebagainya, karena masih berdasar UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, sedangkan UU Psikotropika belum ada, sehingga kurang kuat sanksi hukum pidananya. Dulu, hanya ada peraturan dari Menteri Kesehatan tentang Obat Keras Tertentu untuk mengatur peredaran dan pengawasan Psikotropika.
Akhirnya, DPR dan pemerintah mengeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971) tahun 1996.
Dalam UU Psikotropika itu, MDMA masuk dalam daftar obat golongan I dan MDMA pada Revisi UU Narkotika dimasukan dalam golongan Narkotika nomor I. Artinya, obat itu tidak digunakan untuk tujuan pengobatan karena sangat berbahaya dan dapat menyebabkan ketergantungan psikis dan fisik, serta ilegal untuk dibuat, diedarkan, dijual, digunakan dan disalahgunakan. Namun, obat itu masih diizinkan apabila untuk keperluan riset atau pengembangan ilmu pengetahuan.
Bahkan, dalam lampiran Golongan I UU Narkotika juga memasukkan banyak nama-nama obat golongan psikotropika golongan I seperti Katinon dan Metkatinon dan senyawa lain turunan amfetamin/halusinogen.
Jadi, senyawa aktif yang ditemukan dari barang bukti temuan BNN di rumah RA sebenarnya mendekati sama dengan yang ada di UU Narkotika maupun UU Psikotropika, karena dari tinjauan aspek farmasi-medis obat baru ini memiliki mekanisme kerja yang segolongan dan efek samping yang serupa. Memang, peraturan UU Psikotropika 1997 maupun UU Narkotika 2009 tidak menyebut "Katinon dan turunan/derivatnya".
Banyak Turunan Baru
Kalau Anda melakukan "browsing" di internet, maka Anda akan menemukan banyak senyawa baru, baik dari tanaman maupun sintetik kimia. Misalnya Katinon yang diperoleh dari daun Catha edulis (Khat) yang di wilayah Afrika Utara banyak ditemukan tanamannya dan daunnya secara legal di sana dikunyah seperti makan sirih agar tidak mengantuk dan bisa menahan lapar.
Demikian juga, daun ganja di wilayah Aceh biasa digunakan sayur lalapan untuk makan. Namun di beberapa negara selain di wilayah Afrika Utara, tanaman itu tidak bisa tumbuh, sehingga yang diatur adalah zat kandungannya Katinon dan turunannya yang dapat dibuat secara sintetik kimia.
Dari referensi ilmiah, turunan katinon ada beberapa misalnya metilon (diduga digunakan artis RA), metedron, butilon, mefradon, fluormetkatinon, metilendioksipirovaleron, metilendiosimetkatinon, dan sebagainya.
Katinon dan turunannya di AS dan Inggris termasuk obat golongan I yang dilarang untuk diedarkan dan digunakan. Secara struktur kimia, katinon dan amfetamin ada kemiripan dengan struktur efedrin maupun pseudoefedrin.
Tahun 1912, XTC sudah dapat disintesis oleh pabrik farmasi Merck di Jerman, sedangkan Mefedron disintesis tahun 1933. Pada waktu itu, XTC secara legal digunakan stimulan agar tubuh tetap segar, tidak mengantuk dan penekan nafsu makan.
Namun, senyawa baru ini (designer drugs) sejak akhir dan awal tahun 2000 mulai banyak disalahgunakan, terutama munculnya bisnis hiburan seperti diskotek, kafe yang merupakan sasaran peredaran narkoba baik mulai dari obat penenang untuk bisa tidur maupun stimulan agar kuat begadang dan ajojing.
Jika benar turunan katinon juga sudah mulai digunakan di Indonesia, maka psikotropika dan narkotika (narkoba) yang dilaporkan pernah dan masih disalahgunakan adalah Metamfetamin (Sabu-Sabu), XTC, Kokain, Morfin, Heroin (Putau), ganja, katinon, metkatinon.
Ada pula, obat golongan penenang (pil koplo), misalnya nitrazepam, klonazepam, flunitrazepam, bromazepam, klozapin juga karisoprodol, triheksilfenidil dan dekstrometorfan.
Dari uraian di atas mungkin di masa mendatang akan masuk ke Indonesia turunan narkoba baru yang lain yang perlu diketahui dan diwaspadai.
Upaya Mengurangi Peredaran
Peningkatan penyalahgunaan obat psikotropika ini disebabkan mudahnya peredaran obat terlarang ini, termasuk adanya pabrik gelap (klandestin), baik di luar negeri maupun dalam negeri yang sulit diketahui keberadaannya, penawaran obat ilegal ini lewat internet, bahkan prosedur sintesis obat ini secara lengkap bisa diakses di internet.
Selain itu, lemahnya pengawasan oleh aparat bea cukai atau yang terkait untuk mengawasi masuknya obat ini atau masuknya bahan "precusor" ke Indonesia, sanksi pidananya yang masih ringan, kurangnya peran masyarakat dalam mengawasi/melaporkan peredaran dan penggunaan dan penyalahan narkoba kepada aparat berwenang, kurangnya penyuluhan kepada masyarakat, terutama generasi muda (sekolah/karang taruna) akan bahaya penyalahgunaan narkoba.
Dari uraian penyebab di atas, kiranya upaya pencegahan dan penegakan hukum harus dilaksanakan tegas, segera dan seadil-adilnya, terutama pada pengimpor, pembuat, pengedar. Jangan lagi lembaga pemasyarakatan sebagai lokasi pabrik ilegal (klandestin).
Untuk membuktikan pengguna, biasanya diambil sampel urin, namun bisa juga digunakan sampel lain misalnya darah, saliva maupun rambut. Hanya saja sampel urin, darah dan saliva harus segera diambil pada saat penangkapan pengguna. Karena makin lama menunda pengambilan sampel untuk barang bukti makin kecil kadar obat dan metabolitnya yang ditemukan. Karena organ liver akan mengubah narkoba yang dikonsumsi menjadi metabolit yang struktur kimianya mungkin sangat berbeda dengan senyawa induknya.
Untuk mengelabui sampel urin agar negatif waktu dilakukan "screening" dengan metode cepat memakai reagen kit, bisa juga sampel urin ditambah dengan enzim papain yang akan bisa merusak enzim dalam reagen kit agar deteksi menjadi negatif, sedang golongan efedrin, pseudoefedrin yang merupakan obat legal untuk obat asma maupun pilek bisa mengganggu pemeriksaan reagen kit untuk golongan amfetamin seperti Sabu-Sabu (metamfetamin).
Bila dalam hasil "screening" awal sudah positif baru dilakukan pemeriksaan lanjut menggunakan alat yang lebih akurat, misalnya HPLC/GC/GC-MS untuk memastikan apa benar dugaan menggunakan narkoba yang terlarang. Juga, diperlukan senyawa standar sebagai pembanding untuk memastikan pemeriksaan.
Jadi, kita harus mewaspadai obat narkoba baru yang akan muncul di masa mendatang. Mungkin perlu diantisipasi agar bila nantinya ada revisi UU narkotika ataupun Psikotropika perlu disebutkan dalam lampiran tentang turunan atau derivat sehingga tidak terjadi beda pendapat kajian hukum.
Kajian telaah ilmiah aspek farmasi-medis bisa membantu kajian ilmiah aspek hukum kasus senyawa baru narkoba katinon dan turunannya pada aturan yang sebenarnya. Aparat hukum yang terkait baik dari kepolisian/BNN/hukum/ bea cukai/Badan POM/Kemenkes/organisasi profesi/kemasyarakatan, perlu berkoordinasi untuk memerangi peredaran narkoba yang terlarang dan ilegal. (*)
-----------
*) Penulis adalah dosen Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya dan pengelola Pusat Informasi Obat (PIO) Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013