Surabaya - Diakui atau tidak maraknya konflik di tengah-tengah masyarakat dalam beberapa tahun terakhir itu patut diduga ada kontribusi media massa. Bisa jadi, media massa tidak dapat dipersalahkan, karena jurnalis hanya melaporkan fakta yang terjadi dan jurnalis juga hanya memindahkan pernyataan narasumber dalam bentuk tulisan. Namun, melaporkan fakta atau memindahkan pernyataan narasumber agaknya tidak cukup untuk informasi yang sifatnya asimetris, sebab informasi yang apa adanya seperti "Syiah sesat" justru akan "meramaikan" konflik. "Untuk isu-isu keberagaman tidak cukup hanya dengan melaporkan fakta dan pernyataan narasumber yang ada, tapi perlu kerja intelektual," kata dosen Fisip UI Dr Ade Armando MSc di Surabaya. Dalam workshop jurnalis untuk "Isu Keberagaman" yang digelar Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (Sejuk), AJI Cabang Surabaya, dan The Asia Foundation (24-25/11), ia menilai perlu "bion pewarta" (wartawan periset) untuk melaporkan isu keberagaman seperti Syiah, Ahmadiyah, dan lainnya. "Misalnya, ada pernyataan narasumber bahwa Syiah itu sesat, maka bion pewarta akan meriset data tentang Syiah yang sudah lama ada di Indonesia dan tidak ada masalah, bahkan dunia menyimpulkan Syiah tidak sesat. Itu akan menjadi pembanding penting," katanya. Di hadapan 36 jurnalis peserta workshop yang juga menampilkan testimoni dari pemeluk Syiah Sampang dan intelektual muda Muslim Ulil Abshar Abdalla itu, mantan anggota KPI itu menjelaskan kerja intelektual itu antara lain riset data. "Isu-isu keberagaman tidak cukup hanya diliput secara pelaporan, karena banyak informasi dari narasumber yang bersifat bias dan bahkan menyimpang untuk kepentingan tertentu, karena itu isu-isu keberagaman memerlukan wartawan yang bukan hanya pelapor, melakukan 'bion pewarta'," katanya. Apalagi, kata mantan pekerja media itu, media massa secara umum masih melihat kekerasan adalah berita, karena itu diperlukan cara yang tidak normal atau kerja intelektual untuk "menyuarakan orang-orang yang tidak punya suara". Dalam kesempatan itu, pemeluk Syiah Muhammad Zaini menyatakan setuju dengan "wartawan intelektual" karena fakta yang ada di Sampang menunjukkan wartawan memelintir informasi yang mungkin akibat ketidaktahuannya. "Misalnya, ada orang Syiah yang mengatakan bahwa dia mengakui 12 imam selain 25 nabi, namun wartawan justru menulis bahwa pemeluk Syiah itu hanya mengakui 12 nabi, padahal kami mengakui 12 imam dan 25 nabi," katanya. Didampingi kuasa hukum komunitas Syiah di Sampang, Faiq Assiddiqi SH, pemeluk Syiah lainnya, Muhlis, mengaku ada fakta lama yang penting diungkap bahwa komunitas Syiah dan Sunni di Sampang sebelumnya sering melakukan kegiatan bersama. "Namun, Sunni-Syiah di Sampang akhirnya tidak saling menyapa setelah ada fatwa sesat dari MUI dan ulama Basra. Jadi, orang bisa saja mengatakan ada masalah Ustaz Tajul Muluk dengan adiknya Rois Alhukama, tapi fatwa sesat juga merunyamkan masalah," katanya. Hal itu dibenarkan intelektual muda Muslim Ulil Abshar Abdalla. "Ahmadiyah, Syiah, dan sejenisnya hanya perbedaan tafsir agama yang tidak dapat dikategorikan sebagai penodaan agama. Penodaan agama itu lebih pada 'hate speech' (syiar kebencian), jadi kalau hanya beda tafsir itu bukan penodaan, tapi kalau ada yang mengencingi kitab suci itulah penodaan," katanya. Agaknya, fakta itu menunjukkan Sunni-Syiah di Sampang sesungguhnya tidak ada masalah dalam kurun waktu yang lama, namun ada pihak yang tanpa sadar membuat masalah menjadi runyam, termasuk media massa sendiri yang salah kutip akibat ketidaktahuannya. Mirip Bukan Sekolahan Dalam konteks yang sama, tapi dengan contoh yang berbeda, dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta Dr Phil Dewi Candraningrum melontarkan kritik pada media massa dalam peliputan kaum perempuan. "Media massa belum melihat perempuan sebagai sosok perkasa, misalnya Angelina Sondakh bukan diliput kejahatannya yang tidak patut ditiru, tapi justru warna tas, perilaku dalam sidang atau di penjara, atau siapa pacarnya," ucapnya. Bagi alumnus Universitas Muenster, Jerman itu, media massa masih terjebak dalam "seksualitas keberhasilan" dengan menampilkan perempuan secara gosip. "Cara media massa seperti itu sama halnya dengan 'memory collective' terkait gambaran perempuan dalam masyarakat. Itu mirip seperti wartawan itu bukan orang sekolahan saja, padahal media massa tentu bukan begitu," tukasnya. Namun, buktinya, cantik dalam "memory collective" adalah paras, kosmetik, fesyen, dan "tampak luar" lainnya dan hal itu pula yang diliput media massa, padahal cantik perlu diberi makna "perkasa" yakni cantik adalah pintar, cantik adalah sehat, cantik adalah positif, dan sebagainya. "Dalam risetnya pada tahun 1991, Orbach menyimpulkan 70 persen media massa masih fokus pada imaji kecantikan ketimbang pendidikan dan karier perempuan yang hanya 12 persen," paparnya. Peneliti dari "Jurnal Perempuan" itu menyimak kacamata "memory collective" itu pula yang membuat media massa melakukan kesalahan dalam memaknai PSK, janda, Ahmadiyah, Syiah, dan sebagainya. "Kalau media massa tidak terjebak pada 'memory collective', maka media massa tidak akan fokus pada kata PSK dengan unsur negatif lainnya, padahal kalau media massa mau fokus pada siapa yang mendatangkan PSK itu (germo), maka media massa tidak akan melihat perempuan sebagai pelaku, tapi ada banyak perempuan yang menjadi korban bernama PSK yang sebenarnya bukan cita-cita mereka," ulasnya. Kata Syiah adalah contoh lain. "Media massa jangan terjebak pada perbedaan, tapi lacaklah sejarah Syiah yang sudah lama ada dan sejak dulu tidak ada masalah, lalu sodorkan pada publik tentang masalah yang terjadi sebagai masalah baru," timpalnya. Oleh karena itu, pemerhati masalah gender itu mengajak media massa untuk tidak terjebak dalam sebuah kata/istilah secara negatif, namun media massa harus mampu menjadi "periset" yang melacak makna kata yang ada guna menyampaikan kepada masyarakat secara netral dan bukan tendensius. Lain halnya dengan aktivis/pegiat HAM Asfinawati SH yang sering menjadi pendamping korban dalam kasus-kasus keberagaman seperti Lia Eden, Syiah Sampang, dan sebagainya, karena isu-isu keberagaman yang membawa konsep HAM itu sering dituduh sebagai "alat" Barat untuk memberangus agama. "Kalau kita menelusuri konsep HAM, terbukti HAM itu bukan produk Barat seperti diduga orang, sebab konsep HAM itu dirancang Komite HAM yang terdiri dari Eleanor Roosevelt (AS), Peng-Chun Chang (RRC), Charbes Habib Malik (Lebanon), dan sebagainya," katanya. Tidak hanya itu, HAM juga tidak memberangus agama, sebab HAM itu justru melindungi orang beragama dan hal itu juga berarti melindungi agama. HAM itu mengatur kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama dalam dua kegiatan yakni menetapkan (memilih) dan menjalankan/manifestasi (ibadah, pentaatan, amalan, dan ajaran). "Kalau memilih agama atau keyakinan itu tidak dapat dibatasi dan bila dibatasi berarti melanggar HAM, namun kalau manifestasi itu bisa dibatasi, bahkan pembatasan itu pun dengan dua syarat yakni diperlukan dan dilakukan melalui hukum atau undang-undang. Jadi, HAM tidak memberangus agama, melainkan justru melindungi," katanya. Agaknya, "bion pewarta" atau "jurnalis periset" untuk isu-isu keberagaman itu merupakan cara cerdas untuk mewartakan dan sekaligus menepis kecurigaan tanpa ujung atau menghentikan konflik keberagaman tanpa akhir, sebab media massa itu memang berkontribusi dalam mengendalikan pikiran massa. (*)
Cara Cerdas Meliput Isu-Isu Keberagaman
Kamis, 29 November 2012 21:01 WIB