Surabaya (Antara) - ISIS merupakan ancaman NKRI adalah gambaran paling mudah untuk menunjukkan bahwa paham radikal "Islamic State of Iraq and Syria" (ISIS) yang menggagas Negara Islam itu tidak layak untuk negeri semajemuk Indonesia. Namun, gambaran itu tidak secara otomatis bisa menjadi argumentasi untuk melawan ISIS dengan menghalalkan segala cara, karena cara-cara yang tidak cerdas justru akan menjadi kampanye gratis untuk gerakan radikal yang berdiri mulai tahun 2006 itu. Apalagi, gerakan radikal yang didirikan Abu Umar Albaghdadi dan dilanjutkan oleh penerusnya Abu Bakar Albaghdadi itu sangat piawai "memainkan" media sosial, termasuk dengan cara-cara mendaku (klaim) untuk menunjukkan kebesarannya kepada publik media sosial. Oleh karena itu, langkah PW Ikatan Sarjana NU (ISNU) Jatim "membedah" ISIS dalam Forum Tabayyun ISNU bersama Zainal Azis Lc MA (mantan Humas Kedubes RI di Syria), Novri Susan PhD (sosiolog Unair/ahli manajemen konflik), dan Sekretaris PWNU Jatim A Muzakki PhD di Surabaya (10/8), sangat penting untuk "memetakan" masalah. "Awalnya, seorang majelis syuro jihadis (pimpinan relawan jihad) di Irak, Syeikh Jarqowi, menghimpun para relawan jihad untuk menentang rezim yang pro-AS pada tahun 2006, lalu masuklah Abu Umar Albagdhadi dengan Tentara Aswaja-nya, tapi bukan seperti Aswaja ala NU," kata mantan Humas Kedubes RI di Syria, Zainal Azis Lc MA, dalam forum itu. Kondisi itu membuat AS melakukan operasi penangkapan kelompok radikal hingga Abu Umar Albagdhadi meninggal dunia, lalu kepemimpinan Tentara Aswaja digantikan oleh Muhajir dan Abu Bakar Albaghdadi (Ibrahim Albadri) yang akhirnya mengubah "Tentara Aswaja" menjadi "Islamic State of Iraq" (ISI). Dalam kondisi itulah, tujuan Syeikh Jarqowi untuk menentang rezim Iraq pun mulai dimasuki berbagai kepentingan, apalagi seiring adanya ISI itu justru banyak "jihadis" (relawan jihad) asing yang masuk ke Irak dari berbagai negara, seperti Pakistan, Turki, termasuk Indonesia. "Banyaknya para jihadis asing dengan berbagai kepentingan itu justru membuat terjadi pertikaian antar-pemberontak yang berjumlah 15 faksi untuk berebut ladang minyak yang hasilnya justru dijual kepada rezim Irak untuk membeli senjata," katanya. Hingga kini, ISIS memang paling kuat, karena menguasai 60 persen wilayah Irak dan 20 persen wilayah Syria. "Tapi, rakyat Irak dan Syria yang menjadi korban, karena rakyatnya miskin, sedangkan para pemberontak itu kaya-kaya. Informasinya, ISIS sekarang memiliki dana 200 miliar dolar AS dan 500 dolar AS berupa batangan emas," katanya. Oleh karena itu, sulit dipercaya kalau ISI yang sekarang berkembang hingga ke Syria menjadi ISIS itu merupakan 'boneka' AS, karena tujuan berdirinya justru menentang rezim yang didukung AS, bahkan pendiri ISI Abu Umar Albaghdadi justru tewas akibat "operasi" AS. "Tapi, mungkin ada kerja sama antara AS dengan ISIS untuk kepentingan yang sama yakni penguasaan ladang minyak. Bukti lain yang mengherankan adalah Sunni-Syiah di Syria yang semula rukun itu tiba-tiba berkonflik," katanya. Untuk itu, ia menilai ISIS harus disikapi secara ideologi, meski mereka juga suka kekerasan. Secara ideologi, ISIS itu sama dengan Alqaidah yang memiliki 17 pedoman, di antaranya "jihadi takfiri salafi" atau berideologi jihad atau perang (jihadi), mudah mengkafirkan kelompok lain (takfiri), dan penganut Ibnu Taimiyah (salafi). "Jadi, ISIS adalah masalah ideologi, karena itu mereka harus dihadapi dengan penguatan ideologi. Untuk itu, Aswaja Center harus dikembangkan dimana-mana," katanya. Bahkan, di Lebanon ada Aswaja Center berlantai empat untuk supermarket (pasar swalayan), ruang diskusi, ruang media, dan lantai atas untuk perpustakaan, sehingga kegiatan pada gedung berlantau empat itu dibiayai dengan 'keuntungan' supermarket itu. "Soal kekerasan, ya serahkan kepada pemerintah dan TNI/Polri, misalnya mencabut status kewarganegaraan WNI yang masuk ISIS. Ada juga klaim kelompok radikal ISIS Regional Indonesia yang tidak suka kekerasan, tapi ideologi ISIS itu hakekatnya sama," katanya. Tiga Cara Pandangan Zainal Aziz itu dibenarkan Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur A Muzakki PhD yang berbicara dalam forum yang sama. "ISIS merupakan ideologi yang mudah mengkafirkan orang lain, karena itu kami akan lebih memperkuat 'Aswaja Center' di daerah-daerah dan juga melalui lembaga pendidikan milik NU untuk memasyarakatkan ideologi Aswaja," katanya. Selain itu, ISIS juga memiliki basis material yang kuat, karena mereka menguasai ladang-ladang minyak di Irak dan Syria. Untuk itu, PWNU Jatim akan memperkuat basis ekonomi warganya melalui toko-toko komunitas ala bazar agar warganya tidak mudah dirayu kelompok radikal. "Kami juga menjalin kerja sama dengan pemerintah, TNI/Polri, dan organisasi kemasyarakatan lainnya untuk menyikapi ISIS sebagai 'ancaman' bagi NKRI. Jangan bicara soal teori konspirasi, tapi mereka jelas menjadi ancaman NKRI," katanya. Menurut dosen UIN Sunan Ampel Surabaya itu, munculnya radikalisme itu sebenarnya merupakan "anak kandung" dari demokrasi. "Artinya, kelompok radikal Indonesia itu sebenarnya ada tapi mereka tiarap dengan 'tidur' di Malaysia dan akhirnya tampil di permukaan saat ada demokrasi di Indonesia," katanya. Secara nasional, pintu masuk ISIS yang merupakan jaringan Alqaidah itu ada tiga yakni Jawa Barat bagian selatan, Solo, dan eks-daerah konflik seperti Poso. "Untuk pintu masuk ISIS di Jatim ada tiga titik yakni Malang, Ngawi, dan Lamongan. Di Jatim, jumlahnya 50-60-an, tapi mereka pandai memanfaatkan media sosial, meski hanya main klaim," katanya. Namun, mereka dalam kondisi 'tiarap' maupun 'tampil' tetap menggunakan "pertarungan media sosial" untuk meracuni anak-anak muda yang tidak tahu dialektika keagamaan dalam bingkai kebangsaan yang menjadi "masa lalu" selama bertahun-tahun di Indonesia. "Buktinya, pentolan ISIS di Indonesia, Muhammad Fahri, merupakan mitra Abu Jibril (teroris) dalam membuat media online 'arrahman.com' dan juga memanfaatkan jejaring media sosial untuk membuat anak-anak muda yang 'jauh dari masa lalu' itu menjadi familiar dengan ideologi radikal dalam 10 tahun ke depan," katanya. Sementara itu, sosiolog Unair Novri Susan PhD menegaskan bahwa perkembangan ISIS itu memang patut dicurigai ada "kerja sama" dengan AS, karena AS terlihat tidak tegas dengan ISIS. "Kemungkinan itu ada, meski AS sendiri memiliki agenda yang berbeda dengan mereka, karena itu saya setuju kalau di Indonesia disikapi dengan dialektika ideologi. Kalau bisa tantang mereka berdialog dalam ruang-ruang publik agar masyarakat juga tahu mereka," katanya. Selain itu, pemerintah juga perlu mewaspadai beberapa jurusan pada universitas yang tidak suka dengan perbedaan pendapat. "Ada kampus-kampus atau jurusan-jurusan yang potensial dimasuki ISIS, karena tidak ada ruang perbedaan pendapat di sana," katanya. Menyikapi ISIS, Sekretaris ISNU Jatim M Dawud menyatakan ISNU mendukung sikap PWNU Jatim terkait ISIS. "Kami mendukung PWNU dan siap membantu PWNU dalam beberapa hal terkait ISIS," katanya. Berdasarkan "pemetaan" dalam Forum Tabayyun ISNU Jatim itu agaknya ISIS yang suka menghancurkan situs sejarah Islam itu perlu disikapi secara cerdas, sebab Allah SWT saja membangun Ka'bah sebagai "rumah" karena menyadari bahwa manusia itu membutuhkan arah, arahan (pedoman), formalitas, dan "pusat" persatuan, bukan menyembah Ka'bah. Setidaknya, ada tiga cara cerdas menyikapi ISIS yakni mengoptimalkan pemanfaatan jejaring media sosial untuk memperbanyak dialektika ideologi (Aswaja), mengedepankan hukum untuk mengatasi ancaman makar terhadap NKRI, dan mengembangkan "Aswaja Center" pada berbagai lapisan masyarakat. (*)
Cara Cerdas Melawan ISIS
Rabu, 13 Agustus 2014 8:43 WIB