Musim Haji yang Tak Pernah Berbeda
Jumat, 21 September 2012 13:06 WIB
Islam itu milik Indonesia. Begitulah seharusnya, kalau kita melihat calon haji (calhaj) yang berangkat tahun ini, yang jumlahnya dari data di Kementerian Agama mencapai 211 ribu calhaj, tertinggi dibandingkan dengan calhaj dari negara lainnya di dunia.
Jumlah calhaj 2012 itu, tidak terpaut jauh dengan jumlah calhaj di tahun-tahun sebelumnya. Belum lagi, umat Islam Indonesia yang datang secara bergelombang melaksanakan ibadah Umroh ke Tanah Suci yang mengambarkan minat masyarakat dalam menunaikan rukun Islam ke lima itu cukup tinggi.
Jumlah calhaj Indonesia yang selalu menjadi juara bertahan setiap musim haji, pernah disampaikan seorang kolumnis Jacob Vredenbregt, yang menulis, jumlah calhaj asal Indonesia selalu mendominasi dibandingkan dengan calhaj asal negara lainnya, sejak akhir abad XIX hingga awal abad XI.
Lihat saja data dari Kementerian Agama menyebutkan, calhaj yang masuk daftar tunggu hingga tahun 2012 mencapai 1,9 juta jiwa, yang mengakibatkan warga yang berangkat haji harus menunggu belasan tahun.
Jumlah itu, sangat dimungkinkan masih akan terus bertambah, apalagi berbagai kemudahan dalam mendaftar haji bisa diperoleh, misalnya dengan adanya kebijakan dana talangan.
"Di Bojonegoro calhaj harus menunggu 12 tahun, bahkan di daerah lain di Indonesia, bisa lebih," kata Kasi Penyelenggara Haji dan Umroh Kementerian Agama Bojonegoro Wachid Priyono.
Meskipun harus menunggu belasan tahun, ternyata tidak menyurutkan umat Islam Indonesia mendaftar haji, dengan berbagai motivasi yang ada.
Contohnya di Bojonegoro, seorang anak berusia delapan tahun ikut masuk dalam daftar tunggu calhaj, dengan perhitungan ketika usianya mencapai 20 tahun, sudah bisa berangkat haji.
Membeludaknya calhaj asal Indonesia dari tahun ke tahun itu, menjadikan para pedagang di Madinah maupun Mekkah, hampir semuanya mahir berbahasa Indonesia atau paling tidak mereka menguasai satu dua patah kata Bahasa Indonesia, terutama menyangkut nilai rupiah atau riyal atas barang dagangannya.
Menguasai Bahasa Indonesia, sedikit saja, itu sudah cukup, yang berarti bagi para pedagang di Arab Saudi, sama dengan "ane dapat fulus". Berbeda dengan pandangan Pemerintah yang mulai "ketir-ketir", melihat perkembangan tingginya minat umat Islam Indonesia berangkat haji, sementara meminta tambahan kuota haji dengan jumlah yang signifikan kepada Pemerintah Arab Saudi, kurang berhasil.
Seperti disampaikan Dirjen Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah Kemenag, Anggito Abimanyu baru-baru ini, Pemerintah bertekad mengkaji ulan sistem dana talangan dan mengampanyekan berhaji sekali seumur hidup. Namun, perlukah dana talangan dihapus? Berbagai pendapat bisa beragam, bagi mereka yang sudah pernah berangkat haji bisa dipastikan tidak peduli, toh mereka bisa berangkat umroh.
Sebaliknya, bagi mereka yang belum pernah berangkat haji, dan memiliki dana terbatas, penghapusan kebijakan dana talangan cukup menyulitkan niat mereka berangkat haji. Terlepas dari dana talangan, barangkali perlu dikaji pendapat Seorang Santri Pascasarjana Studi Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, K. Muhammad Hakiki, M.A, di dalam blognya.
Ia menulis, motivasi umat Islam Indonesia di zaman dulu dalam menunaikan ibadah haji di antaranya, sebagai legitimasi politik. Lainnya, dan Mekkah dan Madinah pun dijadikan tempat untuk mencari ilmu atau "ngelmu" dalam berbagai disiplin ilmu seperti, fikih, tasawuf, tafsir, hadits, dan lain-lainnya.
Ibadah haji yang dilakukan orang Indonesia sekarang disamping sebagai tuntutan syariah bagi yang mampu, tak jarang di antara mereka ada yang melakukannya hanya untuk wisata spiritual, peningkatan strata sosial dari yang buruk, mudah-mudah-an menjadi baik dengan tambahan "titel" haji.
Bahkan dan hal ini terasa aneh, ibadah haji kerapkali dijadikan sebagai tempat ajang bisnis menggiurkan. Hal ini bisa dilihat dengan menjamurnya yayasan yang menyediakan jasa perjalanan haji dengan berbagai paket-paket servis hemat yang memuaskan.
"Meskipun begitu tak sedikit di antara mereka masih ada yang mempunyai ketulusan niat hanya semata-mata untuk mencari keridhoan Allah yakni untuk meraih titel haji mabrur yang ganjarannya adalah surga," paparnya.
Barangkali perlu menjadi renungan pendapat yang disampaikan Ketua Panti Asuhan Yatim di Bojonegoro Abdul Wahid yang menyatakan, bagi kebanyakan umat Islam Indonesia, sebenarnya berangkat haji belum menjadi kewajiban kalau melihat jumlah warga miskin yang ada di Tanah Air.
"Saya tidak terlalu yakin orang yang berangkat haji tiga sampai empat kali, merupakan haji mabrur," ucapnya, dengan nada lirih. (Slamet Agus Sudarmojo) (*).