Benjamin Lumantarna: Rumah Tradisional Lebih Tahan Gempa
Jumat, 14 September 2012 21:44 WIB
Surabaya - Guru Besar Teknik Sipil yang pertama di Kopertis VII Prof Dr Benjamin Lumantarna menegaskan bahwa rumah tradisional lebih tahan gempa dibandingkan dengan bangunan yang ada sekarang.
"Itu karena sistem pondasi yang digunakan rumah tradisional bukan 'coloum' yang ditanam, tapi 'coloum' di atas batu," kata ahli struktur bangunan Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya itu, Jumat.
Ia mengemukakan hal itu di sela-sela "The Benjamin Lumantarna Symposium on Structural Engineering and Construction Technology" di kampus setempat yang dihadiri 250-an orang para kolega, baik guru, teman, maupun muridnya.
"Sistem pondasi dengan coloum tidak ditanam itu membuat rumah lebih tahan gempa, karena gempa yang melanda hanya membuat rumah bergeser, bukan pecah atau roboh," katanya.
Selain itu, katanya, rumah tradisional umumnya terbuat dari kayu, sehingga bahan baku yang dipakai pun aman.
"Tapi, Surabaya sendiri relatif aman dari potensi gempa, kecuali sedikit," katanya.
Dalam simposium yang diadakan sebagai persembahan atas jasa Prof Benjamin Lumantarna terhadap Jurusan Teknik Sipil UKP itu, sejumlah kolega datang dari Amerika, Australia, China, Jepang, dan sebagainya.
Doktor Permukiman Tropis
Sebelumnya (13/9), dosen ITS Bonifasius Heru Santoso Soemarno dinobatkan sebagai doktor pada jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITS Surabaya, berkat penelitian di bidang permukiman.
"Permukiman padat identik dengan kondisi yang panas dan tidak nyaman," kata penulis disertasi bertajuk 'Pengendalian Panas Bangunan pada Lingkungan Permukiman Kota Berkepadatan Tinggi yang Tidak Teratur di Dataran Rendah Tropis Lembab' itu.
Pria kelahiran Surakarta, 17 September 1966, itu memaparkan adanya kesenjangan antara teori dan fakta. "Saat ini belum ada teori yang memaparkan kondisi campuran antara hunian padat yang tidak punya halaman dan sebaliknya," katanya.
Heru membandingkan kondisi termal dua jenis permukiman di kebanyakan kota dan kampung di Indonesia. Kondisi pertama ialah kampung yang dicirikan dengan gang sempit, halaman rumah yang kecil dan bentuk yang tidak teratur, sedangkan kondisi sebaliknya terdapat juga permukiman yang terencana, akses jalan yang memadai, halaman rumah yang luas, dan susunan rumah tertata rapi.
"Dari sisi desain termal, pola permukiman semacam ini sangat berpengaruh dalam menentukan kondisi termal lingkungan tersebut, sehingga berimbas kepada kenyamanan penghuninya," katas Heru.
Menurut pria yang meraih gelar Master dari James Cook University Australia itu, gang sempit mempunyai kondisi termal yang lebih baik dibandingkan dengan ruang terbuka dan halaman rumah.
"Geometri yang sempit dan bentuk yang menerus dari gang-gang ini dapat meningkatkan kecepatan angin sepanjang koridor tersebut," katanya. Heru pun menyarankan untuk menerapkan lingkungan bangunan dengan tutupan bangunan lebih kurang 85 persen. (*)