Ketika Mantan Napi Anak Pentaskan "Maha Ibu"
Sabtu, 7 April 2012 13:54 WIB
Oleh Edy M Ya'kub
"Ibu, masihkah kau menungguku? Ibu, penjara membuatku tak mengenal keluarga dan orang lain," ucap Fredi Krisdiantoro.
Fredi adalah satu dari empat mantan narapidana (napi) yang tergabung dalam Teater "Rumah Hati" Jombang yang mementaskan drama berjudul 'Maha Ibu' di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jatim, Surabaya, Rabu (4/4) malam.
Dalam lakon itu, keempat napi anak bernama Fredi Krisdiantoro dan Eko Pamuji (LP Jombang) serta M Musthofa dan Wahyu Santoso (LPA Blitar) diceritakan bebas dari tahanan.
Sekeluar dari penjara, mereka tidak menemukan jalan keluar. Mereka akhirnya berkeliling mencari jalan ke arah rumahnya, tapi tidak kunjung ketemu dan akhirnya keempatnya bertemu pada lokasi yang sama.
Saat itulah, keempat mantan napi itu saling menceritakan pengalamannya masing-masing. Satu pengalaman yang sama adalah mereka hanya mengingat ibunya yang selalu mendidik dengan sabar, sehingga mereka rindu dan berharap ibunya menjemput kepulangan mereka.
"Saya masih ingat saat mencuri bor, lalu massa datang mengeroyok dan saya akhirnya dituduh mencuri handphone, ayam, bor, dan banyak lagi, sehingga saya masuk penjara 3,5 bulan," tutur Eko yang kelahiran Jombang, 17 September 1994.
Mantan napi LP Jombang berNama Fredi itu, mengaku tidak mengerti sikap perangkat desa yang tak membelanya saat dikeroyok massa hingga babak belur.
"Ibu, sakit rasanya dikeroyok massa itu," urai napi yang putus sekolah saat masih duduk di kelas dua SMA itu.
Lain halnya dengan Fredi, rekannya yang juga kelahiran Jombang pada 8 Desember 1994.
"Saya senang dengan pacar, bahkan orang tua kami juga setuju, tapi tante pacar saya tidak setuju dan saya dituduh menghamili," tandasnya.
Hampir sama dengan itu, mantan napi LPA Blitar, Wahyu Santoso, yang kelahiran Kediri pada 5 Maret 1991, juga mengaku dituduh melakukan pencabulan dan ditahan selama tiga bulan.
Tidak jauh berbeda pula dengan mantan napi LPA Blitar, M Musthofa, mengaku dirinya juga dituduh memperkosa seorang perempuan.
"Saya pernah sekolah di Tsanawiah dan pernah mondok, tapi saya pengangguran hingga saya akhirnya suka mabuk," tukas lelaki kelahiran Nganjuk, 3 Maret 1989 itu.
Saat mabuk bersama rekan-rekannya itulah, ia dihampiri seorang perempuan, sehingga dia dan rekan-rekannya pun mencium perempuan itu, namun perempuan itu tidak lari, lalu dirinya pun mengusirnya.
"Saat saya usir, dia pulang dengan menangis, lalu dia datang dengan saudaranya dan menuduh saya memperkosa. Saya menolak, karena memang tidak melakukan sesuai tuduhan itu, lalu mereka memanggil polisi," paparnya.
Polisi pun memaksanya mengaku, namun dirinya menolak, lalu perempuan itu divisum dan terbukti dia masih perawan, tapi polisi tetap menghajarnya selama beberapa jam agar mengaku memperkosa hingga kemudian dipenjara selama lima bulan.
"Ibu, aku sudah keluar dari tahanan. Bagaimana aku mengawali semuanya, aku sulit bekerja. Ibu, maafkan aku yang pernah marah-marah saat kau marahi hingga kau pun selalu diam saat aku bicara. Ibu, dimana kau....," timpalnya.
Kontrol emosi
Sebagai sutradara, Zainuri yang pernah menyutradarai para mantan napi di Rutan Medaeng dengan lakon "Rasanya Baru Kemarin" (2010) itu mengaku senang melatih para mantan napi anak.
"Saya senang, karena napi dan seniman itu sama yakni sama-sama liar, sehingga untuk melatihnya tinggal memoles sedikit. Saya juga membuat skenario sambil mengajak mereka melakukan pertunjukan," kilahnya.
Akhirnya, skenario pun selesai bersamaan latihan mereka juga selesai dalam tiga bulan.
"Jadi, naskah dibuat sambil mereka menghafal skenario dan kekurangan diperbaiki saat itu juga," ungkapnya.
Sebagai aktivis Bengkel Muda Surabaya, Zainuri menyatakan tidak menemukan kendala berarti untuk melatih para mantan napi itu, apalagi ceritanya juga seputar pengalaman mereka sendiri hingga masuk penjara.
"Tidak ada kendala berarti, karena para mantan napi itu memiliki cara berpikir yang cepat, kecuali sikap malas yang perlu diingatkan terus-menerus," kupasnya kepada ANTARA di sela-sela gladi resik (4/4/2012).
Hasilnya cukup positif, karena cara mereka berkomunikasi dengan orang sudah tidak canggung lagi.
"Bahkan, mereka senang bahwa pengalaman yang jelek itu bermanfaat bagi orang lain untuk pelajaran kehidupan," ulasnya.
Kenapa tentang ibu ? Karena hanya ibu yang menjadi satu-satunya tumpuan mereka, sebab masyarakat dan teman sudah mengisolasi para mantan napi, sehingga mereka berharap ibunya yang menjemputnya sepulang dari penjara.
Namun, harapan mereka sia-sia, karena mereka juga tetap tidak menemukan sosok ibu, bahkan mereka sudah lupa jalan untuk pulang ke rumahnya, sebab waktu yang lama di dalam penjara telah mengubah kondisi di luar penjara.
Terlepas dari skenario dalam drama itu, permainan para mantan napi anak itu dapat menjadi terapi psikologis.
"Itu karena mereka mampu mengeluarkan kegalauan yang dirasakan, sehingga kenakalan secara fisik dapat berkurang," ujarnya.
Apalagi, di tempat penampungan "Rumah Kita" Jombang, para mantan napi anak itu tidak hanya dilatih bermain teater, namun mereka juga dibekali dengan latihan ketrampilan komputer, otomotif (reparasi motor), dan sebagainya.
Hal itu dibenarkan Guru Besar Ilmu Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya) Prof Yusti Probowati yang membina para mantan napi dalam tempat penampungan "Rumah Kita" di Jombang.
"Stres di penjara itu dapat diminimalkan dengan terapi tertawa, menari, teater, atau jenis hiburan lainnya. Dengan ekspresi teater, para napi mendapatkan katarsis. Setidaknya, dengan cara ini, emosi mereka menjadi lebih stabil," urainya.
Manfaat itu juga diakui mantan napi Eko Pamuji. "Ceritanya sesuai pengalaman kami sendiri, karena itu adegan bisa murni, bahkan kalau ada yang lupa, ya kami tutupi dengan improvisasi, asalkan tidak lepas," ucapnya.
Terlepas dari itu, ia menyatakan banyak manfaat yang dirasakan dengan bermain teater.
"Saya senang main teater, karena saya dan kawan-kawan lebih bisa mengontrol emosi, bisa mengerti teman, dan akhirnya bisa kompak," tegas lelaki yang tidak tamat SMAN 2 Jombang itu. (*)