Trenggalek (ANTARA) - Kantor Kementerian Agama Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur mengajukan usulan/rekomendasi pencabutan izin operasional pondok pesantren milik bapak-anak yang terjerat kasus pencabulan santri sehingga kini mendekam di balik jeruji besi (penjara).
"Kami akan mengajukan kepada Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Ditjen Pendis untuk meninjau ulang atau mempertimbangkan pencabutan izin operasional," kata Kepala Kemenag Trenggalek, M Nur Ibadi di Trenggalek, Kamis.
Pengajuan izin pencabutan operasional atau IJOP itu merespons vonis terhadap kedua pelaku.
Dalam IJOP itu tercantum nama kiai yang telah dijatuhi vonis hukuman sehingga kondisi itu mempengaruhi terpenuhinya lima syarat rukun pesantren (arkanul mahad) yang harus ada dalam pendirian pondok pesantren.
"Oleh karena itu, peninjauan atau pencabutan izin dinilai perlu dilakukan," imbuhnya.
Menurut Nur, langkah itu akan dikoordinasikan secara langsung dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) untuk memastikan penanganan kasus ini mendapat perhatian khusus.
Pihaknya berharap agar persoalan ini segera direspons dengan cepat dan tepat sehingga langkah tegas yang diambil itu dapat memupuk kembali kepercayaan masyarakat akibat citra ponpes yang tercoreng oleh kedua pelaku.
"Kami akan koordinasikan dulu dengan Pak Dirjen Pendis agar segera diperhatikan dan mendapatkan atensi khusus, karena memang masalah ini perlu perhatian intensif,," ujarnya.
Sementara itu, terkait nasib para santri, dia menjelaskan bahwa Kemenag akan memberikan pendampingan serta fasilitasi jika ada santri yang ingin pindah ke pondok pesantren lain.
Ibadi menegaskan, hak-hak santri, terutama hak pendidikan, akan tetap dijamin. Namun, berdasarkan informasi yang diterima, pondok pesantren tersebut sudah tidak memiliki santri aktif.
"Sementara itu, kalau siswa pada sekolah formal di bawah naungan yayasan yang sama, yakni SMP dan MA, masih ada yang beraktivitas di lokasi tersebut," pungkasnya.
Sebelumnya, Masduki (72) dan Faisol Subhan Hadi (37) seorang pengasuh dan pengurus ponpes di wilayah Kecamatan Karangan dilaporkan polisi atas dugaan kasus pencabulan terhadap santrinya. Dalam proses hukum, keduanya dijatuhi vonis hukuman sembilan tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider enam bulan oleh Pengadilan Negeri Trenggalek.