Wisata Bondowoso dari Ijen Hingga Kerajinan Kuningan
Minggu, 18 Desember 2011 20:09 WIB
Oleh Asmaul Chusna
Bondowoso - Pagi masih terbilang buta. Asnawi (33), warga Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, bersama rekan-rekannya sudah bersiap berangkat bekerja.
Mereka melawan hawa dingin untuk satu tujuan, Kawah Ijen. Dengan kendaraan truk mereka bakal bertarung dengan pekatnya asap belerang. Bekalnya sederhana, handuk basah dan pikulan.
"Sudah sembilan tahun saya bekerja mengambil belerang," kata Asnawi, lirih.
Ia memilih jalan setia menjalani profesi berat ini demi menghidupi keluarga. Sakit di punggungnya, sudah tidak ia rasakan, meskipun beban bongkahan belerang yang dipikulnya bisa mencapai 80 kilogram. Beban seberat itu ia pikul sejauh tiga kilometer dengan jalan naik turun.
Karena beratnya medan dan beban, Budiono (55), pengangkut belerang lainnya, terpaksa "pensiun". Dengan alasan sudah tidak kuat, tiga tahun lalu ia harus menggantung pikulan dan keranjangnya.
"Sekarang saya bekerja di bagian penyulingan," tutur ayah dari tiga anak ini.
Menjadi buruh angkut belerang sudah dilakoni Budiono sejak berusia 14 tahun. Awalnya, ia hanya sanggup mengangkut 15 kilogram. Seiring waktu, otot-otot kaki dan pundaknya sanggup mengangkut sampai 120 kilogram belerang dari kawah.
Kekuatan dan kelemahan dan adalah siklus kehidupan. Kekuatan Budiono lambat laun menurun. Maka, ketika usianya tidak lagi muda, dipilihlah bekerja di bagian penyulingan.
Dengan penghasilan sekitar Rp1 juta setiap bulan, ia berupaya mendapatkan penghasilan tambahan. Ia menjual belerang yang dicetak dalam berbagai bentuk.
Harga jualnya pun cukup murah. Untuk cetakan kecil berbentuk hewan, seperti kura-kura, dijual dengan harga Rp5.000. Sementara untuk bentuk panorama alam, seperti karang harganya sekitar Rp10.000.
"Ini untuk menambah penghasilan. Kalau akhir pekan cukup ramai. Uang Rp50.000 bisa saya dapat," ujarnya.
Kisah Asnawi dan Budiono adalah bagian dari kehidupan Kawah Ijen yang kesohor tidak hanya di dalam negeri, tapi juga ke mancanegara. Asnawi dan Budiono adalah bagian dari eksotisme Kawah Ijen yang terletak diperbatasan Kabupaten Bondowoso dengan Banyuwangi.
Kawah Ijen yang terletak sekitar 74 kilometer dari Kota Bondowoso itu adalah salah satu wisata alam menarik yang dimiliki Jawa Timur.
Imel, wisatawan asal Prancis mengakui keindahan Kawah Ijen. Dengan berbekal 200 Euro, ia nekat datang ke Ijen. "Tempat ini sangat bagus. Setelah ini mau ke Vietnam," ucapnya.
Angelina, wisatawan lainnya asal Jerman juga mengakui indahnya kawasan wisata ini. Pemandangan alam di tempat ini dinilainya sangat bagus. Walaupun harus berjalan naik turun gunung, sepadan dengan kepuasan yang didapatnya.
"Indah sekali. Alamnya juga sejuk. Saat berjalan, kami juga sering dengar kicauan burung, jadi, rasanya tidak capai," tukasnya.
Selain panorama alam, melihat kawah menjadi tujuan para wisatawan. Aktivitas penambangan belerang di kawah, juga menambah daya tarik dari lokasi wisata ini.
Waktu yang paling tepat untuk berkunjung ke kawah yang terletak di ketinggian 2.368 mdpl adalah dini hari. Biasanya, para wisatawan berangkat pukul 03.00 WIB dari lokasi penginapan. Tujuannya, agar masih bisa menikmati indahnya kawah, karena jika matahari semakin naik, kawah akan dipenuhi asap pekat.
Sejumlah wisatawan ada yang menginap di Perkebunan Nusantara XII (Persero) atau yang akrab disebut Kebun Kalisat/Jampit. Perjalanan sekitar satu jam sampai di lokasi, namun wisatawan hanya diperbolehkan naik kendaraan hingga kawasan Paltuding.
Dari Paltuding wisatawan harus berjalan kaki menuju ke lokasi kawah. Jalan yang menanjak tentunya memerlukan fisik yang kuat. Sebab, jarak yang ditempuh juga cukup jauh, sekitar tiga kilometer. Karenanya tidak jarang, wisatawan menyerah di tengah perjalanan, karena tidak sanggup naik ke atas.
Para wisatawan masih bisa istirahat ketika capai. Jarak satu kilometer dari lokasi kawah, ada tempat penimbangan belereng. Di lokasi ini ada kantin, yang bisa digunakan sebagai tempat istirahat para wisatawan.
Perjalanan menanjak kembali dilanjutkan. Selama perjalanan, warna hijau dedaunan pohon cemara di lokasi gunung membuat sejuk mata. Suara burung yang berkicau menambah semangat wisatawan untuk segera sampai ke kawah.
Jarak sekitar 500 meter dari lokasi kawah, hamparan bunga "abadi" edelweis luas terbentang. Pemandangan semakin eksotis, ketika sampai di lokasi kawah. Warna biru kehijauan dominan di air kawah yang ditingkahi asap mengepul dari lubang-lubang penambangan belereng. Para penambang berkerumun, antre mengangkut belereng yang sudah dingin dan memadat.
Berada di kawah itu rasa capai hilang dan yang tertinggal hanya rasa puas dan takjub akan kekuasaan Tuhan.
Berkunjung ke Kawah Ijen merupakan wisata petualangan. Selain naik ke kawah harus berjuang dengan jalan menanjak, ketika turun juga perlu fisik yang kuat karena jalanan yang menurun.
Sampai di Paltuding, wisatawan bisa menikmati makanan dan minuman yang dijual para pedagang. Warung-warung sederhana menyediakan berbagai makanan dan minuman penghangat badan.
Kebersihan dan kenyamanan tampaknya sangat diperhatikan di lokasi wisata ini. Tidak jarang, para penambang atau pemilik warung mau memungut sampah-sampah yang sengaja dibuang para wisatawan seenaknya.
Kawasan itu juga dilengkapi dengan fasilitas penginapan, area perkemahan, "shelter" atau tempat penampungan, pusat pelayaan informasi, area parkir, mushalla, toilet maupun kamar mandi. Walaupun tempatnya sederhana, kebersihannya terjaga.
Untuk sampai di lokasi Kawah Ijen, para wisatawan bisa menempuh perjalanan lewat Banyuwangi atau Bondowoso. Dari Bondowoso ke Paltuding wisatawan bisa memanfaatkan angkutan umum ataupun kendaraan pribadi.
Jika naik angkutan umum, dari arah Surabaya wisatawan bisa naik bus menuju ke Bondowoso dengan tarif Rp28 ribu untuk kelas ekonomi dan Rp46 ribu untuk patas.
Dari terminal, wisatawan bisa naik angkutan umum yang dikenal dengan sebutan elf (minibus) ke arah Ijen. Turun di Kecamatan Sempol. Jika ingin ke kawah Ijen, wisatawan tidak dapat menggunakan angkutan umum lagi, dan harus naik ojek dengan tarif sekitar Rp50 ribu.
Jika naik kendaraan pribadi ataupun fasilitas travel akan lebih mudah, karena bisa sekali jalan.
Infrastruktur Rusak
Aspek petualangan ke Kawah Ijen tidak hanya dirasakan saat wisatawan harus berjalan kaki dari Paltuding, melainkan saat perjalanan dari pusat Kota Bondowoso ke lokasi wisata.
Jalan menuju Kawah Ijen dari pusat kota banyak yang rusak. Panjang kerusakan di jalan yang beraspal itu sekitar enam kilometer. Kondisi ini tentu saja sangat mengganggu kenyamanan wisatawan.
Namun, ada juga kabar positifnya. Kondisi jalan yang rusak justru disukai wisatawan asing yang menggemari tantangan. Bahkan hal tersebut juga sempat disampaikan konsultan asing ke Dinas Pariwisata Kabupaten Bondowoso.
Bupati Bondowoso Amin Said Husni ketika dikonfirmasi masalah ini mengaku masih bimbang. Hal itu karena jalan menuju kawah masuk ke wilayah milik PTPN.
"Kami ingin perbaiki, namun itu masuk kawasan perkebunan," katanya.
Ia mengatakan, infrastruktur yang rusak itu hanya salah satu tantangan. Karena itu, upaya promosi terus gencar digalakkan. Tak lain, agar wisata di Bondowoso semakin dikunjungi banyak orang.
Anggota Komisi C DPRD Provinsi Jawa Timur Suli Da'im, mengatakan seharusnya di antara pemkab dengan perkebunan tidak saling tuding untuk perbaikan infrastruktur tersebut. Keduanya harusnya bisa duduk bersama, agar masalah itu bisa diperbaiki.
"Kalau saling tuding antara pemkab dengan perkebunan, tidak akan selesai," kata pria yang juga Wakil Ketua Fraksi PAN ini.
Kawasan wisata itu, kata dia, sangat menjanjikan. Jika jalur diperbaiki, tentunya tingkat kunjungan wisatawan juga bisa semakin meningkat, yang artinya membuat masyarakat semakin sejahtera dan meningkatkan pendapatan daerah.
Potensi Wisata
Selain Kawah Ijen, di sejumlah lokasi di Kabupaten Bondowoso banyak wisata alam lainnya. Sekitar 13 kilometer dari lokasi kawah, terdapat wisata kolam air panas di Desa Kalianyar, Kecamatan Sempol. Dibutuhkan satu jam perjalanan untuk sampai ke lokasi air terjun dari Kawah Ijen.
Kolam dengan panjang sekitar 5 meter dan lebar 3 meter itu ramai dikunjungi wisatawan. Ada yang berendam di kolam yang tingginya seleher orang dewasa itu, atau sekadar menghilangkan capai dengan duduk-duduk di tepi kolam. Air yang bersumber dari panas bumi itu diyakini mempunyai efek menyehatkan, karena kandungan belerangnya.
Dua kilometer dari lokasi kolam air panas, ada air terjun menarik, yang disebut air terjun Blawan. Hilir dari Kali Pahit yang merupakan rembesan air dari Kawah Ijen ini juga mengandung belerang.
Yang menarik dari air terjun ini adalah muara alirannya yang langsung menuju ke dalam tanah seperti air terjun Niagara di Amerika. Air terjun Blawan itu muara akhirnya ke daerah Asembagus, Situbondo.
Jalan menuju air terjun Blawan sangat menantang karena naik turun tangga di antara dua tebing. Tempat ini juga sejuk, dikelilingi tumbuhan makademia yang menjulang tinggi. Tanaman kacang-kacangan ini berbuah cukup baik.
Di lokasi ini, wisatawan dapat pula menikmati goa kapur. Lokasi ini diyakini masyarakat sebagai tempat Damar Wulan bersemedi. Konon ceritanya, bagi wisatawan yang membasuh muka di tempat ini akan awet muda.
Tidak lengkap kiranya jika para wisatawan tidak ikut serta menikmati wisata di lokasi PTPN XII Kalisat/Jampit. Hamparan luas perkebunan kopi arabika dan kebun stroberi membuat betah. Kendati dingin menusuk tulang, sepadan dengan ekostisme alamnya.
Selain bisa menikmati hamparan kebun stroberi sekaligus memetik buahnya, para wisatawan juga bisa melihat prosesi pembuatan kopi arabika yang terkenal dengan sebutan Java Coffee Bondowoso. Jenis kopi ini telah masuk dalam peringkat tiga kopi terbaik dunia.
Wisatawan juga bisa melihat langsung kandang luak. Binatang-binatang ini sengaja dipelihara, diberi makan buah kopi. Harga kopi luak produksi perkebunan cukup tinggi, Rp1,3 juta perkilogramnya.
Menurut Koordinator Hortikultura dan Agrowisata PTPN XII, Asnanto di tempat ini mampu menampung 100 ekor luak. Binatang ini adalah hasil buruan warga yang dipelihara saat panen raya, Mei hingga Agustus tiap tahunnya. Perkebunan membeli dengan harga Rp150 ribu hingga Rp200 ribu per ekor. Setelah musim panen kopi selesai, luak-luak ini dibebaskan ke hutan lagi.
"Saat ini tinggal 60 ekor saja yang di kandang. Nanti, saat panen, warga biasanya ramai-ramai menangkap luak lagi," ujar Asnanto.
Ketua Dewan Pariwisata Indonesia Jawa Timur, Yusak Ansori mengatakan potensi wisata baik di Bondowoso maupun Jatim pada umumnya sangat menarik.
Khusus di Kawah Ijen, ia menilai pemerintah masih kurang maksimal. Selain masalah infrastruktur, beberapa fasilitas di lokasi wisata juga kurang tertata. Contohnya, toilet. Harusnya, jarak beberapa kilometer di sepanjang jalan menuju kawah itu dibangun toilet sederhana, hingga wisatawan bisa buang hajat di tempat itu.
"Infrastruktur harusnya segera dibenahi. Selain itu, fasilitas umum, seperti toilet dibangun. Tidak perlu mewah, tapi sederhana dan tidak bau. Fasilitas lain, seperti rumah makan, juga penting," tukasnya.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Ciputra Surabaya ini menilai, pemerintah daerah harusnya aktif berkoordinasi dengan pihak perkebunan demi memberikan kenyamanan fasilitas pada wisatawan.
Keduanya harus bisa bekerja sama mendatangkan wisatawan. Jika ada kerusakan fasilitas terutama infrastruktur, harusnya bisa dibicarakan lebih baik.
"Yang terjadi selama ini masih sendiri-sendiri. Harusnya, ada koneksi lebih baik, di antara pemkab setempat dengan perhutani, maupun antarpemda. Mereka juga bisa sinergi, dengan gabungkan program-program," ucapnya.
Ia juga mengemukakan, pemerintah masih latah dalam mengelola lokasi wisata. Seperti di Jatim, di mana ketika yang ramai membuat "carnival", daerah-dearah lainnya juga sama. Padahal, tiap daerah mempunyai potensi yang berbeda. Harusnya, dengan perbedaan itu bisa dikelola lebih baik.
"Persepsi yang digunakan harusnya persepsi turis, jangan persepsi sendiri. Jika tetap tidak bisa mengomunikasikan, masing-masing merasa berkuasa, tidak akan ada selesainya," ujarnya, berharap.
Kepala Seksi Pengembangan Potensi Wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur, Agus Supono mengatakan pemerintah terus berupaya untuk memperkenalkan potensi wisata di Jatim.
Selain wisata religi, sebenarnya banyak potensi baik alam, laut, yang menarik. Namun, ia mengakui pengelolaan sampai saat ini belum maksimal. Tingkat perhatian dan minimnya anggaran untuk pengembangan wisata, menjadi kendala kurang berkembangnya wisata di Jatim.
Pihaknya terus aktif mendorong masing-masing daerah memunculkan potensi wisatanya. Selain bisa meningkatkan pendapatan daerah, roda ekonomi masyarakat juga dipastikan berputar. Ia merasa iri dengan Malaysia yang begitu perhatian pada objek wisata, padahal lebih menarik di Indonesia, salah satunya di Jatim.
"Kami terus dorong masing-masing daerah untuk promosi wisata. Kalau malaysia promosinya luar bisa, Jatim juga harus mampu," kata Agus.
Buah Tangan
Bondowoso memang terkenal dengan tapainya. Makanan dari singkong khas daerah ini yang terkenal karena manis dan kandungan airnya yang lebih sedikit.
Tak kalah dengan manisnya tapai Bondowoso, kerajinan kuningan dari daerah ini juga masyhur. Sentra kerajinan ini ada di Cindogo, Kecamatan Tapen. Puluhan kios berisi barang-barang kuningan berdiri berjejer di wilayah itu.
Hasil kerajinan di daerah ini, tidak kalah dengan kerajinan kuningan lain di Indonesia, semisal di Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Kerajinan kuningan di tempat ini dikerjakan tanpa mesin, melainkan dengan tangan. Selain itu, kualitas kuningan juga cukup bagus, tanpa pengolahan tambahan, hingga warnanya tahan lama.
Namun, seiring dengan waktu, jumlah perajin di tempat ini surut. Dulu, ada lebih dari 80 perajin, saat ini tinggal 10. Mereka terkendala dengan mahalnya harga bahan baku dari semula Rp8.000 perkilogram menjadi Rp35.000 perkilogram sampai Rp37.000 perkilogram.
Amir Flanzah, salah seorang perajin kuningan mengatakan kenaikan harga bahan baku ini sudah terjadi sejak tiga tahun yang lalu. Hal ini adalah pukulan yang sangat berat bagi usahanya.
Sebelum ada kenaikan, ia bisa mempekerjakan karyawan hingga 20 orang, tapi setelah kenaikan tersebut saat ini ia hanya mempekerjakan 10 karyawan.
Selain mahalnya harga bahan baku untuk membuat kerajinan ini, terjangan krisis moneter juga sudah berimbas pada usahanya. Namun, saat itu ia dengan para perajin lainnya masih bertahan. Mereka sudah tidak mampu bertahan, sejak ada kenaikan harga bahan baku yang sangat tinggi.
"Kami bertahan dengan hanya mengandalkan pasar lokal saja. Dulu bisa ekspor, tapi karena ada bom, jadi terputus," ujarnya.
Proses pembuatan kerajinan ini tidaklah rumit. Kuningan dicairkan dan dibentuk sesuai dengan pola. Guci adalah yang paling banyak dicari. Setelah lewat proses pembentukan, hingga pengecatan, siap jual. Harganya juga variatif, antara Rp100 ribu sampai jutaan rupiah.
Khusairi, perajin lainnya berharap, pemerintah lebih memperhatikan para pengusaha kecil dan menengah seperti dirinya. Terlebih lagi, kerajinan ini adalah usaha yang turun temuruh di daerah ini, dan ikut serta mengenalkan kabupaten ini sebagai daerah kerajinan kuningan.
Ia juga berharap, pemerintah lebih memudahkan untuk pengajuan bantuan kredit UMKM. Selama ini, proses pengajuan lebih lama dan rumit daripada mengajukan pada bank.(*)