Surabaya (ANTARA) - Dari Balai Kota di Surabaya, perayaan tak hanya mengingatkan banyak orang tentang kegembiraan, tapi juga kebersamaan yang menyejarah.
Perayaan menjadi momentum, dan momentum menjadi monumen ingatan serta kenangan dalam benak warga kota ini, yakni tentang arti hidup bersama yang layak dibela dan diperjuangkan.
Mulai dibangun berdasarkan desain arsitek G.C. Citroen (arsitek Belanda yang menetap di Surabaya, dimakamkan di Kembang Kuning) pada 1915, dibangun pada era Wali Kota Dijkermann dan diresmikan pada 1927. Awalnya, gedung itu menjadi tetenger hegemoni Belanda atas negeri ini.
Gedung dengan bentuk neoklasik nan simetris, yang indah sekaligus kaku, mewakili tatapan mata dingin birokrasi khas pemerintahan kolonial terhadap rakyat terjajah. Rakyat yang hanya bisa menatap lekat-lekat dari jauh saat Ratu Juliana dan Pangeran Bernhardfeesten tiba di sana pada suatu hari medio Januari 1937.
Pada 25 Februari 2024, sejarah membalik wajah gedung ini. Balai Kota Surabaya menjadi penanda takdir keberagaman pada masa pemerintahan Wali Kota Eri Cahyadi dan Wakil Wali Kota Armuji.
Saat ribuan warga, mayoritas Tionghoa dan beragama Khonghucu, merayakan Cap Go Meh untuk pertama kalinya di sini, kita disadarkan kembali pada komitmen yang dibangun para cerdik cendekia dan kaum bijak bestari masa lampau.
Komitmen tentang kemauan kita untuk hidup di bawah langit sama, dengan tetap saling bersetia terhadap prinsip-prinsip kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam perbedaan.
Dan Balai Kota adalah rumah bersama bagi semua. Apa yang dilakukan Eri Cahyadi untuk membuka ruang bagi semua, membuat Balai Kota Surabaya tak hanya menaungi, tapi juga menyatukan, menjadi milik mereka berbahagia dan merayakan cinta.
Di tempat ini, Shalat Idul Fitri, Idul Adha serta shalawat penuh sanjungan kepada Rasul Muhammad ditunaikan dengan keikhlasan dan menjadi pengingat tentang iman yang menjadi terang di tengah kehidupan.
Di halaman Balai Kota ini, kita merasakan teduh perayaan Natal yang damai pada 11 Januari 2024, untuk pertama kalinya, Balai Kota Surabaya dijadikan tempat peringatan Natal.
Saat Nyepi menjelang, pemerintah kota membangun ornamen-ornamen mengingatkan banyak orang tentang makna hari raya ini bagi umat Hindu. Pada akhirnya perbedaan, dalam arti sebenarnya, dianggap lumrah, dan memang seharusnya hadir, menjadi tembok spiritual Kota Surabaya.
Balai Kota memang “jantung” Pemkot Surabaya. Dan, sebagaimana tugas jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh, Balai Kota berfungsi sebagai simbol yang mengirim energi positif ke seluruh elemen warga.
Terobosan Pemkot Surabaya yang menjadikan Balai Kota sigap bersolek, nderek mangayubagyo setiap momen keagamaan tiba tanpa terkecuali adalah hal layak disyukuri di kota ini.
Balai Kota Surabaya mengingatkan kita pada ucapan Anne Spollen, penulis “The Shape of Water”, yang menyebut ruang tak hanya berarti ruang, namun juga lanskap emosi bagi umat manusia. Biografi memori, dan bagi kita itu berarti ingatan tentang hal-hal kecil nan sederhana di tengah kota ini.
Ingatan yang tak hanya tentang pidato para pejabat dan khotbah para bijak bestari. Namun juga percakapan-percakapan sering kali sepele, dan sapaan-sapaan sepintas lalu yang akrab antarwarganya di suatu taman yang disebut Taman Surya, terintegrasi dengan Balai Kota.
Taman yang menjadi tempat untuk warga kota melakukan jeda dan merayakan keguyuban bersama di tengah hidup yang sibuk.
Taman Surya adalah tempat mengingatkan kita pada “perhentian” dalam lirik lagu “Sang Penghibur” yang dinyanyikan Padi, kelompok musik legendaris asal Surabaya. Tempat yang menjadi pengingat bahwa kita “tak harus kencang terus berlari”.
Taman Surya menghadirkan ruang bagi kita untuk menghela napas panjang, “Tuk siap berlari kembali.”
Kita bangga dan bersyukur hidup di kota penuh penghargaan terhadap perbedaan seperti Surabaya, hidup bersama yang dibela dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, dari pemimpin ke pemimpin, termasuk sejak era Bambang DH, Tri Rismaharini, Whisnu Sakti Buana, dan kini Eri Cahyadi.
*) Penulis adalah alumnus Magister Kebijakan Publik Unair Surabaya
Balai Kota Surabaya, rumah bersama
Selasa, 27 Februari 2024 16:13 WIB
Kita bangga dan bersyukur hidup di kota penuh penghargaan terhadap perbedaan seperti Surabaya, hidup bersama yang dibela dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, dari pemimpin ke pemimpin