Surabaya (ANTARA) - Dinas Kesehatan Jawa Timur menemukan sebanyak 9.409 orang dengan HIV/AIDS (ODHIV) baru di wilayah setempat dari bulan Januari sampai dengan November 2023.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur Erwin Astha Triyono di Surabaya, Senin, mengatakan berdasarkan data dari aplikasi Sistem Informasi HIV/AIDS (SIHA) Dinkes Jatim per 23 November 2023, estimasi ODHIV di Jawa Timur Tahun 2023 sebanyak 65.238 orang.
"Pada prinsipnya penularan HIV itu sulit. Hanya dua yang paling mungkin berisiko untuk tertular, yaitu dari hubungan seks berisiko dan penggunaan narkoba suntik. Selama masyarakat tidak menggunakan narkoba suntik bersama-sama dengan yang lain atau tidak melakukan hubungan seks berisiko, kemungkinan besar tidak akan tertular," kata dia.
Erwin melanjutkan bahwa masyarakat masih menganggap human immunodeficiency virus (HIV) tidak ada obatnya, padahal pemerintah sudah mengalokasikan anggaran yang sedemikian besar untuk membantu pengobatan penyakit HIV dengan Anti Retroviral (ARV).
"Terapi HIV dengan ARV ini sangat menjanjikan, karena target pemerintah dalam enam bulan pertama, 95 persen virusnya sudah harus tidak terdeteksi. Jika sudah tidak terdeteksi, maka diharapkan kekebalan tubuhnya akan bangkit dengan sendirinya," kata Erwin.
Jika kekebalan bangkit, diharapkan pasien HIV akan kembali pulih menjadi manusia normal seperti biasa dari sisi imunitasnya, namun tetap harus mengonsumsi ARV.
Baca juga: Cegah stunting, Dinkes Kota Madiun edukasi calon pengantin dan bumil
Seperti halnya penyakit kronis lainnya, baik diabetes maupun hipertensi, untuk mengendalikan penyakitnya, penderita diabetes maupun hipertensi harus mengonsumsi obat secara rutin sepanjang hidupnya. Begitu pula dengan ODHIV, walaupun virusnya sudah bisa dikendalikan, ARV harus tetap dikonsumsi sepanjang hidupnya.
"Namun, jangan dibayangkan sepanjang hidup harus minum obat, tetapi hanya cukup meluangkan waktu 5 menit setiap harinya untuk mengonsumsi ARV, imunitas ODHIV bisa terjaga dan bisa melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasa. Jadi, penyakit HIV tidak ada bedanya dengan penyakit kronis lainnya, pemenangnya adalah siapa yang mau berobat," ujarnya.
Oleh karena itu, Erwin berpesan bagi masyarakat yang memiliki resiko tertular agar segera mengakses layanan kesehatan untuk diperiksa dan diobati.
Tata laksana ini sudah ada di hampir semua fasilitas kesehatan yang ada di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, baik itu di faskes tingkat 1, tingkat 2 maupun tingkat 3.
Sehingga, sebetulnya tidak ada alasan bagi masyarakat yang memiliki resiko untuk tidak segera memeriksakan diri dan diobati.
"Selain itu, program-program skrining, misalkan pada ibu hamil juga menjadi isu penting, karena kita tahu bahwa menuju Indonesia Emas Tahun 2045, kita semua ingin mendapatkan generasi yang sehat," ucapnya.
Untuk mendapatkan generasi yang sehat, mulai saat ini program pemerintah mendorong untuk melakukan skrining pada ibu hamil, skrining tidak hanya HIV, namun juga hepatitis B dan sifilis.
"Dengan skrining, diharapkan bila ibu hamil itu ternyata negatif atau sehat, kita bersyukur. Layanan Antenatal Care (ANC) akan tetap kita berikan yang terbaik untuk ibu-ibu yang sehat," katanya.
Tetapi, bila pada saat skrining, ibu hamil itu positif HIV-nya, segera diberikan ANC yang terbaik juga, ditambah dengan pemberian ARV. "Pemberian ARV pada ibu hamil sangat menjanjikan, karena begitu diberikan pada ibu hamil yang umur kehamilannya kurang dari minggu ke-14, diharapkan penularan ke bayinya kurang dari 2 persen," ucapnya.
Pada Peringatan Hari AIDS setiap Desember, diharapkan tidak hanya seremonial saja, tetapi berusaha mengubah paradigma di masyarakat bahwa penyakit HIV adalah penyakit kronis yang bisa dicegah dan diobati
Erwin berharap pemahaman masyarakat yang jauh lebih objektif, tidak dipengaruhi oleh informasi-informasi yang bias atau tidak bisa dipertanggungjawabkan.