Surabaya (ANTARA) - Saat ini terjadi diskursus politik tentang dinasti politik pascamenguatnya nama Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka menjadi kandidat potensial dalam helatan Pilpres tahun 2024.
Pro dan kontra terjadi dalam setiap panggung panggung politik.
Apakah Dinasti politik itu barang baru dalam sistem politik kita?
Menurut pengamatan saya, sebenarnya dalam tubuh partai politik dinasti politik itu sudah terjadi puluhan tahun silam. Ini bukan hal baru dalam sistem bernegara kita, marilah kita lihat, Kabupaten Kediri selama 20 tahun di pimpin oleh suami dan istri, Kota Batu juga dipimpin oleh suami istri, Kabupaten Banyuwangi juga di pimpin oleh suami dan istri.
Apakah hal itu melanggar aturan? tidak ada aturan yang dilanggar, karena penunjukan (rekomendasi) partai pengusung itu harus melalui satu tahapan lagi yakni rakyat sebagai penentu dalam helatan pemilukada, artinya rakyat masih menentukan apakah sang istri layak atau tidak melanjutkan estafet kepemimpinan suaminya di daerah tersebut.
Jadi dinasti politik yang dibangun tidak serta merta langsung mengukuhkan istrinya untuk dilantik menjadi penggantinya, namun harus melalui serangkaian perjuangan untuk memenangkan hati masyarakat dalam kontestasi. Soal etis dan tidak etis biarkan itu menjadi memori kewarasan publik, kita tidak bisa menghukum pikiran seseorang, karena seorang filusuf pernah berkata cogito ergo sum (aku ada karena aku berpikir).
Lalu kenapa saat ini kuat desakan menolak politik dinasti yang digaungkan tidak hanya oleh politisi, namun juga sebagian akademisi dan budayawan kita?
Perbedaan pendapat di era demokrasi liberal itu keniscayaan, biarkan ini menjadi kekayaan khasanah budaya intelektual kita. Namun aroma penolakan politik dinasti tersebut saya menduga kuat aromanya bukan soal penolakan politik dinasti itu sendiri, melainkan lebih ke arah penolakan agar telunjuk Jokowi tidak mengarah ke Capres yang tidak mereka harapkan.
Kalau murni soal penolakan politik dinasti tentu jauh-jauh hari kaum yang saya sebut kaum moralis itu akan berteriak lantang menolak politik dinasti, toh kenyataannya mereka diam selama ini, atau mungkin saja kaum moralis ini baru bangun dari tidur panjangnya.
Dalam berbagai kesempatan sering saya sampaikan, bahwa pemilu hanyalah sarana rekruitmen kepemimpinan yang berjalan secara reguler tiap lima tahunan.
Mari kita didik rakyat dengan edukasi pemilu yang menyenangkan, namanya pesta demokrasi harus menggembirakan, elit politik harus menyebarkan narasi soal ide capres dan cawapres 5 tahun mendatang.
Bagaimana membawa Indonesia dalam situasi geopolitik global yang tidak menentu, jangan sebar narasi soal pengkhianatan dan lain sebagainya. Itu tidak mendidik rakyat, mengingat hampir semua parpol sering mengambil kader yang sudah berkarya dalam bidang pemerintahan.
Menurut saya itu hal yang biasa dalam demokrasi liberal seperti saat ini, soal patut dan tidak patut biarkan itu menjadi memori publik, toh rakyat akan terus memberikan daulat politiknya dalam TPS untuk menilai layak dan tidaknya seseorang
Bagaimana dengan penguatan kelembagaan partai? nanti kita ulas dalam tulisan berikutnya. jadi mari kita nikmati pepatah lama jangan arahkan satu jarimu menunjuk kesalahan orang lain, karena ke empat jarimu menunjukkan kealpaanmu sendiri.
*Penulis adalah Ketua DPD Partai Golkar Surabaya sekaligus Ketua Komisi A DPRD Surabaya
Politik dinasti bukan hal baru di panggung politik Indonesia
Oleh Arif Fathoni* Sabtu, 21 Oktober 2023 12:36 WIB