Tulungagung (ANTARA) - Praktisi budaya Sudarko Prawiroyudho menyebut pementasan wayang kulit dan aneka kesenian lokal lain selama Agustus 2023, positif dan patut dilestarikan guna menjaga kearifan lokal sekaligus menjadi inspirasi karakter anak bangsa di tengah gencarnya pengaruh budaya modern (kekinian).
"Dengan menjadikan budaya sebagai referensi pembangunan karakter, maka budaya tersebut akan selalu diingat dan dilestarikan dari waktu ke waktu," katanya di Surabaya, Sabtu.
Ia lalu menggambarkan dialog yang terbangun dalam pementasan wayang kulit kerap menyuratkan pesan penting bagi pengunjung/penonton/pemirsa yang mengikuti jalannya pementasan.
Salah satu contoh cerita pewayangan berjudul “Arjuna Wiwaha”. Lakon ini dinilai bisa menjadi referensi dalam menjelaskan pentingnya figur yang mumpuni dan layak dijadikan anutan untuk kemudian dipersiapkan menjadi pemimpin bangsa.
"Setiap pergelaran wayang kulit selalu menyentuh lima wujud kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lima wujud tersebut adalah ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan nasional," kata Sudarko.
Menurut dia, ke depan tantangan Indonesia dalam melestarikan budaya tidaklah mudah. Banyaknya kebudayaan di Indonesia membuka kemungkinan bagi negara lain untuk mengakuinya, terutama negara tetangga.
Oleh sebab itu, generasi muda perlu ikut serta dalam usaha menjaga keamanan budaya dengan mempraktikkan cara berbahasa, menjadi pelaku seni budaya, hingga menjadi penikmat budaya Nusantara sehingga budaya tidak mudah diambil atau diakui oleh negara lain.
Globalisasi yang terjadi saat ini harus direspons dengan memperkuat benteng kebudayaan berciri ke-Indonesiaan. Rasa bangga terhadap budaya bangsa mesti disertai semangat nasionalisme yang tinggi untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara.
"Modernisme merupakan keniscayaan yang tak bisa ditolak di tengah dinamika zaman. Namun, jati diri bangsa Indonesia sebagai manusia berbudaya harus tetap ditanamkan di benak generasi muda. Artinya, ke manapun anak-anak muda ini pergi dan berkarya, mereka tetap menjaga warisan luhur nilai-nilai budaya Nusantara," katanya.
Perspektif serupa disampaikan praktisi pendidikan yang juga pelaku seni budaya, E. Sumadiningrat. Ia secara lugas mengingatkan pentingnya membangun kebanggaan atas budaya Indonesia.
Menurut dia, rasa bangga atas budaya bangsa ini bisa dikembangkan dengan mengembangkan konten-konten seputar budaya melalui media sosial yang kini marak digunakan generasi Z Indonesia.
“Sejalan dengan semangat pemajuan kebudayaan, pendidikan seputar nilai-nilai budaya Indonesia harus dimulai sejak dini. Harus diakui, menguatnya tren gaya hidup modern yang kebarat-baratan, menjadikan sebagian generasi muda Indonesia kurang mengenal budaya daerahnya sendiri,” katanya.
Selain tak mengenal, kata dia, banyak generasi milenial saat ini yang terkesan enggan mempelajari dan melestarikan budaya Indonesia.
Untuk itulah, Sumadiningrat mengingatkan akan pentingnya internalisasi pemahaman kebudayaan Indonesia sebagai karakter dan jati diri bangsa bisa harus diperkuat dalam semangat nasionalisme. Sebab kekuatan alami bangsa Indonesia bermula dari kekayaan budaya di masing-masing suku.
Perbedaan suku, agama, latar belakang ekonomi, dan politik justru menjadi modal untuk memperkuat persatuan Indonesia yang dibangun di atas perbedaan. Pengikat dari seluruh perbedaan tersebut adalah nasionalisme, katanya.
"Penetapan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia berelasi kuat dengan semangat nasionalisme. ‘The founding fathers’ Indonesia tidak memilih agama maupun sekulerisme sebagai dasar negara. Namun, merumuskan sendiri dasar negara bernama Pancasila yang digali dari budaya bangsa Indonesia," katanya.
"Pancasila inilah yang mengikat bangsa Indonesia. Kekayaan budaya dan tradisi suku-suku di tanah air diikat dalam satu semangat yang berbunyi Bhinneka Tunggal Ika," tutur dia menambahkan.