Isu Santet dan "Bondet" di Sumenep
Selasa, 20 September 2011 8:49 WIB
Oleh Slamet Hidayat
Sumenep - Isu santet ternyata tetap menjadi salah satu potensi kerawanan dan menyebabkan warga bersikap anarkis di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.
Kasus terbaru isu santet yang membuat warga Sumenep "gelap mata" terjadi pada Sabtu (17/9) lalu, ketika Luddin, warga Desa Payudan Dundang, Kecamatan Guluk Guluk, nekat menyandera tetangganya sendiri, Murjadin.
Luddin menganggap kematian cucunya (berinisial LL) diakibatkan oleh santet yang dilakukan oleh anak Murjadin (berinisial HLL).
Penilaian itu pula yang membuat Luddin menyandera dan melemparkan bom rakitan untuk menangkap ikan atau lazim disebut "bondet" kepada Murjadin.
Akibatnya, Murjadin menderita luka pada bagian kaki dan tangannya terkena lemparan bondet yang meledak tersebut.
"Informasi yang dihimpun anggota kami di lapangan, aksi pelemparan bom rakitan yang dilakukan Luddin kepada Murjadin yang masih tetangganya itu, memang diduga dilatarbelakangi isu santet," kata Kepala Kepolisian Resor Sumenep, AKBP Susanto.
Aksi tunggal yang dilakukan Luddin itu merupakan bukti nyata isu santet masih berkembang dan bondet juga masih beredar di kalangan warga Sumenep.
"Kami berharap warga Sumenep berpikir bijaksana dalam menyikapi isu santet. Jangan 'main hakim sendiri' dan mudah terprovokasi dengan isu santet," ujarnya.
Kalau ada kerabat yang meninggal dunia dan penyakitnya dinilai agak aneh, kata dia, sebaiknya dan seharusnya berkonsultasi kepada dokter supaya diketahui penyakitnya.
"Namun, memang sulit untuk mengatasi persoalan yang terkait dengan santet. Hingga sekarang belum ada cara atau metode secara formal untuk membuktikan seseorang itu meninggal akibat disantet," ucapnya.
Aksi lempar bondet yang dilakukan Luddin hanya berselang dua hari setelah kasus ledakan benda serupa di rumah Mas'at, warga Desa Karangnangka, Pulau Raas (15/9).
Akibat ledakan bondet tersebut, empat orang menjadi korban termasuk Mas'at dan salah satunya meninggal dunia, yakni Multiana yang merupakan anak Mas'at.
"Peredaran bondet atau barang berbahaya yang bisa meledak merupakan salah satu potensi kerawanan di Sumenep," kata Susanto, menuturkan.
Saat ini, polisi mengintensifkan kembali sosialisasi tentang bahaya bondet sekaligus meminta warga untuk menyerahkan secara sukarela barang berbahaya tersebut dengan kompensasi tidak akan diproses hukum.
Kegiatan tersebut diawali di Balai Desa Payudan Dundang, Kecamatan Guluk Guluk, pada Senin (19/9), karena kasus terbaru penggunaan bondet terjadi di wilayah tersebut.
"Kami sengaja memulai sosialisasi tersebut dari Desa Payudan Dundang dan selanjutnya akan dilakukan di wilayah lainnya secara bergiliran," kata Kepala Bagian Operasional Polres Sumenep, Kompol Edi Purwanto.
Sosialisasi tentang bahaya bondet maupun petasan pernah digencarkan polisi pada akhir 2010, termasuk dengan menyebarkan selebaran, setelah ada kasus ledakan barang berbahaya tersebut di Dungkek dan Guluk Guluk.
Saat itu pula yang merupakan masa awal Susanto menjadi pimpinan Polres Sumenep, terjadi tiga kasus penganiayaan hingga korban tewas yang dilatarbelakangi isu santet hingga awal 2011.
Sulit
Persoalan yang terkait dengan isu santet agak sulit dicari jalan keluarnya, karena hingga sekarang belum ada metode pembuktian secara formal untuk membuktikan seseorang meninggal dunia akibat santet.
"Dalam konteks tersebut, kami cenderung meyakini santet akan menjadi persoalan laten di kalangan warga. Oleh karena itu, polisi memang harus selalu mewaspadai potensi beredarnya isu santet dan dampaknya di kalangan warga'," ujar dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan, M Ali Al Humaidy.
Saat ini, hal yang bisa dan harus dilakukan adalah penyadaran kepada warga supaya beredarnya isu santet tidak menjadi aksi main hakim sendiri
Untuk sementara, kata dia, pencegahan isu santet menjadi sesuatu yang tidak mengenakkan di kalangan warga hanya bisa dilakukan dengan cara pelaksanaan sumpah pocong, baik bagi warga yang dituduh memiliki santet maupun penuduh.
"Memang susah mengatasi persoalan yang ranahnya di luar hukum positif. Jalan keluar yang kerap digunakan warga untuk mengatasi isu santet akhirnya juga melalui jalan yang tidak diakui oleh hukum positif. Namun, apa pun yang terjadi, sumpah pocong telah mampu menjadi solusi alternatif guna menyelesaikan isu santet," ujarnya, menerangkan.
Malhum, sapaan M Ali Al Humaidy, yang warga Sumenep itu berharap semua elemen masyarakat bahu-membahu mencegah isu santet menjadi aksi main hakim sendiri di kalangan warga.
"Polisi tidak mungkin berhasil menyelesaikan persoalan isu santet, jika bekerja sendiri. Sinergi polisi dengan elemen masyarakat di tingkat paling bawah (desa) merupakan hal yang harus dilakukan," ucapnya.
Ia juga meminta polisi melakukan pertemuan formal dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat secara rutin dan berkesinambungan guna melakukan penyadaran warga terkait isu santet.
"Jalinan komunikasi dan koordinasi polisi dengan pemangku kepentingan di tingkat desa jangan hanya informal. Pertemuan secara formal merupakan hal yang penting sebagai simbol adanya sinergi," kata Malhum, mengungkapkan.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH A Shafraji beberapa kali memimpin ritual pelaksanaan sumpah pocong di sejumlah kecamatan, baik daratan maupun kepulauan.
Di kalangan warga, pelaksanaan sumpah pocong sering dianggap sebagai jalan keluar bagi orang yang dituduh, untuk membuktikan tidak memiliki ilmu santet.
Kiai Shafraji juga mengemukakan, pelaksanaan sumpah pocong yang biasanya dilakukan di masjid dan pada hari Jumat, itu, tidak dilarang oleh Islam.
Dalam Islam, warga yang menyatakan bersumpah demi Allah SWT, sudah punya konsekuensi berat.
"Sumpah pocong itu layaknya sumpah dengan pemberatan, karena orang yang bersumpah dibungkus kain kafan layaknya mayat dan ketika bersumpah, di atas kepalanya terdapat Al Quran," paparnya, menambahkan.
Data di Polres Sumenep, sedikitnya terdapat delapan kali pelaksanaan sumpah pocong yang melibatkan warga yang menuduh seseorang telah menyantet salah seorang kerabatnya dan orang yang menjadi tertuduh, sejak 2009 lalu hingga sekarang.