Warga Bondowoso Mulai Tinggalkan Tradisi Biibih Ramadhan
Kamis, 25 Agustus 2011 13:52 WIB
Bondowoso - Warga di Kabupaten Bondowoso, Jatim, mulai meninggalkan tradisi saling antar nasi "bi'ibih" ke para tetangga pada setiap tanggal 25 dan 27 Ramadhan.
Hapi Tedjo Pramono, tokoh masyarakat di Kecamatan Tenggarang, Bondowoso, Kamis, menjelaskan, tradisi saling antar nasi saat sore hari menjelang malam 25 dan 27 Ramadhan itu sudah banyak dintinggalkan oleh warga di perkotaan dan sekitarnya.
"Kalau di daerh pedesaan mungkin saja masih ada warga yang melestarikan tradisi itu untuk meramaikan tanggal-tanggal ganjil di bulan Ramadhan yang diyakini sebagai turunnya malam 'lailatul qodar' atau malam seribu bulan," katanya.
Mantan Kasi Kebudayaan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bondowoso itu menjelaskan, nasi "bi'ibih" diambil dari kata "bi'ibih" yang merupakan waktu pergantian dari ashar ke maqrib. Karena nasi yang dibungkus daun dengan lauk seadanya itu diantar ke tetangga pada waktu "bi'ibih" itu, maka disebutlah tradisi nasi "bi'ibih".
Biasanya nasih tersebut diberi lauk seadanya, termasuk serundeng yang terbuat dari kelapa diparut dan disangrai hingga kering berwarna cokelat dengan porsi sekepalan tangan orang dewasa. Biasanya setiap rumah membuat sekitar tujuh bungkus nasi dan saling diantar ke tetangga terdekat.
"Intinya adalah saling bersedekah pada 10 hari terakhir bulan suci Ramadhan. Tradisi itu dulunya dilestarikan secara turun temurun. Namun seiring perjalanan waktu, masyarakat sudah meninggalkan tradisi tersebut," katanya.
Ia mengemukakan bahwa di Kelurahan Tenggarang sendiri tradisi itu sudah tidak pernah diingat lagi oleh warga. Untuk memperbanyak amal ibadah sedekah, warga biasanya secara begiliran menyalurkan makanan ke masjid atau mushala yang menggelar acara tadarus setiap malam.
"Sebetulnya tradisi itu kalau dilestarikan bagus karena anak-anak biasanya senang makan nasi 'bi'ibih' itu. Kalau dilestarikan, anak-anak pasti senang dan tahu ada tradisi tersebut di daerahnya," ujarnya menjelaskan.
Mengenai "bi'ibih", Hapi menjelaskan bahwa kata itu digunakan secara salah kaprah dan menjadi sesuatu yang menakutkan bagi anak kecil karena orang-orang tua bisanya menjadikan senjata untuk menakut-nakuti anaknya kalau bermain di saat-saat menjelang maghrib.
"Biasanya orang tua mengancam anak-anak akan diculik oleh 'bi'ibih' kalau bermain di luar rumah saat menjelang maghrib. Padahal 'bi'ibih' itu adalah waktu, bukan makhluk halus," katanya tertawa.