Surabaya (ANTARA) - Pimpinan DPRD Kota Surabaya mengusulkan kepada pemerintah kota setempat agar pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) di "Kota Pahlawan", itu harus sesuai wilayah.
"Saat reses di Tenggilis Mejoyo, warga ingin menginginkan lingkungan bersih dan nyaman dengan pengelolaan sampah yang baik," kata Wakil Ketua DPRD Surabaya Laila Mufidah di Surabaya, Kamis.
Sehingga, kata dia, alur sampah bisa lancar dan tidak ngendon hingga sampai di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo, Surabaya.
Ia menjelaskan sampah dari seluruh warga kampung tidak terhambat dibawa ke tempat TPS di kelurahan tersebut. Dari TPS ini bisa segera dibawa ke TPA. Namun kelancaran pengangkutan sampah tersebut muncul masalah. Bahkan persoalan ini sudah cukup lama.
Saat Laila Mufidah turun langsung ke kampung Tenggilis, persoalan pengelolaan sampah tingkat kampung ini dikeluhkan warga.
"RW curhat karena petugas penarik gerobak sampah kampung mengeluh ada semacam pemberlakuan tarif gerobak sampah ke TPS," katanya.
Saat menggelar reses di wilayah tersebut, ia terus mendapat keluhan warga soal Pengelolaan sampah yang tidak dikelola dengan baik. Warga sudah berpartisipasi dengan menyediakan tempat sampah rumah dan membayar iuran sampah.
Saban KK berlaku iuran sampah. Iuran ini untuk pengelolaan sampah tingkat kampung di antaranya yang utama adalah untuk membayar petugas penarik gerobak sampah dari rumah-rumah warga. Dari tempat sampah rumah diangkut gerobak menuju TPS.
Setiap KK rata-rata membayar Rp10.000 per bulan. Hasilnya untuk memberi honor petugas penarik gerobak sampah di kampung. Setiap petugas berhak atas honor antara Rp1 juta - Rp1,5 juta per bulan. Namun petugas gerobak ini dihadapkan pada persoalan di TPS.
Menurut dia partisipasi warga untuk lingkungan kampung itu sudah baik. Selain gotong royong warga juga kebersamaan demi kepentingan bersama. Namun yang bikin kaget adalah ada dugaan oknum yang memanfaatkan alur sampah dari petugas gerobak ke TPS untuk keuntungan pribadi.
Tradisi Kurang Baik
RW di Tenggilis menyampaikan bahwa ada tradisi kurang baik untuk pengelolaan sampah. Ada dugaan pungli dengan menerapkan tarif agar gerobak sampah diangkut ke truk sampah. Oleh oknum truk pengangkut, sampah gerobak diangkut kalau memberi tips.
Besarannya Rp30.000 per gerobak. "Semula saya menduga ada oknum yang melakukan praktik pungli. Tapi warga sudah detail mengaku bahwa harus ada tips kalau mau sampah gerobak cepat diangkut. Kalau tidak, gerobak bisa nginap," katanya.
Politikus perempuan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini tidak ambil pusing dengan istilah tips atau sogok atau pungli sekalipun. Itu maknanya juga sama. Pimpinan DPRD ini menolak pungli bentuk apa pun. Sebab Pemkot Surabaya sudah mempunyai petugas yang memang khusus menangani pengelolaan sampah.
Petugas dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Surabaya sudah bertanggung jawab atas pengangkutan sampah dari TPS ke TPA. Apakah ada pihak ketiga yang ikut mengelola sehingga memberlakukan tradisi Kurang baik tadi.
Ia menegaskan, Dinas DLH harus bertanggung jawab atas pengangkutan sampah dari TPS ke TPA. Pemerintah harus hadir dalam memberikan layanan sampah tanpa perlu lagi ada tambahan biaya apa pun yang dipungut dari warga.
Dirinya mendesak agar pengelolaan sampah di Kota Surabaya dilakukan dengan baik dengan berorientasi pada layanan kepada masyarakat. Apalagi semua pegawai dan petugas dari DLH termasuk yang outsourcing juga sudah mendapat gaji dan honor dan yang dibutuhkan saat ini adalah ketegasan dan pengawasan dari dinas terkait.
Apalagi setiap TPS diyakini ada pegawai DLH yang bertanggung jawab. Pengawasan diperlukan untum menjadikan tugas menjadi penuh tanggung jawab gar Praktik dan tradisi kurang baik dalam pengelolaan sampah di Kota Surabaya tidak terjadi.
Pahlawan Lingkungan
Laila Mufidah menyebut bahwa yang mendesak untuk disegerakan adalah keberadaan TPS di setiap wilayah harus representatif. Keluhan warga selama ini TPS kerap menumpuk.
Kalau TPS tidak cukup menampung buangan sampah rumah tangga beberapa kelurahan tidak usah dipaksakan. Ketercukupan TPS di setiap kelurahan harus dipikirkan. Apalagi jumlah penduduk akan semakin bertambah dalam satu kelurahan.
"Paling ideal sebenarnya satu kelurahan satu TPS. Kalau terpaksa untuk beberapa kelurahan, sirkulasi sampah untuk diangkut ke TPA bisa disegerakan dengan kapasitas angkut maksimal. Sambil memikirkan aset Pemkot di kelurahan untuk TPS," katanya.
Perempuan berhijab ini menegaskan bahwa sistem pengelolaan sampah jauh lebih mendesak. Terutama sirkulasi dan kelancaran pengangkutan sampah dari rumah-rumah ke TPS dan dari TPS ke TPA. Dia tidak ingin lagi menemukan praktik pungli berkedok apapun dalam pengelolaan sampah.
Pihaknya mengapresiasi kinerja para petugas kebersihan. Terutama warga yang mau menjadi penarik gerobak sampah. Tidak semua warga mau bergelut dengan sampah dengan menarik gerobak sampah dari rumah-rumah ke TPS.
Namun, ia ikut terpukul saat mendapat laporan RW bahwa gerobak yang sudah didorong sampai ke TPS tidak juga diangkut. Antrean gerobak biasanya memanjang saat pagi. Ironisnya situasi ini dimanfaatkan oleh oknum tertentu.
"Kok ya tega memberlakukan tips bagi penarik gerobak sampah. Kalau tidak diberi tips sampah di gerobak dibiarkan. Kasihan, mereka adalah pahlawan lingkungan yang bikin kampung dan rumah warga bebas sampah," kata Laila.
Dia meminta agar praktik pungli itu dihentikan. Petugas penarik gerobak sampah itu bangun lebih pagi dan menyisir tempat-tempat sampah warga.
"Jerih payahnya demi lingkungan bersih harus dihargai. Bukan malah dibebani tips ke truk sampah sehingga pendapatan untuk keluarga terkurangi," demikian Laila Mufidh.