Jakarta (ANTARA) - Amerika Serikat dan dua sekutu dekatnya, Korea Selatan dan Jepang, pada awal Desember menjatuhkan sanksi kepada sejumlah pejabat Korea Utara atas uji coba rudal balistik antarbenua (ICBM) yang dilakukan negara itu bulan lalu.
Akan tetapi, upaya-upaya AS dan sekutunya di Asia itu agar Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) menjatuhkan sanksi baru kepada Korut selalu digagalkan Rusia dan China.
Kedua anggota tetap DK PBB itu –selain AS, Inggris, dan Prancis– menggunakan hak veto mereka untuk mencegah pengesahan resolusi yang menambah panjang deretan sanksi internasional kepada Korut.
DK PBB sejak 2006 telah menjatuhkan sembilan sanksi kepada Korut yang dikaitkan dengan pengembangan senjata nuklir.
Sanksi terakhir pada Desember 2017 membatasi impor energi Korut dan melarang ekspor sejumlah komoditas negara itu.
Rusia dan China berdalih bahwa sanksi baru akan menambah kesengsaraan bagi rakyat Korut.
Menurut mereka, sanksi-sanksi yang ada seharusnya dilonggarkan agar pemimpin Kim Jong Un mau kembali ke meja perundingan perlucutan senjata nuklir atau denuklirisasi.
Jika pada resolusi-resolusi DK PBB sebelumnya kelima pemegang hak veto kompak menjatuhkan sanksi, kenapa kali ini tidak?
Efek "Perang Dingin"
Sejak invasi Rusia di Ukraina pada Februari lalu, peta geopolitik dunia seperti kembali ke era Perang Dingin (1947-1991) ketika dua kekuatan besar –AS dan Uni Soviet (kini Rusia)– bersaing menjadi "penguasa dunia".
Invasi tersebut telah menempatkan AS dan sekutunya di satu sisi serta Rusia dan "para mitranya" di sisi lain, sehingga tensi politik meningkat dan meluas ke luar Eropa.
Polarisasi itu memengaruhi sikap kedua kubu terhadap konflik di Semenanjung Korea, di mana dua negara serumpun tinggal berdampingan tetapi saling bermusuhan.
Korsel dan Jepang merasa khawatir dengan akselerasi pengembangan rudal Korut.
Pada awal November, rudal yang sedang diuji Korut jatuh di dekat perairan Korsel. Sebelumnya, rudal Korut dilaporkan terbang di atas Jepang.
Dengan kemampuan jelajah lebih jauh, rudal-rudal Korut –jika dipasangi hulu ledak nuklir– tidak hanya mengancam seteru di dekatnya.
ICBM Hwasong-14, misalnya, bisa mengancam musuh yang berada di benua lain, termasuk AS. Rudal itu secara teoritis mampu menempuh jarak lebih dari 10.000 km.
Jika Hwasong-14 bisa menjangkau New York, bagaimana dengan rudal Hwasong-17 yang katanya mampu meluncur sejauh 15.000 km?
Rudal-rudal seperti itulah yang diduga diluncurkan Korut pada November, yang mendorong AS, Korsel, dan Jepang menjatuhkan sanksi tambahan tanpa melalui DK PBB.
Apakah sanksi-sanksi itu berhasil membuat ciut nyali Korut?
Rudal terus diuji coba
Sepanjang tahun ini sejak awal Januari, Korut telah menguji coba rudal buatannya dengan frekuensi dan percepatan (pace) yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kim Jong Un telah memerintahkan lebih dari 92 uji coba rudal balistik dan rudal lain selama tahun 2022, jauh lebih banyak daripada 23 uji coba yang digelar Korut sepanjang 2021.
Pada 16 Desember lalu, negara paling tertutup di dunia itu mengetes sebuah mesin roket bertenaga bahan bakar padat.
Dua hari kemudian, dua rudal balistik jarak menengah diluncurkan sembari menguji teknologi satelit mata-mata militer.
Seperti biasa, Korsel mengecam peluncuran itu. Lagi-lagi, Korut membalasnya dengan lugas bahwa mereka tidak akan berhenti.
"Kenapa kami takut dengan sanksi yang sejauh ini telah sering kami alami dan bukan yang pertama kali, dan kenapa kami akan berhenti?" kata Kim Yo Jong, adik perempuan Kim Jong Un.
Korsel sedang menyelidiki apakah teknologi itu berkaitan dengan upaya Korut membangun ICBM berbahan bakar padat.
Rudal semacam itu mudah diangkut dan lebih cepat diluncurkan –sehingga sulit dicegat– daripada rudal berbahan bakar cair.
Banyaknya uji coba rudal dan teknologi pendukungnya memicu spekulasi bahwa Korut sedang bersiap mengetes bom nuklirnya dalam waktu dekat.
Jika benar-benar terjadi, pengujian itu akan menjadi tes senjata nuklir pertama Korut sejak 2017 dan yang ke-7 sejak 2006.
Jika Korut melakukan uji coba senjata nuklir lagi dan berhasil, lengkaplah sudah kekhawatiran musuh-musuhnya bahwa Pyongyang akan memiliki kemampuan menyerang mereka dari jauh dengan senjata pemusnah massal.
Ancaman perang nuklir
Saat ini diperkirakan terdapat hampir 13.000 hulu ledak nuklir di seluruh dunia, 9.600 di antaranya berstatus aktif alias siap diluncurkan kapan saja.
Lebih dari 90 persen hulu ledak itu dikuasai Rusia dan AS, sisanya oleh tujuh negara lain: China (350), Prancis (290), Inggris (225), Pakistan (165), India (156), Israel (90), dan Korut (50).
Dari sembilan negara itu, hanya lima yang terikat oleh Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) 1968.
Pakistan, India, dan Israel tidak pernah menekennya, sedangkan Korut keluar dari perjanjian itu pada Januari 2003.
Tidak terikat lagi oleh NPT, Korut merasa bebas mengembangkan persenjataan nuklir dengan dalih membela diri.
"Uji coba rudal kami adalah sebuah tindakan bela diri yang normal dan terencana untuk melindungi keamanan negara kami dan perdamaian di kawasan dari ancaman militer AS secara langsung," tulis kantor berita resmi KCNA, mengutip seorang pejabat Korut.
Pernyataan Korut semacam itu biasanya merujuk pada latihan-latihan perang yang kerap digelar oleh AS dan Korsel di sekitar Semenanjung Korea.
Pada Oktober lalu, misalnya, AS dan Korsel menggelar latihan perang laut yang melibatkan kapal induk bertenaga nuklir USS Ronald Reagan.
Kim Jong Un menegaskan bahwa dalam hal pengembangan senjata nuklir, dirinya "tidak akan pernah menyerah".
Sang adik pernah menolak tawaran bantuan kemanusiaan dari Seoul jika Pyongyang mau kembali berunding soal denuklirisasi.
"Tak seorang pun sudi menukar takdirnya dengan kue jagung," kata Kim Yo Jong.
Aksi-reaksi dalam konflik di semenanjung itu berpotensi menimbulkan salah paham, terlebih jika menyeret negara lain yang juga memiliki senjata nuklir seperti AS.
Apalagi, Korut bulan lalu sudah mengeluarkan peringatan bahwa mereka tak akan segan-segan menggunakan kekuatan nuklirnya untuk menghadapi "ancaman AS".
"Kim Jong Un menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa jika musuh terus menimbulkan ancaman… partai dan pemerintah kami akan tegas membalas nuklir dengan nuklir dan membalas konfrontasi total dengan konfrontasi habis-habisan," tulis KCNA, mengutip seorang pejabat Korut.
Jika ketegangan seperti ini terus berlangsung dan tak ada upaya untuk meredakannya, bukan tidak mungkin akan terjadi konflik lebih luas yang melibatkan negara-negara lain, seperti perang di Ukraina.
Dan jika konflik itu terjadi dan melibatkan senjata nuklir, efeknya akan lebih mengerikan.