Probolinggo, Jawa Timur (ANTARA) - Upacara Yadnya Kasada yang dilaksanakan Suku Tengger di kawasan Gunung Bromo, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, pada 15-16 Juni 2022, menyisakan kisah unik dan menarik bagi sejumlah kalangan, utamanya wisatawan domestik maupun mancanegara. Dibalik ritual-ritual yang dijalani Suku Tengger ini, ternyata terdapat kearifan lokal yang dijunjung tinggi masyarakatnya terkait labuh sesaji dan aktivitas para Marit.
Selain menarik untuk disaksikan, ternyata dibalik ritual-ritual adat yang dimiliki masyarakat yang mendiami lereng Gunung Bromo tersebut memiliki makna luhur yang tidak banyak orang paham dan selalu terjaga kelestariannya hingga kini.
Salah satu yang paling umum ialah ritual adat labuh sesaji di kawah Gunung Bromo pada puncak perayaan Yadnya Kasada, yakni momentum seluruh masyarakat Tengger dari berbagai penjuru berdatangan untuk mengorbankan aneka sesajen di antaranya berupa buah-buahan, hewan ternak dan uang yang diwadahi dalam ongkek.
Saat menyaksikan ritual labuh sesajen, perhatian pasti akan tertuju kepada puluhan orang yang nampak sibuk, bahkan saling berebut untuk menangkap dan mengumpulkan sesaji yang dilemparkan warga Suku Tengger ke arah kawah Gunung Bromo yang mengeluarkan kepulan asap putih.
Mereka disebut para Marit, yang beraktivitas sejak malam hingga siang hari setelah upacara Yadnya Kasada usai. Mereka jauh-jauh hari sudah tiba ke Gunung Bromo, bahkan sengaja membuat tenda darurat di bibir terluar kawah, di samping beton pembatas atau keamanan yang dipasang petugas.
Melihat para Marit berjibaku saat menangkap sesaji membuat siapa pun akan bergidik ngeri karena tempat berpijak mereka memiliki kemiringan yang sangat ekstrem,, namun mereka tak tampak rasa takut sedikitpun.
Kaki-kaki para Marit itu seakan lekat dengan dinding kawah Gunung Bromo saat berlarian mengejar arah jatuhnya sesaji yang dilemparkan warga Suku Tengger saat ritual labuh sesajen pada Yadnya Kasada.
Sebagian besar dari Marit percaya dan yakin bahwa mereka mendapatkan perlindungan dari Sang Hyang Widhi dan para leluhurnya saat menjalani profesi Marit, sehingga tidak heran walaupun dalam kondisi hujan bahkan erupsi sekalipun, para pemberani itu tetap tegar dan tak bergeming menangkap sesaji di tebing kawah.
Salah seorang Marit yakni Agus Sugianto, pria muda berusia 34 tahun asal Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan mengatakan selama 7 tahun menjalani profesi sebagai Marit pada setiap Yadnya Kasada dirinya tidak pernah mengalami tergelincir atau terjatuh yang kemudian dapat mencelakainya.
"Tidak pernah takut jatuh atau celaka, karena kami yakin dijaga oleh Mbah Bromo. Sebelumnya kami juga selalu meminta izin terlebih dahulu untuk mencari rezeki yang halal dan barokah di sekitar kawah Bromo," kata bapak dua anak itu.
Setiap mengais rezeki dari profesi Marit itu, sedikitnya Rp1 juta berhasil dikumpulkan selama dua hari dan belum lagi hasil dari sesaji lainnya yang berupa hasil ternak seperti ayam, kambing serta hasil bumi, sehingga totalnya sekitar Rp2 juta bisa diperoleh.
Ia mengatakan sebagian hasilnya bisa untuk menambah penghasilan keluarga dan sebagian lagi bisa untuk tambahan modal untuk menanami ladangnya.
Ternyata para Marit itu tidak hanya ada di sekitar kawah Gunung Bromo saja, tetapi mereka juga terlihat mengais rezeki Yadnya Kasada pada pelataran Astana yang lokasinya berada tepat sebelum anak tangga menuju kawah Gunung Bromo.
Salah seorang Marit dari Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Satuli mengatakan selain labuh sesajen di kawah Bromo, warga Suku Tengger juga menyuguhkan sesaji di Astana sakral itu dan banyak diantara mereka yang juga menyedekahkan uang di sana, sehingga para Marit berburu rezeki di sana.
Seperti pada umumnya para kaum Marit, Satuli dan keponakannya Tuwi (20) juga telah berada di Astana tersebut sejak Hari Rabu (15/6) tepatnya sehari sebelum pelaksanaan puncak perayaan Yadnya Kasada untuk mengais rezeki.
Kearifan lokal
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Probolinggo Bambang Suprapto mengatakan keberadaan kaum Marit memang sangat lekat dengan Yadnya Kasada masyarakat Tengger di Gunung Bromo.
"Marit sudah ada seiring dengan adanya ritual Yadnya Kasada karena masyarakat Tengger secara turun temurun juga meyakini setiap sesaji yang sudah dilabuh itu juga memiliki berkah tersendiri, terlebih lagi yang berupa hasil bumi," katanya.
Banyak yang percaya jika hasil dari Marit itu ditanam kembali di ladang bersama dengan tanaman lainnya, maka hasil panennya akan lebih baik dari tahun sebelumnya.
Hal tersebut diyakini warga Tengger karena keberkahan dari japa mantra yang sebelumnya dibacakan oleh para Rama dukun sebelum sesaji di labuh di kawah Gunung Bromo, dimana salah satu pengharapannya adalah kesuburan bumi.
Merujuk kepada hal tersebut Bambang menjelaskan bahwa Marit sejatinya bukan untuk mencari keuntungan dengan cara mengumpulkan labuh saji sebanyak-banyaknya, jadi sebenarnya itu bukan untuk dimakan atau dijual, tetapi lebih untuk dikembangkan lagi.
Ia mengimbau kepada para Marit agar senantiasa menjaga etika sebagai Marit karena seharusnya labuh sesaji itu baru boleh diambil ketika sudah menyentuh tanah, tidak direbut dan dipaksanakan, apalagi sampai harus membuat alat berupa jaring tangkap dan sebagainya.
Bambang mengatakan, sebenarnya hal itu sudah sering disampaikan dan informasikan, namun namanya manusia, ada saja yang kurang menghiraukan imbauan itu dan pihaknya berharap semoga keberadaan Marit ini menjadi penanda berkahnya perayaan Yadnya Kasada.
Sementara Pelaksana Tugas Bupati Probolinggo Timbul Prihanjoko mengapresiasi kearifan lokal Suku Tengger yang selalu menjadi daya tarik wisatawan, sehingga dapat menjadi penunjang utama wisata di Gunung Bromo.
Beragam ritual dan adat saat Yadnya Kasada seperti Mendak Tirta atau ritual mengambil air suci di air terjun Madakaripura yang berada di Desa Negororejo, Kecamatan Lumbang selalu dilakukan yang menjadi tanda awal prosesi peringatan Yadnya Kasada.
Menurutnya wisata Gunung Bromo boleh saja semakin maju dengan berbagai inovasinya, akan tetapi budaya warga Suku Tengger tidak boleh berubah karena kearifan lokal masyarakat Tengger adalah penunjang utama wisata Gunung Bromo.
Adat dan budaya Tengger di wilayah Gunung Bromo tidak hanya berpusat di Kecamatan Sukapura saja, tetapi juga berada di kecamatan sekitarnya, sehingga hal itu merupakan kekayaan yang harus dirawat dan dijaga agar destinasi wisata Gunung Bromo tetap diminati wisatawan khususnya mancanegara.
Perjuangan Marit yang mempertaruhkan nyawanya demi mendapatkan sesajen yang sudah diberi mantra merupakan salah satu keunikan dan kearifan lokal yang terus dilestarikan oleh warga Tengger hingga kini.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kisah perjuangan "Marit" tangkap sesajen di kawah Bromo saat Kasada