Jakarta (ANTARA) - Sebelum menaklukkan Liverpool dalam final Liga Champions di Stade de France di Paris beberapa jam lalu, Real Madrid mengalahkan klub-klub berorientasi menyerang yang berorganisasi hebat nan dipenuhi pemain-pemain berbakat yang di antaranya bahkan para superstar lapangan hijau era ini.
Setelah dua kali mengalahkan Inter Milan selama fase grup, Los Blancos melakukan pembalikan heroik yang memukau jagat sepak bola.
Pertama, ketika tertinggal 0-1 dalam leg pertama 16 besar dari Paris Saint Germain yang bertabur bintang, termasuk Kylian Mbappe yang sempat mereka incar, Lionel Messi dan Neymar. Madrid berbalik menang 3-1 dalam leg kedua di kandang sendiri.
Kedua, dalam perempat final. Mereka membungkam Chelsea 3-1 di kandang sendiri pada leg pertama, sebelum mencetak dua gol yang nyaris mustahil saat Chelsea sudah di ambang menggenggam tiket semifinal, sehingga mereka yang justru lolos ke semifinal dengan agregat 5-4.
Ketiga, dalam semifinal melawan Manchester City yang ahli mendikte lawan lewat dominasi penguasaan bola.
Di sini, mereka kalah tipis 3-4 pada leg pertama. Lalu menciptakan dua gol pada menit tambahan babak kedua untuk memaksakan agregat sama 5-5 sehingga laga dilanjutkan ke babak perpanjangan waktu.
Tak perlu menunggu dua babak tambahan selesai, Karim Benzema mencetak gol pada menit 95 untuk membunuh impian City mencapai final Liga Champions keduanya dalam sejarah klub ini.
Lalu, Minggu dini hari tadi di pinggiran kota Paris yang kickoff-nya sempat tertunda oleh masalah keamanan yang kemudian dipermasalahkan Liverpool, The Reds menjadi korban berikutnya Real Madrid.
Meredam tekanan lawan sembari jeli memanfaatkan kesempatan yang sangat sedikit mereka dapatkan, Real memupus impian tiga gelar The Reds dengan mengangkat trofi Liga Champions yang ke-14 kalinya setelah umpan silang jenius Federico Valverde dituntaskan oleh Vinicius Junior pada awal babak kedua.
Total mereka menaklukkan tiga tim Inggris yang diasuh tiga pelatih dengan dua mazhab sepakbola modern yang membuat mereka mendominasi Liga Inggris dan arena-arena lain, serta menjadi kiblat sepak bola menyerang se-Eropa saat ini.
Pelatih mereka, Carlo Ancelotti, tidak memiliki filosofi pasti dalam cara bola dikelola di lapangan hijau, tapi kelenturan taktiknya ampuh meredam tim-tim berfilosofi pasti.
Ancelotti membuat gegenpressisng dan sepak bola heavy metal yang dihunus Juergen Klopp dan Thomas Tuchel di Liverpool dan Chelsea tidak efektif menjungkalkan mereka.
Tidak itu saja, pragmatisme Ancelotti membuat juego de posicion-nya Pep Guardiola di Manchester City belum cukup menjadi jaminan untuk menaklukkan Si Raja Eropa.
Gabungan tradisi memainkan pertandingan level puncak --final 28 Mei tadi itu adalah final ke-17 Real Madrid dalam Liga Champions/Piala Eropa-- dan pelatih yang piawai memoles tim dan tahu pasti strategi apa yang mesti diterapkan sebuah tim kala menghadapi tim-tim berbeda, adalah kunci terbesar di balik sukses Real Madrid.
Ancelotti sungguh ahli dalam memilih strategi mana yang cocok untuk sebuah pertandingan. Tak seperti Klopp atau Guardiola, dia tak terpaku kepada satu formasi pasti atau bahkan tak menganut filosofi tertentu. Sebaliknya dia selalu beradaptasi.
Di AC Milan dari 2001 sampai 2009 dia mengadopsi formasi berlian. Selama dua tahun bersama PSG pada 2011-2013, pola 4-3-3-lah yang dia kerahkan.
Sementara selama hampir satu tahun di Napoli sampai Desember 2019, dia memasang 4-4-2. Lain lagi dengan sepanjang periode kepelatihan pertamanya di Madrid dari Juni 2013 sampai Mei 2015 ketika dia lebih menyukai 4-2-3-1.
Menyerupai pecatur
Pelatih yang kini sudah empat kali menjuarai Liga Champions itu lebih menyerupai pecatur yang sedang memainkan buah catur, ketimbang pelatih yang mengomandoi tim di pinggir lapangan.
Kini dia mengubah Real sebagai tim yang menjadi ancaman untuk lawan yang konstan menekan lawan seperti Liverpool.
Tekanan tiada henti The Reds berulangkali diganggu pemain-pemain Real. Tak sekadar menekan, Madrid ini juga terus mencari, mendapatkan dan lalu mengeksploitasi titik lemah The Reds yang Minggu dini hari tadi itu terletak di sayap kanan pertahanannya yang diisi Trent Alexander-Arnold.
Bek kanan timnas Inggris itu rajin membantu serangan tapi sering terlambat membantu pertahanan. Dan ini dimanfaatkan Real dengan cara mengadunya dengan pemain sayap Vinicius Jr yang cekatan, cepat, bertenaga, terampil mendribel bola dan klinis.
Dari titik ini pula gol Real tercipta. Alexander-Arnold luput mengawal pemain Brazil berusia 21 tahun itu karena The Reds memang tak terbiasa mengawal pemain lawan. Mereka hanya perlu berada di tempat tepat pada saat yang tepat seperti sering diperlihatkan Virgil van Dijk.
Liverpool hampir selalu berhasil dengan pendekatan ini, tetapi bekal ini belum cukup menghentikan pemain-pemain liar bermanuver seperti Vinicius, dan juga rekannya Federico Valverde di sayap kanan yang membuat bek kiri Andy Robertson sering terteror. Mungkin hanya Benzema yang mendapatkan perhatian lebih dari Liverpool.
Tetapi pertarungan di lapangan tengah juga seru karena para gelandang Madrid berani mengganggu tekanan Liverpool dari tengah, sementara lini pertahanan mereka aktif menutup Sadio Mane dan Mohamed Salah walau tak begitu efektif, namun cukup berhasil mematikan Luis Diaz.
Di atas itu semua, adalah kiper Thibaut Courtois yang luar biasa sigap yang menjadi faktor terbesar di balik kegagalan Liverpool dalam merengkuh trofi juara Eropa ketujuhnya.
Tetapi pemain-pemain hebat tersebut tak mungkin tampil setangguh itu kalau tidak dipoles oleh pelatih yang jeli mengenali timnya dan sekaligus dalam-dalam mempelajari kekuatan serta kelemahan lawan yang nyaris sempurna seperti Liverpool sekalipun.
Ancelotti sendiri tahu pasti apa yang dia bisa harapkan dari pemainnya. Tapi dia juga tahu koneksi tradisi juara dengan tekad kuat pemainnya dalam memenangkan pertandingan.
Catatan 17 kali mencapai final dan 14 kali memenanginnya membuktikan tidak saja skuad dan pelatih yang hebat yang diperlukan untuk memenangkan turnamen seperti Liga Champions. Karena itu juga membutuhkan tradisi dan mentalitas juara yang belum dipunyai Man City dan PSG yang sudah mengeluarkan dana luar biasa besar untuk membentuk tim yang bisa menjuarai Liga Champions.
Madrid menunjukkan sukses tak saja soal uang, pelatih yang kreatif, pemain yang cemerlang, tetapi juga mentalitas juara yang tak lekang oleh waktu dan tak pupus oleh keluar masuknya pelatih-pelatih beragam pendekatan.
Di sisi lain, Ancelotti juga bisa menjadi referensi dalam bagaimana sebaiknya memasang strategi ketika menghadapi tim-tim yang tak henti menyerang dan menekan seperti Liverpool.
Tapi, bukan dengan cara menumpuk pemain di belakang, melainkan dengan meredam kekuatan mereka, mencari celah kelemahannya, dan tak lupa mengenali dengan baik timnya sendiri.
Ketika semua itu didapatkan, maka tinggal dimuntahkan kembali menjadi tekanan balik yang membuat lawan takluk, sekecil apa pun tekanan itu, dan sesingkat apa pun waktu dibutuhkan untuk membuat tekanan balik itu.
Ancelotti dan Madrid menawarkan perspektif lain bagaimana sepak bola didekati, tanpa tak terlalu khawatir dikritik karena memainkan sepakbola yang tidak seatraktif Liverpool, Manchester City atau Barcelona.
Lagi pula, bersama pemain-pemain seperti Benzema, Vinicius Junior, Valverde, dan Courtois, sebuah tim serangan balik tetap menarik untuk disaksikan dan bisa membuat kompetisi makin dramatis nan menghibur.