Yogyakarta (ANTARA) - Selain pesona panoramanya yang indah, Gunung Merapi yang kokoh berdiri di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah masih menyimpan potensi bahaya.
Hal itu ditunjukkan dengan status Siaga atau Level III yang masih melekat dan belum diturunkan BPPTKG sejak pertama ditetapkan pada 5 November 2020.
Berdasarkan hasil pengamatan visual dan instrumental BPPTKG periode 17 sampai 23 Desember 2021, aktivitas gunung api aktif di Indonesia itu dinyatakan masih cukup tinggi berupa aktivitas erupsi efusif.
Selama periode itu, awan panas guguran Merapi meluncur empat kali sejauh 2.500 meter ke hulu Sungai Bebeng dan 112 kali guguran lava sejauh 2.000 meter ke arah barat daya.
Erupsi efusif adalah kondisi di mana magma terbentuk dalam kondisi cair dan keluar ke permukaan dengan cara mengalir atau meleleh.
Potensi bahayanya hingga kini masih berupa guguran lava dan awan panas pada sektor tenggara-barat daya sejauh maksimal 3 kilometer (km) ke arah sungai Woro, dan sejauh radius 5 km ke arah sungai Gendol, Kuning, Boyong, Bedog, Krasak, Bebeng, dan sungai Putih.
Erupsi efusif relatif lebih aman dibandingkan erupsi eksplosif yang magmanya terbentuk lebih kental dan keluar ke permukaan dengan disertai ledakan akibat penyumbatan gas.
Menurut BPPTKG, apabila terjadi letusan eksplosif di Merapi, lontaran material vulkaniknya diperkirakan bisa menjangkau radius 3 km dari puncak.
Secara berkala, BPPTKG terus mengukur volume kubah lava di Merapi.
Perlu diketahui bahwa Gunung Merapi memiliki dua kubah lava yang sama-sama tumbuh. Kubah lava yang muncul pertama berada di sisi barat daya Merapi, tepatnya di atas lava sisa erupsi tahun 1997. Sedangkan kubah lava kedua terpantau BPPTKG pada 4 Februari 2021 berada di tengah kawah puncak gunung itu.
Melalui analisis morfologi terbaru dari foto udara yang diambil dari Stasiun Kamera Tunggularum, Ngepos, serta Babadan-2, teramati penambahan tinggi kubah lava barat daya Merapi mencapai 2 meter.
Volume kubah lava di barat daya tercatat sebesar 1.654.000 meter kubik dan kubah tengah sebesar 3.007.000 meter kubik.
Strategi kesiapsiagaan
Dengan guguran lava dan awan panas yang sewaktu-waktu bisa keluar dari Merapi, masyarakat diminta tidak melakukan kegiatan apapun di daerah potensi bahaya sesuai radius bahaya yang telah ditetapkan.
Aktivitas penambangan di sepanjang alur sungai yang berhulu di Gunung Merapi dalam kawasan risiko bencana (KRB) III juga direkomendasikan BPPTKG untuk dihentikan guna mengantisipasi bahaya lahar hujan yang meluncur dari puncak.
Merespons rekomendasi BPPTKG, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY telah menyiapkan strategi kesiapsiagaan dengan membangun pos pemantauan dan pos kesiapsiagaan di tiga titik yaitu sektor tengah, sektor barat, dan sektor timur.
Pembagian tiga titik kesiapsiagaan itu mengacu kawasan sungai yang berhulu Merapi.
Sektor barat yakni wilayah lereng Merapi yang berada di sisi barat sungai Gendol, sektor tengah berada di antara sungai Gendol dan sungai Boyong, dan sisi timur berada di timur sungai Gendol.
Menurut Kepala Bidang Operasi Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD DIY Endro Sambodo, pembagian tiga titik kesiapsiagaan tersebut penting agar saat terjadi situasi darurat para relawan tidak perlu melompati sungai yang berpotensi dialiri banjir lahar hujan dari puncak secara tiba-tiba.
Dengan strategi tersebut, para relawan yang melakukan upaya evakuasi atau percepatan tindakan kedaruratan lainnya bisa dilakukan secara cepat tanpa melalui kawasan bahaya.
Saat terjadi erupsi atau banjir lahar hujan yang berpotensi membahayakan warga, Tim TRC BPBD DIY telah membuat skenario yang matang.
Personel TRC yang berada di masing-masing pos kesiapsiagaan terus melakukan koordinasi dengan BPBD Sleman, serta seluruh potensi relawan desa.
Masing-masing pos kesiapsiagaan mengampu sejumlah desa yang memungkinkan mendapatkan ancaman langsung dari erupsi Merapi. Pos di sektor barat, misalnya, telah ditentukan untuk mengampu Desa Wonokerto, Girikerto, dan Purwobinangun.
“Kalau situasi masih landai siaga seperti saat ini kami terus lakukan koordinasi. Begitu (status) awas atau ada potensi mengancam keselamatan jiwa maka fungsinya jadi komando,” ujar Endro Sambodo.
Saat terjadi erupsi yang memungkinkan menjangkau permukiman, menurut dia, “tombol panik” akan langsung ditekan, efakuasi ke kawasan aman segera dilakukan disertai pendataan warga di masing-masing desa.
Kekuatan komunikasi
Komunikasi sesama relawan, TRC BPBD serta instansi terkait, khususnya BPPTKG dan BMKG dengan warga desa di lereng Merapi menjadi kekuatan yang tidak bisa ditawar.
Selain penguatan mitigasi bencana, komunikasi memiliki peran penting untuk membangun kepekaan serta terus merawat kesiapsiagaan warga apabila sewaktu-waktu muncul situasi darurat di lereng Merapi.
BPBD Sleman bersama BPBD DIY terus mengupayakan agar berbagai informasi terbaru mulai dari perkembangan aktivitas vulkanik terkini hingga curah hujan di puncak Merapi secara rutin didapatkan masing-masing warga. Modalnya adalah jaringan komunikasi yang kuat baik melalui ‘handy talky’ (HT) maupun berbagai grup whatsapp.
Atas dasar kebutuhan itu, hampir seluruh relawan, tidak terkecuali warga yang ada di lereng Merapi memiliki HT.
Ketua Tagana Sleman, Sriyono menilai sarana komunikasi tersebut juga mampu membentengi warga Merapi dari serangan hoaks atau kabar bohong yang kerap muncul soal “wedus gembel” atau berbagai aktivitas vulkanik lainnya yang bertujuan membuat masyarakat panik.
Perbaikan jalur evakuasi
Untuk memastikan berbagai kegiatan penyelamatan dan evakuasi warga berlangsung lancar saat terjadi bencana, BPBD Kabupaten Sleman terus melakukan penyempurnaan jalur evakuasi. Pada 2022, sejumlah jalur evakuasi bakal diperlebar.
Sejumlah ruas jalur evakuasi yang yang diproyeksikan bakal diperlebar tahun depan antara lain berada di wilayah Turgo, Ngandong, dan Tritis, hingga jalur alternatif Pakem serta Girikerto, Sleman.
Meski perlu diperlebar, Kepala Seksi Mitigasi Bencana BPBD Sleman Joko Lelono memastikan bahwa kondisi sebagian besar jalur evakuasi Merapi di wilayah Sleman masih dalam kondisi baik.
Di Kabupaten Sleman, jalur evakuasi Merapi terus dijaga kelayakannya beserta fungsinya. Hal itu dipastikan dengan penerbitan Surat Keputusan (SK) Bupati Sleman Nomor 81.2/kep.KDH/2019 tentang Jalur Evakuasi Bencana Erupsi Gunung Merapi.
Hingga kini tercatat total sebanyak 204 jalur evakuasi Merapi yang seluruhnya dipastikan Bupati Sleman Kustini Sri Purnomo dalam kondisi baik. Jika diukur panjangnya, jalur evakuasi itu secara keseluruhan mencapai 316,60 km.
Pengalaman erupsi Merapi yang terjadi pada 2010 cukup menempa masyarakat yang hidup di lereng gunung itu.
Dengan pola kesiapsiagaan, serta penguatan komunikasi yang terbangun matang, masyarakat tidak lagi sekadar mengandalkan “ilmu titen” atau pengamatan berdasarkan tanda-tanda alam secara mandiri.
Mereka bisa mengetahui kapan harus mengungsi atau masih aman untuk tetap berada di rumah berdasar pada informasi atau data yang kredibel dan otoritatif seputar Merapi. (*)
Mengukur kesiapsiagaan di lereng Merapi
Senin, 27 Desember 2021 13:46 WIB